Namanya Rhu
Oleh: Cahaya Fadillah
Kota Padang. 2014.
Kota ini terkenal sebagai kota yang panas. Dekat dengan laut. Rumahku hanya beberapa meter dari pantai Air Manis. Sore itu, tidak terlalu panas. Aku memutuskan keluar rumah. Berjalan-jalan di pantai dan duduk di atas batu karang. Air sedang surut. Cuaca juga mendukung. Angin berembus membelai lembut wajahku. Memainkan beberapa helai rambutku yang lepas dari ikatannya.
“Hai, sedang apa?” Seseorang mengangetkanku.
Aku memalingkan wajah ke arah suara itu berasal. Seorang lelaki tinggi semampai. Berkulit hitam. Berdiri tepat di belakangku. Ia tersenyum.
“Hai, apa kabar?” Kali ini ia mengajakku berkenalan seraya menyodorkan tangan kanannya. Mengajak bersalaman.
“Kamu siapa?” jawabku singkat. Tidak bergeser dari tempat dudukku semula. Tidak tertarik menjabat tangannya.
“Aku? Kamu tidak mengingatku?” Ia menjatuhkan tangannya.
“Bukan tidak mengingat, tapi aku tidak kenal kamu,” jelasku mantap. Aku kembali memalingkan wajah. Menatap ombak yang bergulung. Tidak memerdulikannya.
Lelaki itu duduk di sampingku. Hampir tidak ada jarak di antara kami. Dengan sigap aku menjauhinya.
“Jangan mendekat! Aku tidak kenal kamu!” aku menjawab ketus. Tidak suka.
“Ayolah, semudah itu kamu melupakan aku?” tanyanya dengan mata memerah. Hampir menangis.
Aku tertegun. Yang pasti aku tidak mengenal lelaki itu. Bertahun-tahun aku tinggal di sini. Namun, tidak pernah melihat sosok lelaki ini. Ia merogoh celananya. Mengeluarkan dompet dan memperlihatkan sebuah foto padaku. Terlihat sepasang manusia dengan senyum manis. Duduk di sini. Di tempat aku duduk sekarang. Lelaki itu dirinya. Sedangkan perempuan di sebelahnya. Tidak. Mirip sekali denganku.
Perempuan itu menggunakan dress putih, memakai topi pantai yang menutupi rambut sebagian wajahnya. Terlihat sedang tersenyum. Tentu bukan aku. Aku bahkan tidak memiliki baju seperti itu.
“Masih tidak ingat?” Suaranya membuyarkan konsentrasiku.
“Itu siapa?” tanyaku hati-hati.
“Ya kamu. Apa kamu lupa?” todongnya mendekat. Memperkecil jarak di antara kami.
“Tidak. Itu bukan aku,” aku mengelak tidak suka.
Aku berlari meninggalkan lelaki itu. Aku sempat melihat ke belakang. Syukur ia tidak mengejar. Aku menggigil ketakutan. Entah siapa. Tetapi saat duduk bersamanya. Aku merasakan kalau kejadian itu pernah ada. Entahlah. Mungkin hanya de javu.
***
Seminggu berlalu. Aku memberanikan diri datang ke batu karang itu. Suasana saat duduk di sana sangat nyaman. Lepas pantai terlihat jelas. Jauh dari keramaian pengunjung pantai. Beberapa batu karang berukuran besar mengelilingi. Seakan menjadi sebuah rumah. Berdinding karang, beratapkan langit.
Kali ini aku menghabiskan sore di bibir pantai. Memainkan percikan ombak. Udara sore dan pemandangan pantai selalu membuat aku bahagia. Entahlah, rasanya aku pernah merasakan hal yang sama. Di tempat yang sama, dengan kejadian yang sama pula.
“Kamu ke mana saja?” Suara berat itu lagi. Lelaki itu tersenyum lagi padaku.
“Jangan menganggu!” aku menghardiknya. Ada rasa takut di dalam hati.
“Aku tidak mengganggu, aku hanya merindukanmu, Rhu,” ucapnya penuh keyakinan.
Ada tatapan yang tidak berbohong di matanya. Aku tahu itu. Dan aku merasakannya. Ia menyodorkan roti isi dan sebotol minuman bersoda. Entah kenapa, aku menerimanya. Ia duduk di sampingku. Dan kami mulai bercerita. Tentang batu karang, pantai, ombak dan langit.
Lelaki itu bernama Langit. Katanya ia mengenalku. Entahlah bahkan aku tidak tahu itu. Ia bercerita seakan-akan semua nyata. Katanya merindukanku, dan ia tahu namaku. Ah, ada apa semua ini. Aku saja tidak mengenalnya. Namun, ia begitu mengenalku.
Tiba-tiba ia menghilang. Tidak pernah menampakan diri di sekitar pantai. Entah karena apa. Aku mulai mencarinya. Sepertinya ada yang kurang saat ia tidak ada. Ya, aku merindukan tawa renyahnya. Tawa itu begitu bebas. Apalagi saat memanggil namaku “Rhu”.
Aku menyusuri setiap jengkal pantai. Mencari lelaki itu di setiap kerumunan para wisatawan yang memenuhi bibir pantai. Berhari-hari sudah kulalui, tapi tidak kutemukan ia. Ah, apakah begini rindu? Rasanya sangat menyiksa.
Aku tertunduk lesu di tumpukan batu karang. Entah apa penyebabnya.aku menangis. Sepertinya ada rindu yang bersarang di dadaku kali ini. Begitu besar hingga membuat luka perih dan aku menangis.
“Kau rindu aku?” Suara itu datang lagi. Ia tersenyum seperti awal kami bertemu.
Aku memeluknya. Begitu erat. Ia pun memelukku seperti tidak ingin melepaskanku. Lama kami berpelukan hingga air matanya tumpah.
“Aku sangat merindukanmu, Rhu. Sangat merindukanmu,” ucapnya berulang-ulang.
“Ya, aku tahu,” jawabku semakin mengeratkan pelukan.
Tidak lama. Tubuhnya seakan-akan terasa kaku. Ia terjatuh begitu saja di depan mataku. Aku panik. Berteriak minta tolong. Aku takut kehilangan Langit kali ini. Beberapa orang kemudian datang dan membawa Langit ke rumah sakit.
Sejak kejadian itu tidak ada kabar tentangnya. Langit benar-benar menghilang. Aku sadar bahwa aku sudah jatuh cinta padanya. Aku kembali menangis sejadi-jadinya.
***
Seseorang berpakaian serba hitam datang menghampiriku. Memberikan surat bersampul biru. Seperti warna biru langit.
Aku membuka. Membaca perlahan.
Hai, Rhu. Maaf, aku harus benar-benar pergi sekarang. Sejak awal aku tahu kau bukan Rhu yang aku cari. Rhu yang aku butuhkan sudah tidak ada. Ia sudah pergi beberapa waktu lalu. Kecelakaan yang terjadi padanya memisahkan kami beberapa bulan sebelum aku bertemu denganmu. Jujur, tidak mudah aku melupakannya. Kau tahu, Rhu? Kami akan menikah. Namun, ia pergi meninggalkanku. Sungguh kejam, bukan? Aku berusaha tegar saat kehilangannya. Berusaha melupakan semua tentangnya. Tetapi, takdir malah mempertemukan aku denganmu. Maafkan jika telah mengganggumu. Selamat tinggal, Rhu.
Salam rindu,
Langit.
Air mataku menetes semakin banyak. Isak tangis yang kutahan membuat terasa mencekat tenggorokan. Perih menjalar di tenggorokan. Kepalaku sakit. Aku terjatuh. Saat terbangun aku sudah berada di dalam kamar berdinding kayu.
Aku ingat sekarang. Di pantai ini beberapa bulan yang lalu aku ditabrak sebuah mobil besar. Tubuhku terseret begitu jauh. Seseorang datang membantuku. Tubuh tua berambut putih itu Ayahku. Beliau membawaku ke rumah kayu miliknya. Aku tersentak. Menangis. “Langit, ini aku, Rhu,” ucapku tidak terdengar lagi. Air mataku memonopoli keadaan.
“Langit, aku rindu,” bisikku meneteskan air mata.
Akankah ia mendengar dari surga?
Cahaya Fadillah, Pernah mempertanyakan kenapa kuliah di jurusan Komunikasi sedangkan sastra adalah sebagian jiwanya.
FB: Cahaya Fadillah
IG: CatatanCahayaFadillah
Wattpad: @CahayaFadillahStory
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata