Nata dan Pohon Jambu yang Bisu
Oleh : Vianda Alshafaq
Teruntuk Nata, dan jubah kenangan yang terombang-ambing di laut lepas.
Nata, apa yang akan kau pikirkan jika melihat daun jambu yang sudah tidak tumbuh–yang setiap hari kau sambangi dan mengucapkan selamat pagi–itu jatuh menyentuh tanah? Daun-daunnya sudah mati, berlubang-lubang diterkam ulat dan gugur menyerupai hujan, menyelimuti tanah seakan-akan melindunginya dari embun yang dingin. Ranting-rantingnya sudah patah, dahannya mulai goyah, dan batangnya diselimuti lumut dan benalu. Apa yang kau pikirkan jika kau melihatnya saat ini, Nata?
Jambu itu–yang sudah tidak pernah berbuah sejak lama–masih menunggumu. Aku ingat betul, Nat, bagaimana kau menceritakan kepadanya dongeng indah setiap petang–kisah-kisah yang kau lalui hari itu. Kau merawatnya dengan benar. Setiap hari Minggu kau bersihkan tanahnya dari semak-semak yang menyamak, kau membuang daun-daunnya yang layu, dan kau menyiraminya.
Aku tahu, kau menyayanginya, Nat.
Pohon jambu itu sangat unik. Tingginya yang tak sampai dua setengah meter membuat kita mudah memetik buahnya. Buahnya begitu manis, semanis kasih yang kau berikan pada jambu itu. Dan, jangan lupakan dahannya yang kokoh, yang selalu menerima tubuh kecilmu untuk berjuntai di sana.
Pernah suatu kali kau mengatakan padaku bahwa jambu itu menyimpan semua rahasia yang tidak pernah kau ceritakan padaku. Petang itu, ketika matahari tergelincir di barat, kau membuatku iri pada jambu itu, Nat.
“Jambu itu tidak pernah bosan mendengarku. Jambu itu tidak pernah menceritakan apa yang kuceritakan pada orang lain.”
Itu kalimatmu di suatu petang ketika aku bertanya kenapa kau lebih memilih bercerita pada pohon pendek itu dibanding bercerita padaku.
Kau tidak memercayaiku, Nat. Kita bersahabat sudah lama, tapi kau masih tak percaya padaku. Begitu pikirku waktu itu. Rasanya menyesakkan sekali ketika aku harus mendengar kalimat itu darimu. Kalimatmu itu seolah-olah mengatakan padaku bahwa aku akan membeberkan semua rahasiamu pada orang lain–jika kau bercerita padaku. Tapi, aku tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan sekali pun rasanya sakit sekali. Aku masih berpikir bahwa kita adalah sahabat, selayaknya seorang sahabat yang akan memberi ruang untuk sahabatnya.
Nat, aku ingin mengingat kembali hari itu–tanggal 20 Maret 2015, hari kelulusan kita. Hari itu begitu menyenangkan, bukan? Kau membubuhkan tanda tanganmu di seragamku yang sudah penuh dengan warna. Kau juga menuliskan sebuah kalimat di samping tanda tanganmu, I’m yours. Kalimat itu, aku ingin mendengarnya darimu, Nat. Sekali saja.
Aku juga membubuhkan tanda tanganku di seragammu yang tak kalah berwarna dari seragamku. Seperti yang kau lakukan, aku juga menuliskan sebuah kalimat. We’re forever. Itu kalimatku yang langsung kuucapkan hari itu.
“Aku benci hari ini, Sa.”
Kau memelukku, erat sekali. Seakan-akan kita tidak akan pernah bertemu lagi. Sesekali aku mendengar suara aneh di samping telingaku, tepat di mana kau menaruh kepalamu–di bahuku.
“Nat, kau menangis?”
Aku melepas pelukan kita. Kulihat wajahmu yang sudah basah, seperti diguyur hujan. Matamu sembab, hidungmu memerah seperti kena pukul. Sesekali kau menghapus air mata itu dengan tanganmu. Nat, aku juga ingin menangis melihatmu menangis.
“Kenapa kau menangis, Nat?”
Kau membenci hari itu. Kau tidak ingin hari itu terjadi. Jika hari itu terjadi, maka kita akan segera berpisah, begitu ucapmu. Aku paham ke mana arah pembicaraanmu, Nat.
“Nat, mimpimu adalah mimpiku. Maka pergilah untuk meraih mimpi kita. Aku selalu di tempat yang sama. Tempat kau pulang setelah selesai mengembara.”
***
Nata, sekali lagi aku menatap jambu itu. Apa yang akan kau pikirkan jika melihat daun jambu yang sudah tidak tumbu –yang setiap hari kau sambangi dan mengucapkan selamat pagi–itu jatuh menyentuh tanah? Daun-daunnya sudah mati, berlubang-lubang diterkam ulat dan gugur menyerupai hujan, menyelimuti tanah seakan-akan melindunginya dari embun yang dingin. Ranting-rantingnya sudah patah, dahannya mulai goyah, dan batangnya diselimuti lumut dan benalu. Apa yang kau pikirkan jika kau melihatnya saat ini, Nata?
Sebulan setelah hari kelulusan kita, kau akan berangkat ke Jakarta, untuk berkuliah dan meraih mimpi di sana. Sementara aku akan tetap di sini, menunggumu sampai kau pulang dan menceritakan banyak kisah indah selama kau di sana. Aku ikut mengantarmu ke bandara.
Bandara Internasional Minangkabau, bangunan bisu yang menyaksikan air mata dua orang sahabat yang akan ditelan jarak, air mata kau dan aku.
“Jaket ini akan selalu menemanimu, Nat. Jika kau rindu dan ingin cerita padaku, telepon saja. Aku ada dua puluh empat jam untukmu.”
Jaket itu, jaket pertama kita yang sama. Jaket itu kita beli saat SMP kelas satu. Ah, aku tidak menyangka jaket itu masih bisa kita pakai sampai waktu itu.
“Kau juga harus menjaga jaket itu. Jaket itu menyimpan semua kisah kita, ‘kan?”
Itu kalimat terakhirmu sebelum memelukku dan mengucapkan salam perpisahan. Setelahnya kau dibawa burung besi itu menikmati perjalanan mimpi yang panjang.
Nata, jambu itu masih menunggumu. Sepertinya dia rindu dongeng-dongengmu setiap petang. Lihatlah, Nat, jambu itu sudah mulai botak. Daun-daunnya tak lagi mau tumbuh sebab tak kau beri air setiap pagi. Batangnya dipenuhi lumut hijau yang terlihat menjijikkkan sebab tak kau bersihkan. Dan, Nat, seluruh bagian pohon itu jelas sekali merindukan dongengmu. Tak ada yang tumbuh, Nat. Entah daun, ranting, bahkan batang, dan akarnya, seperti tak punya kehidupan lagi.
Nat, apa yang kau suka dari laut sehingga kau memilih tenggelam dalam gelombangnya yang garang?
Burung besi itu benar-benar kejam. Ah, tidak. Bukan dia, tapi badai busuk yang mematahkan sayapnya. Aku masih bertanya-tanya, apa yang mungkin kau rasakan saat pesawat itu terombang-ambing di antara badai? Kau pasti ketakutan. Petir-petir ganas itu pasti membuatmu meringkuk, memeluk tubuhmu sendiri. Aku tahu betul kau sangat takut pada petir. Suaranya yang memekakkan akan membuat kepalamu sakit. Nat, andai aku ada di sampingmu saat itu, aku akan memelukmu seperti di tengah hujan dan petir saat usia kita sebelas tahun dulu.
Burung besi itu terhempas di tengah lautan. Gulungan ombak menyampaikan beritanya pada dunia, pada Bunda, dan padaku. Berita itu tentangmu, yang ditenggelamkan alam di tengah samudera yang luas, yang garang dan kelaparan.
Hari itu adalah duka paling menyakitkan, Nat. Dadaku rasanya disayat ribuan sembilu, sampai ke ulu jantung. Tidak pernah sekali pun terbayang di benakku bahwa di bandara hari itu adalah kesempatan terakhir kita bertemu. Salam perpisahan itu, benar-benar salam perpisahan. Sekali lagi aku tanya, Nat, apa yang kau suka dari laut sehingga kau memilih tenggelam dalam gelombangnya yang garang?
Sepuluh tahun sudah berlalu. Tapi aku masih tidak tahu kau di mana, jasadmu tak pernah ditemukan. Kau benar-benar hilang, ditelan buasnya lautan. Tenggelam. Aku ingin kau kembali, menggenggam tanganku dan memeluk tubuhku dengan erat, seerat kau memelukku dulu.
Nat, jaket itu, apa kau menemukannya? Aku mengirimkan jaket itu pada ombak, agar dibawanya padamu sehingga kau tahu bahwa aku sangat merindukanmu. Kenangan itu aku titipkan pada angin laut agar sampai di hatimu sehingga kau akan datang dan memberiku senyum pelepas penat. Nat, aku … sungguh merindukanmu.
Aku tahu kau benci menatapku jika aku menitikkan air mata. Bahkan, di setiap petang ketika matahari tergelincir di ufuk barat, ada tangis yang terngiang-ngiang, menggema dalam pendengaranku yang rasanya ingin kubuang. Tangismu, bandara itu, dan burung besi yang beringas menghancurkan hatiku hingga berkeping-keping. Aku patah hati, Nata.
Petang ini hujan datang, Nat. Menyerbuku di bawah pohon jambu botak yang sudah mati. Airnya menjemput semua kenangan manis kau dan aku. Nata, jambu ini, dan segala rindu yang menggebu, aku biarkan luruh bersama derasnya terjangan air, tanah dan bebatuan dari kaki Singgalang.
Aku datang menemuimu dan segala kenangan yang pernah aku titipkan pada angin laut.
Tunggu aku, Nata.
Sahabatmu, Ladisa.(*)
Vianda Alshafaq, seorang mahasiswa yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. bisa dihubungi melalui akun Facebook: Vianda Alshafaq
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata