Nasib Sial
Oleh : Siti Nuraliah
Untuk ke sekian kalinya, Nenek memarahiku lantaran pulang lewat jam 8 malam. Padahal di sini, jam 11 malam pun masih ramai. Bila kalian main ke tempatku, jangan heran, kalian akan menemukan pemandangan malam yang memukau—kelap-kelip lampu di sepanjang jalan dari setiap gerobak yang menawarkan berbagai macam jajanan. Juga pemandangan yang membuat risi bagi sebagian orang yang menganggap dirinya suci—muda-mudi yang menghabiskan malamnya bersama pacar, atau “berpusing ria” dengan bahan murahan di sisi trotoar.
“Sudah berapa kali Nenek ingatkan, kalau main jangan sampai lupa waktu. Kamu itu anak perempuan, harus bisa jaga kehormatan dan jaga diri!” Nenek memelototiku yang baru saja membuka pintu dan masih berdiri mematung.
“Miraaa!” teriak Nenek memanggil ibuku.
“Jangan sampai anakmu membuat malu, seperti kelakuanmu dulu.”
Aku memang liar, tapi hanya sekadar nongkrong dan paling jajan sate ayam. Senakal-nakalnya aku, tidak pernah mau mencoba meminum air kemasan yang sudah dicampur bahan lain oleh teman-teman nongkrongku. Ibuku selalu mewanti-wanti akan hal itu. Dan aku menurutinya.
Suatu waktu, ibuku pernah berkata. Bila nanti aku punya perasaan lebih pada lawan jenis, jangan sungkan untuk bilang kepadanya. Hanya masalahnya, aku masih kelas 3 SMP dan masih malu untuk meminta pendapat Ibu kalau perasaanku disebut cinta. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak tergesa-gesa mengatakan itu pada Ibu. Selain belum berani, aku juga belum siap bila hal ini bocor kepada Nenek.
Aku punya teman nongkrong lebih tua, dia kelas 2 SMA. Kami sering berangkat bersama saat ke sekolah. Rumahku dengannya pun cukup dekat. Jadi ketika dia berangkat ke sekolah, dia selalu menungguiku di luar pagar dan mengajakku berboncengan. Katanya, sekalian sejalan. Namun, lama-lama perasaanku jadi semakin berbeda. Kami juga semakin dekat. Meskipun dia tidak pernah mengatakan kalau dia suka. Tapi caranya memperlakukanku menunjukkan kalau dia punya perasaan yang sama.
Dia orang yang pertama kali mengajakku untuk nongkrong sambil menikmati aneka jajanan di sini. Waktu itu, aku tidak sengaja melihat sepasang kekasih yang sedang berciuman. Sontak saja aku kaget dan memalingkan wajah. Dia tertawa melihat tingkahku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Enggak, kayanya kita salah tempat.”
“itu?” dia menunjuk sepasang kekasih yang kumaksud.
“Mau coba?” godanya.
Aku membulatkan mata tanda tidak suka. Dia malah tertawa sambil mengacak-acak rambutku.
“Bercanda … mau coba jajanan yang lain?” Aku tahu dia sedikit kikuk dan mencoba berusaha mencairkan suasana.
Semakin hari, aku semakin gelisah. Jatuh cinta memang merepotkan. Ada perasaan ingin selalu bersama dan takut kehilangan. Aku menjadi tidak fokus belajar. Padahal dua minggu lagi ujian nasional. Nenek pasti marah kalau nilaiku buruk. Ia pasti akan menceramahiku berhari-hari sampai telingaku bebal. Saat pikiranku sedang sibuk berdiskusi, ibuku masuk membawakan teh hangat.
“Rin, masih tiduran? Enggak belajar?”
“Eh, Bu. Ini baru mau.” Aku menyibak selimut dan duduk bersila.
“Kamu kenapa? Seperti ada masalah. Sini cerita sama ibu!”
Awalnya aku belum siap untuk mengaku. Tapi Ibu mendesakku agar jujur.
“Bu, kayanya Ririn lagi jatuh cinta, deh.”
Jawabanku membuat Ibu tersenyum.
“Kok, Ibu senyum, sih?”
“Enggak apa-apa. Itu berarti normal. Siapa namanya, itu yang suka berangkat sama kamu?”
Aku mengangguk. “Namanya Rian, Bu.”
Tapi setelah aku mengaku jatuh cinta, Ibu menasihatiku panjang lebar. Aku berpikir, apakah jatuh cinta bisa sebahaya itu? Apa karena jatuh cinta, orang-orang bisa menjadi celaka? Dan masih banyak pertanyaan di kepalaku yang kata Ibu, aku akan mengerti setelah nanti dewasa. Tapi bukannya sekarang aku sudah dewasa? Semoga Ibu menurutiku supaya tidak bilang pada Nenek.
Hari ini, Rian berjanji mengajakku jalan-jalan. Katanya ada yang ingin dia bicarakan. Aku sudah deg-degan sejak jam 7 pagi. Untungnya ini hari minggu, Nenek pasti sudah pergi pengajian di musala kompleks sebelah. Jam 8 lewat 15 menit, Rian datang. Tapi Ibu menahan kami untuk pergi. Katanya, main di rumah saja. Ibu tidak mengizinkan kami pergi berdua saja. Aku tidak bisa menolak, Rian juga terlihat pasrah.
Ibu sibuk masak di dapur, karena nanti sore rencananya Ayah mau pulang. Aku dan Rian duduk di sofa ruang tamu, mula-mula aku ragu hendak menatap wajahnya. Rian duduk mendekatiku. Aku gemetaran, ada rasa yang tidak seperti biasanya. Beberapa kali Ibu berdehem dari belakang. Membuat Rian kembali merenggang.
Untuk mengobati rasa grogi, akhirnya aku membawa beberapa koleksi buku dan majalah dari kamar. Dan berhasil, itu membuat kami asyik saling bertukar pendapat tentang buku. Hingga tidak terasa kami duduk sangat dekat dan bersisian. Rian tidak sengaja menyentuh tanganku saat hendak mengambil buku yang menurutnya menarik. Kami saling pandang. Entah kekuatan dari mana wajah Rian semakin dekat, embusan napasnya terasa hangat menyentuh wajahku.
Aku terbawa suasana, kupejamkan kedua mataku menunggu apa yang hendak dilakukan Rian. Ada perasaan takut tapi juga penasaran. Embusan napasnya terasa semakin dekat, dan dengan sekilas Rian menempelkan bibirnya pada bibirku.
Bersamaan dengan itu, pintu depan terbuka. Nenek datang dan berteriak histeris.
“Astagfirullah, Ririiin …!”
Kami berdua sontak saling duduk berjauhan. Aku tidak berani menatap wajah Nenek. Ibu berlari dari dapur menemui kami.
“Lihat kelakuan anakmu, apa tidak puas mempermalukan aku?”
Air mata Nenek menggenang lalu berjatuhan. Tangan Rian diseret olehnya, lalu dibawa ke luar.
“Kamu telah lancang! Apa kamu sudah siap nikah?”
Wajah Rian ditunjuk-tunjuk. Aku sangat menyayangkan sikap Nenek yang berlebihan. Aku melihat Ibu, wajahnya ikut menunduk tidak bisa membantah ucapan Nenek.
***
Malam ini terasa sangat tegang. Di ruang tamu. Ada aku, Ibu, Ayah yang baru datang satu jam yang lalu dan Nenek dengan wajah yang lesu serta mata yang sembap. Keputusan Nenek mutlak, aku diberi pilihan, menikah atau masuk pesantren. Aku tidak habis pikir, kenapa hanya dengan kejadian itu, Nenek begitu khawatir. Sampai-sampai hingga menjelang sore tadi aku masih diinterogasi. Lagi pula Rian hanya melakukan itu sekali, dan itu pun hanya satu detik. Tapi Nenek tetap saja keras kepala. Katanya dia takut aku sampai hamil.
“Kamu akan ketagihan, dan pasti ingin mencoba yang lebih,” bentak Nenek sore itu.
Nenek sampai meminta nomor Rian dan berbicara kepada orang tuanya. Keputusannya besok pagi. Malam ini, aku merasa menjadi seorang pesakitan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya pasrah.
Ibuku membuka suara, “Bu, Ririn masih di bawah umur. Syarat untuk menikahnya juga belum tercukupi.”
“Memangnya mau menunggu sampai kapan? Sampai Ririn hamil, kaya kamu?” suara Nenek tertahan di ujung kalimatnya. Aku kaget. Belum paham maksud perkataan Nenek.
“Maaf, Bu.” Ibuku mengusap air matanya. Ayah masih diam saja, aku juga tidak paham mengapa dia tidak membelaku.
“Yang menikahkan Ririn juga bukan suamimu.” Nenek memalingkan wajah, ada sebutir air mata yang disembunyikannya.
“Loh, kenapa bisa begitu, Nek? Kan dia Ayahku!” Aku membantah ucapan Nenek.
“Secara biologis, dia memang ayahmu, tapi secara hukum agama, dia tetap tidak bisa menjadi wali nikahmu.”
Nenek tidak bisa berhenti menangis, aku semakin bingung. Ibu masih menunduk saja belum menjawab pertanyaanku. Ayah juga sama. Aku lari mencari akta kelahiran, di sana tertulis jelas kalau dia ayah kandungku. Namun, aku baru memperhatikan tanggal lahirku dan tanggal pencatatan nikah kedua orang tuaku. Setelah kuhitung, aku hanya berumur empat bulan di kandungan, jika dihitung dari bulan pernikahan Ibu dan Ayah. Sekarang aku baru paham, mengapa sikap Nenek begitu berlebihan. []
Banjarsari, 11 november 2020.
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana kadang suka menulis kadang suka membaca.