Nasihat Ibu
Aku mengucap salam dan membuka pintu rumah dengan tergesa. Masih dengan seragam putih merah, aku berjalan buru-buru melewati ruang tamu yang kosong. Kuhirup aroma wangi sejuk pohon pinus di sepanjang ruangan. Bunga mawar merah tertata indah di atas meja. Tercium harum tempe goreng dan sambal terasi dari arah belakang. Aku melirik, namun tak kudapati Ibu disana. Lalu, aku mengetuk salah satu pintu kamar: kamar Bapak dan Ibu. Ketukan itu cuma formalitas, aku membuka pintu sebelum dipersilakan.
Kuempaskan tubuh mungilku di atas matras bermotif bunga mawar merah muda—warna kesayangan Ibu. Sembari menutup wajahku dengan bantal.
Seperti biasa, Ibu sedang sibuk merapikan kamarnya.
Dengan ekspresi wajah yang teduh, Ibu mengalihkan pandangannya kepadaku—beralih dari tumpukan pakaian yang berada di lemari itu. Lalu, Ibu berlari kecil menghampiriku.
“Ada apa, Aini? Ke mana kau sembunyikan wajah syukurmu itu?”
Begitulah Ibu. Ia punya kemampuan mengendalikan emosi lebih baik dari siapa pun. Aku selalu mengaguminya: bagaimana ia memandang, berbicara, membaca, memahami perasaanku, juga menghiburku.
Menghabiskan waktu bersama Ibu adalah kebahagian hidup yang tak ternilai. Ibu adalah sang surya yang tak pernah padam memberi kehangatan, mencurahkan cinta kasih setulusnya tanpa batasan waktu.
“Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di sekolah bilang kita miskin. Benarkah itu, Ibu?” Aku mulai membuka penghalang di wajahku dan segera duduk bersama Ibu.
“Tidak, kita tidak miskin, Aini,” jawab Ibu.
“Apa kemiskinan itu?” tanyaku sambil mendesak Ibu disertai rasa ingin tahu yang mendalam.
“Sejatinya kita ini kaya. Kita punya anggota tubuh yang diciptakan Allah secara sempurna. Mata yang dapat melihat keindahan bumi beserta isinya. Sementara di luar sana, banyak orang yang tidak dapat melihat cerahnya sang mentari, bunga-bunga bermekaran di pagi hari. Lalu, demi dua bola mata yang dapat melihat indahnya bumi, berapa juta rupiah yang mereka habiskan, ini pun kalau operasi mata berhasil. Belum lagi tangan, yang dengan mudahnya kita gunakan untuk memegang dan sepasang kaki untuk melangkah ke manapun kita mau. Dan tak kalah pentingnya, oksigen yang setiap saat gratis kita manfaatkan. Belum lagi anggota tubuh lainnya. Berapa pun tabungan kita di bank, tidak akan pernah bisa membeli kekayaan yang telah Allah anugerahkan kepada kita.” Ibu membelai mesra rambutku.
“Bukankah kita tidak punya motor apalagi mobil, rumah yang mewah serta uang berlimpah seperti teman-teman di sekolah. Itu artinya kita miskin, Bu?”
“Miskin itu berarti tidak memiliki sesuatu apa pun untuk diberikan kepada orang lain.” Aku terperangah mendengar penjelasan Ibu.
“Oh? Tapi kan kita tidak punya apa-apa, lalu apakah yang dapat kita berikan?” tanyaku sembari mengangkat kedua tangan.
“Kau ingat, Nak. Minggu lalu, di pasar ada seorang nenek bertongkat yang dengan susah payahnya hendak menyeberang jalan. Lalu, kita dengan tulus menuntun si nenek hingga akhirnya ia bisa sampai di seberang.”
“Iya, aku ingat, Bu.”
“Kita pernah meracik jamu tradisional—kunyit beras kencur—untuk tetangga sebelah yang sedang sakit pasca melahirkan. Kemudian Ibu memandikan bayinya, karena ia tidak punya saudara yang tinggal bersamanya, sedang sang suami sibuk bekerja mencari nafkah.”
“Ya, dua jari Ibu berdarah pada saat itu karena lupa kalau parut yang digunakan sangat tajam,” jawabku mengingatnya.
“ Nah, berarti kita orang kaya, bukan?”
“Tapi, semua itu Ibu yang melakukannya. Hanya aku sendiri yang miskin di dunia ini. Aku tidak punya apa-apa untuk kuberikan kepada orang lain,” jawabku sembari menundukkan kepala dengan perasaan sedih dan penuh sesal.
Ibu memalingkan wajahnya tepat ke arahku, sorot matanya yang teduh memancarkan senyuman yang menyejukkan. Tak pernah kudapati keluhan ataupun kerutan wajah di sepanjang hidupmu. Meski kesusahan kerap menderamu. Betapa aku beruntung memilikimu Ibu.
“Oh, kau pasti punya. Kamu juga kaya, Aini, karena kaya bukan terletak pada banyaknya materi, tetapi lebih kepada hati. Kaya karena banyak memberi, mau berbagi kebermanfaatan, kebaikan dalam hidup. Setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Karena Allah telah menciptakan kita dengan sempurna, tubuh yang kaya dengan segenap potensi yang dimiliki. Kita bisa membantu apa saja sekemampuan kita. Pikirkan hal itu,” jawab Ibu sembari tersenyum meyakinkanku.
Kukernyitkan dahiku, sembari mengetuk-ngetuk jari telunjuk tepat di atas kepalaku sembari berpikir.
“Oh iya! Aku punya sesuatu untuk kuberikan. Aku dapat memberikan cerita-ceritaku kepada teman-teman di sekolah. Aku ingat cerita-dongeng yang pernah kudengar dan baca.” Terukir senyum di bibirku.
“Tentu! Kau anak yang pintar. Rajin membaca. Setiap orang pasti senang mendengarkan cerita. Semakin banyak kau membaca, semakin kau kaya. Karena banyak modal yang kau miliki untuk dibagikan kepada orang lain. Karena hidup bukanlah tentang mampu atau tidak mampu, kaya atau tidak kaya. Tapi hidup, lebih kepada siapa yang mau dan tidak mau dalam berbagi. Itulah kaya yang sejati,” kata-kata Ibu meneduhkanku.
“Baik, Bu, akan kuceritakan kisah bahagia yang pernah kudengar dan baca, agar semua temanku menjadi senang. Aku berjanji tidak akan sedih lagi, tidak merasa miskin lagi. Karena detik ini juga, aku adalah orang kaya. Aku akan berbagi cerita kepada mereka, sekarang juga!” jawabku penuh semangat, bergegas melepaskan hangatnya pelukan dan senyuman Ibu yang sangat indah.
Kata-kata Ibu telah meneguhkan sebuah kesadaran besar bahwa setiap kita adalah kaya. Kekayaan tidak selamanya diukur dari banyaknya materi semata. Kesadaran sosial untuk mau berbagi kebahagiaan, kebermanfaatan, kebaikan kepada sesama merupakan cerminan kekayaan sejati. Karena hidup bukan tentang mampu atau tidak mampu, tetapi lebih kepada mau atau tidak mau. Berbagi tidak harus dengan materi, barang berharga ataupun kemewahan lainnya. Tetapi makna berbagi lebih luas dari itu semua. Bisa berbagi kebahagiaan, ilmu, perhatian, cinta, kasih sayang, tenaga, doa, juga rasa saling memiliki satu sama lainnya. Jika masih ada di dunia ini orang yang kaya, tetapi tidak mau berbagi. Maka, kekayaannya tidak akan pernah membawa dirinya pada titik kebahagiaan. Setiap kita mempunyai waktu dan kesempatan yang sama untuk menjadi kaya. Tinggal pilihan hidup kitalah yang menentukannya, mau atau tidak mau.
Septiyana, seorang pendidik di sekolah swasta Kota Lubuklinggau. Bercita-cita ingin menjadi motivator, trainer dan penulis.
FB: Septiyana