Nasib Si Penipu Ulung

Nasib Si Penipu Ulung

Nasib Si Penipu Ulung

Oleh: Triandira

Dahulu kala, tinggalah Ular di sebuah hutan yang lebat. Tubuhnya besar dan kulitnya berwarna hijau tua dengan corak garis berwarna kuning. Lidahnya yang panjang dan giginya yang tajam, membuat ia semakin terlihat seram. Semua hewan sangat takut padanya. Rusa, Babi Hutan, dan Kelinci adalah hewan yang sering diincar olehnya.

Suatu hari, Rusa sedang asyik merumput di tengah hutan. Ia sangat lapar sehingga dengan lahap memakan rerumputan yang baru tumbuh dengan liar. Ia pun tak menghiraukan suasana di sekitar hutan. Sampai akhirnya, terdengar desisan Ular yang membuatnya ketakutan. Rusa kaget dengan kehadiran hewan melata itu di belakangnya.

“Hey, Rusa! Apa yang kau lakukan?”

Rusa  tersungkur ke atas tanah. Waktu itu, ia lari terbirit-birit ketika Ular mendekatinya. Tapi sial, kakinya yang kurus tersandung batu.

“Kau tak perlu takut,” seru Ular. “Aku tak mau rusa kurus sepertimu.”

“Kau pikir aku percaya?” Rusa tahu itu hanya kalimat tipuan. Meskipun kurus, tetap saja ia menarik untuk dimangsa. Lagi pula takkan sulit bagi Ular untuk memakannya hidup-hidup. Apalagi sudah lama tak terdengar olehnya, bahwa hewan menakutkan tersebut memangsa hewan lain di hutan. Jika sudah begitu, tentu saja Ular dalam keadaan yang sangat lapar saat ini.

“Kau bukan incaranku, Rusa. Lagi pula aku bisa memangsa hewan lain yang lebih besar darimu, bukan?” Ular kembali mendesis. Matanya berbinar tajam melihat Rusa yang nampak lezat untuk dimakan. Sudah lama ia mengelilingi hutan, dan baru sekarang menemukan mangsa. Namun, Ular tak ingin gegabah. Ia tahu takkan mudah menangkap Rusa berkaki empat itu.

“Ayolah, aku hanya ingin berkawan denganmu.” Ular kembali mendekat.

“Betul juga, jika mau ia pasti sudah membelit tubuhku sekarang,” gumam Rusa dalam hati. Ia mulai percaya dengan ucapan Ular. “Baiklah, aku pegang janjimu.”

Tak lama kemudian, Ular mengajak Rusa ke tepi sungai. Tak jauh dari tempat mereka berada sekarang.

Air sungai mengalir dengan deras dan nampak jernih. Ada sebuah batu besar di sampingnya, dan ada pula rerumputan yang tumbuh dengan subur di sekelilingnya.

“Kau tak ingin rumput itu?” bisik Ular, “bukankah lebih segar daripada rumput yang kau makan tadi?”

Rusa memandang benda yang dimaksud oleh si Ular. Lagi-lagi ia benar, rumput di sekeliling sungai itu memang terlihat hijau dan segar. Rusa pun sangat ingin memakannya. Lagi pula ia belum merasa kenyang. Tanpa berpikir panjang, hewan bertanduk itu melangkah pergi lalu memakan rerumputan dengan lahap.

“Saatnya aku makan,” gumam Ular dalam hati. Ia tak bisa lagi menahan perutnya yang lapar. Perlahan didekatinya Rusa itu. Saat hewan tersebut lengah, Ular membelitnya kuat-kuat.

“Lepaskan aku!” teriakan Rusa membuat Ular tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha, tak kusangka kau mudah ditipu.”

Rusa terdiam sejenak mendengar ucapan Ular. Ia tidak ingin hewan pemangsa itu membelit tubuhnya lebih keras lagi, jika ia terus bergerak. Saat Ular akan membuka mulutnya, dengan cepat rusa berkata, “Tunggu! Kenapa tak kau biarkan aku menghabiskan rumput ini dulu? Bukankah bisa membuatmu lebih kenyang saat memakanku nanti?”

Ular pikir ucapan Rusa ada benarnya juga. Ia ingin daging yang tebal dan bisa membuatnya kenyang.

“Baiklah, kau habiskan dulu rumput itu sekarang.” Ular melepaskan lilitannya lalu terdiam di atas batu besar, tepat di samping sungai. Ia menunggu Rusa menghabiskan makanannya. Namun tanpa ia sadari, Rusa diam-diam mendekatinya dari belakang. Batu tempat Ular berada tampak begitu mengilap. Pertanda bahwa benda tersebut licin.

Rusa berpikir, dengan keadaan tersebut mungkin tidak sulit baginya untuk menjatuhkan sang Ular ke dalam sungai. Akhirnya, si Rusa menendang Ular dengan sekuat tenaga.

Byuurr!

Ular itu langsung terjatuh. Tubuhnya yang besar tak mampu melawan derasnya arus yang mengalir. Bahkan ia menjerit kesakitan karena tubuhnya menghantam bebatuan yang tersebar di sepanjang sungai.

“Kau lihat sekarang. Siapa yang mudah ditipu?” teriak Rusa kegirangan. Ia senang karena berhasil menyelamatkan diri sendiri.

“Sial. Awas kau, Rusa!” Ular menggerutu dalam hati. Ia tak mampu lagi membalas ucapan Rusa. Tubuhnya terus terbawa arus, menjauh dari Rusa yang masih berdiri tegak di atas batu. Memandang dirinya dari kejauhan, dengan senyum kemenangan.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira Email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita