Nasi Berkat, Kuliner Wonogiri yang Dikangeni
Reza Agustin
Bagi saya yang menghabiskan masa kecil hingga dewasa ini di desa, nasi berkat bukan makanan yang langka. Bagi yang masih asing dengan istilah nasi berkat, inilah kuliner bersahaja yang dibungkus dengan daun jati. Nasi dengan porsi secukupnya, diberi lauk yang beragam dan mudah didapat. Untuk daerah saya, umumnya sayur urap-urapan, beberapa potong tahu atau tempe bacem, telur rebus yang dibagi jadi dua, dan banyak lagi.
Setiap kepala memiliki cara sendiri dalam mengisi lauk, begitu juga dengan tiap rukun tetangga, desa, sampai kecamatan. Tidak ada patokan khusus lauk wajib apa yang harus ada dalam setiap bungkusnya. Namun, bagi orang-orang di luar Wonogiri, satu lauk yang pasti ada adalah sayur lodeh, atau disebut jangan lombok. Ada pula yang menyebut adanya serundeng sebagai ciri khas utama menunya. Namun, seperti yang saya sebut sebelumnya, tidak ada patokan yang pasti.
Namun bagi saya sendiri, kekhasan nasi berkat terletak pada alat pembungkusnya yang berupa daun jati. Aroma nasi yang dibungkus dengan daun lebar ini membuat aroma masakan menjadi lebih wangi, khususnya pada si nasi. Karena getahnya dapat menimbulkan warna merah, maka jangan heran jika di nasi yang dimakan nanti akan ada warna kemerahan yang bentuknya seperti jari-jari daun. Getah yang menimbulkan warna merah ini tidak memberikan perubahan rasa sehingga nikmat-nikmat saja saat menyantapnya.
Jika berbicara tentang viralnya hidangan yang harusnya hanya muncul saat peristiwa tertentu—Ramadan, Hari Proklamasi, tahun baru Islam, dan lain sebagainya—ini erat kaitannya dengan kerinduan para perantau yang mengidamkan makanan kampung halaman tetapi terhalang PSBB. Banyak yang menjadikan viralnya nasi berkat ini menjadi ladang penghasilan baru di tengah mewabahnya Covid-19. Sering saya jumpai iklan-iklan nasi berkat ini berseliweran di media sosial.
Tidak hanya dirindukan oleh orang Wonogiri, nasi berkat ini pun menjadi incaran para pecinta kuliner dari daerah tetangga. Sebut saja Karanganyar, Sukoharjo, Solo, dan lain sebagainya. Selain karena menyajikan pilihan lauk yang beragam, harganya yang relatif terjangkau pun membuat makanan ini semakin laris saja.
Satu hal yang menjadi keheranan saya. Bagaimana cara orang-orang memasarkannya pada pembeli dari luar kota? Padahal nasi berkat ini terhitung makanan yang mudah basi. Nasi, urap-urapan yang bahkan tidak bisa tahan sehari, dan beberapa lauk rawan basi lainnya. Namun masih saja laris di area Wonogiri, maupun luar Wonogiri.
Saya sendiri pun tidak terlalu larut dalam euforia viralnya nasi berkat. Perayaan satu Suro kemarin dirayakan dengan kenduri nasi berkat, menjelang perayaan hari kemerdekaan pun juga dirayakan dengan kenduri kendti tidak semeriah tahun lalu.
Bagi saya, dengan viralnya nasi berkat ini jadi ladang rezeki lain bagi mereka yang terdampak wabah. Banyak orang-orang yang dirumahkan atau kena PHK beralih menjadi pedagang nasi berkat atau penjual daun jati.
Nasi berkat, sangat dikangeni, juga jadi jawaban kenapa pohon jati di sekitar rumah saya mendadak gundul.
Reza Agustin, lahir di Wonogiri 20 Agustus 2020
Facebook: Reza Agustin, IG: @Reza_Minnie, Wattpad: @Reza_summ08
sumber gambar: Solopos/Tika Sekar Arum