Namaku Miller
Oleh: MsLoonyanna
Juara ke-2 Tantangan Lokit 9
Siapa yang tak mengenalku? Namaku Miller dan orang-orang selalu mengagumiku. Katanya, aku ini cerdas dan cukup mengintimidasi di beberapa kesempatan. Hm, benarkah? Entahlah. Lagi pula, aku tak suka memperkenalkan diri dan membeberkan seluruh “hidupku” secara gamblang kepada orang-orang asing seperti kalian yang sedang membaca ini.
Terkejut? Tenang, aku bukan penyihir ataupun peramal. Yang jelas, aku tahu jika kalian baru saja membaca kata “baca” sebelum kata “kata”. Nah, betul, ‘kan? Bingung? Oh, kupikir itu hanya karena kalian tak memiliki otak cemerlang sepertiku! Oops!
Oke, mari kita lupakan sejenak perihal betapa mengagumkannya diriku karena kini aku tengah sibuk memikirkan hal lain, yang jauh lebih serius. Penasaran? Baiklah, akan kuberi tahu. Aku sedang memikirkan beberapa rencana hebat untuk misi rahasiaku, tapi semuanya buyar ketika Ara datang menghampiri. Sungguh sial, bukan? Oh, percayalah, Ara adalah salah satu dari delapan makhluk menyebalkan yang tinggal seatap denganku.
Well, mari aku perjelas. Di sini aku memang tinggal bersama dengan beberapa makhluk menyebalkan: Mancy, Rora, Tion, Ven, Mora, Etry, Fan, dan Ara. Ingin opini jujur? “Aku tak suka mereka.” Menurutku, mereka semua pengganggu dan kadang sangat tidak masuk akal.
Aku heran mengapa mereka punya banyak “teman” dan penggemar—bukan sombong, tapi kami memang populer. Sialnya, aku tak sepopuler beberapa dari mereka—err, semacam selebriti? Ah, tidak juga.
Okay, back to topic. Sampai mana tadi? Oh, tentang “teman-temanku” yang punya banyak penggemar, bukan? Ugh, padahal jika orang-orang dungu itu mau melihatku lebih jauh dan jeli lagi, aku yakin bahwa mereka akan menyukaiku lebih dari apa pun!
“Arrogant much, huh?” Lihat? Itu Ara, si Sok Tahu—aku benci mengakui ini, tapi faktanya ia memang tahu.
“Nah, I’m fine,” jawabku dingin.
“Mmmh, hmm.”
“What?! Apa kau kembali mencoba untuk memasuki kepalaku? Kautahu, pikiranku dan semuanya itu privasi!”
Ara menyeringai senang sebelum kembali membuka mulut besarnya, “Apa kau merencanakan sesuatu untuk … kami? Yang benar saja, Miller. Duh.”
Terkejut? Sedikit. Ya, hanya sedikit karena sedari dulu aku memang sudah tahu bahwa Ara memiliki semacam … err, kautahu … bakat, mungkin? Ia bisa membaca pikiranmu dan melihat hal-hal yang tak kasatmata—termasuk beberapa peristiwa yang akan terjadi atau hal-hal sejenis itu.
“Bukan urusanmu,” aku membalas ketus.
“Hey! Tentu saja urusanku jika aku bahkan ada dalam daftar rencana kotormu itu!”
“Tak bisakah kaudiam? Kau menyebalkan.” Percayalah, aku mulai kehabisan rasa sabar.
“Seriously, kau menanyakan itu pada … ap—apa yang kau la—lakukan, i—idiot ….”
Ara jatuh terkapar. Ia banyak bicara dan membuatku sebal setengah ampun. Jadi, kutusuk saja ia di bagian perut agar rasa sakit itu membungkam mulut sialannya yang tak henti-hentinya mengoceh. Masalah beres.
Tanpa rasa berdosa yang seharusnya menjadi beban di pundak, aku kembali melangkah riang. Namun, lagi-lagi, aku bertemu dua dari mereka-yang-kubenci. Kali ini Mora dan Tion. Percayalah, mereka pasangan konyol, tapi herannya, mengapa ada cukup banyak orang tolol yang mau mendukung hubungan mereka? Padahal, kudengar, Tion pernah berselingkuh dengan Mancy, si mellow dari Goa Baper. Lalu apa yang Mora harapkan?
Ugh, okay. Kurasa mereka impas karena setahuku, Mora bahkan lebih parah dari Tion. Ia memang jarang selingkuh, tapi cukup sering. Mora pernah dekat dengan beberapa dari kami. Ya, termasuk aku—well, err … faktanya, aku juga bahkan pernah dekat dengan Tion. Terdengar menjijikan? Maaf. Can’t help it, though.
“Oi, Miller! Apa yang kaulakukan di sini? Sendiri, huh? Ah, kasihan sekali. Makanya jangan ketus dan sok misterius. Lihat, tak ada yang cukup berani mendekatimu.” Mora tertawa mengejek, sementara Tion yang berada di dekatnya hanya diam. Bagus, setidaknya ia tak semenyebalkan Mora.
“Just shut up.”
“Kautahu? Kau terlalu … err, konservatif. Hidup ini penuh warna, jangan memakai topeng hitam terus-terusan.”
“Mora, tidak ada gunanya berbicara dengan si kolot sok misterius ini.” Itu Tion. Ah, akhirnya ia membuka suara. Aku hampir menyeringai ketika mendengarnya. Terlalu malu menatapku cukup lama karena mungkin masih menyimpan rasa, huh?
“No, no, no, Tion. Aku—”
“Jangan bilang kau masih ingin bersamanya?” Kali ini Tion menggeram. Aku hanya diam dan mengamati argumen menarik mereka.
“What the hell? NO! Aku hanya … yeah, kautahu, ingin menghiburnya.” Mendengar alasan itu, Tion kontan mendengkus, sementara Mora balik menatapku dengan penuh binar.
“What? Kuharap apa yang kupikirkan ingin kaulakukan bukanlah apa yang sebenarnya kaupik—”
“Knock, knock, knock!” sambarnya ceria, membuatku seketika mengumpat pelan.
“Mora, we are not doing th—”
“Apa susahnya menjawab? Bukankah dulu kita sering memainkan lelucon ini? Aku janji akan pergi setelahnya. Alright, biar kuulangi. Knock, knock, knock!”
Ugh, baiklah. Sabar, Miller, setelah ini dia akan pergi. “Who’s there?”
“Voodoo.”
“Voodoo who?”
“Voodoo you think you are, asking me so many questions? Hahaha!” tawa Mora pecah di udara, sementara aku hanya diam sampai akhirnya keheningan yang nyata ini terasa menyusutkan ruangan.
Seriously? Di mana letak kelucuannya?
“He—hey, ke—kenapa kau tak tertawa?”
“Karena leluconmu tidak lucu. Sekarang, sesuai janjimu, pergi dari sini sebelum aku melakukan sesuatu yang mungkin akan membuatmu menyesal.”
“Tapi, Miller, kau bahkan be—”
“Kubilang pergi, ya pergi!” Tak tahan, aku berteriak di depan wajahnya, membuat Mora sedikit mundur ke belakang secara refleks.
“Easy, Dude. Kau tak perlu kasar kepadanya.” Tion maju ke arahku dan tampaknya bersiap untuk mengajakku bertarung. Well, siapa takut?
Tanpa menunggu lama, Tion melayangkan sebuah tinju tepat di wajahku. Aku yang belum sempat mengantisipasi hal tersebut tentu saja seketika terhuyung ke belakang. Mencoba bangkit, aku menatapnya penuh amarah. Bersiap untuk melakukan hal yang sama. Namun, sial. Dengan sigap ia menangkisnya. Oh, sudahkah kukatakan bahwa Tion pandai bela diri? Aku berani bertaruh bahwa itu merupakan kelebihan utama yang ia miliki. Tsk, tsk, tsk, tapi bukan berarti aku akan kalah dengannya.
Rasa asin terkecap tanpa sengaja oleh lidahku. Tion sialan! Ia baru saja merobek sudut bibirku! Aku tidak akan tinggal diam. Memangnya dia pikir, dia siapa, hah?!
Mengeluarkan pisau lipat andalanku, aku tak segan-segan melayangkannya ke perut Tion. Menusuknya beberapa kali sebelum ia sempat melawan. Belum puas, kutarik pisau lipat itu dari arah tenggorokan hingga ke pusarnya. Memutarnya beberapa saat sebelum pemandangan akan organ-organ dalamnya menyambut mataku, memanjakan hasrat membunuhku yang sedari tadi memang telah bergejolak ketika pertama kali aku melihat kedatangan mere—
Ah, mereka, ya? Aku lupa Mora masih ada di sini dan menjadi saksi atas tindakan kejiku barusan. Harus kuapakan dia? Membunuhnya sama seperti Tion? Memotong-motong tubuhnya? Atau mendorongnya dari tepi jendela? Ugh, semuanya terdengar bagus.
“Ap—apa yang kaulakukan?! Ja—jangan mendekat! Ka—kau monster, Miller!”
“Too late to realize it, huh?” Aku menyeringai seraya memain-mainkan pisau di tangan kananku.
“Ku—kumohon, jangan bu—bunuh aku.” Mora terisak. Untuk sedetik, hal itu sukses membuatku iba. Sayang sekali, hanya sedikit. Aku tertawa setelahnya. Merasa terhibur melihat ekspresi takut di wajah Mora. Biasanya ia selalu ceria dan bertingkah menyebalkan, berusaha membuat kami semua terhibur dengan lelucon konyolnya, tapi kali ini tidak.
“Mmh, hmm.” Aku berpura-pura berpikir. Menatap langit-langit ruangan. “Baiklah, kauboleh pergi dari sini. Ingat, jangan beritahu siapa-siapa.”
Mora tampak terkejut, tapi juga tampak lega dalam waktu yang sama. “Te—terima kasih.” Panik, ia segera berbalik dan berjalan tergesa meninggalkan ruang—
Psssh! Buk!
Percayalah, Mora terlalu lamban dan aku tiba-tiba berubah pikiran. Jangan salahkan aku. Dengan langkah santai, aku pun berjalan mendekatinya yang baru saja tumbang ke lantai dengan posisi punggung berlubang yang menghadap ke langit-langit ruangan. Kedua matanya membeliak, tampak sangat marah padaku. Tapi, dia bisa apa?
“Ka—kau be—bedebah!” Dua kata terbata itu menjadi kata terakhir Mora sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya. Sangat manis.
“You’re welcome.” Aku tersenyum, menunduk sebentar dan mencabut pisauku dari punggungnya sebelum berjalan ke lantai bawah.
Di ruang tengah, aku melihat Mancy dan Etry yang saling bergosip satu sama lain. Well, actually, aku tak tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Namun, naluriku berkata bahwa jika Mancy dan Etry bertemu dalam satu kesempatan, maka itu tak akan jauh-jauh dari yang namanya gosip.
“Oh, biar kutebak!” Etry berujar semangat, sementara aku lebih memilih untuk berlindung di balik tembok. Ini aneh, tapi aku cukup penasaran tentang pembicaraan mereka.
“Coba saja jika kaubisa.” Mancy menatap jari-jemarinya yang berpoles kuteks merah menyala. Aku sempat melihat Ara yang membantunya dengan itu sekitar dua hari lalu. Ah, Ara-Sok-Tahu yang malang. Aku jadi teringat tubuh tak bernyawanya di lantai atas.
“Jika bukan Tion ataupun Ven, apa mungkin kausedang membicarakan … err, Miller? Seperti sepasang sayap yang saling melengkapi satu sama lain, jika benar dia, aku tak dapat melihat ujungnya yang tampak tertelan awan kelabu bahkan sebelum dapat mengepak bebas di udara.”
Aku? Kenapa mereka membicarakanku? Dapat kulihat wajah Mancy yang merona hebat, nyaris semerah bunga geranium.
“Astaga, Mancy! Jadi benar? Kali ini dia yang kembali berhasil membuatmu jatuh cinta?! Kautahu, menurutku Ven dan Tion jauh lebih baik dari Miller! Ibarat bunga, Miller itu mawar berduri. Indah, tapi akan mudah membuatmu terluka.”
Sialan kau, Etry.
“Huh? Mengapa begitu?” Mancy mengerjap lalu menatap Etry penasaran.
“Tidakkah kausadar betapa gilanya Miller? He’s absolutely psychotic! Aku tak mengerti mengapa orang-orang justru menyukai mereka yang terkesan … err, kautahu, bad boy.”
Tenang, Miller. Tahan.
Mancy tampak baru akan menjawab ketika Ven tiba-tiba datang dan mengambil tempat persis di antara mereka.
“Oh, hi, Ven! Rasanya seperti setahun tak melihatmu! Jiwaku terasa hampa selayaknya Sungai Nil yang tanpa air.” Etry mengubah pembicaraan, sementara Ven tertawa pelan.
“Kau bercanda? Aku hanya pergi sekitar … err lima hari, kurasa?”
“Dari mana?” Mancy mencoba ikut dalam percakapan.
“Well, kalian tak akan percaya ini, tapi aku dan Fan baru saja mengunjungi Hogwarts! Sayangnya, ia pulang lebih awal karena Miller bilang ia membutuhkannya.” Aku? Membutuhkan Fan? Kapan? Sementara itu, Mancy dan Etry saling berpandangan sebelum salah satu dari mereka membuka suara.
“Are you insane? Maksudmu … Hogwarts? Sekolah penyihir itu? Kau melakukan perjalanan hebat ke sana dan tak mengajak kami? Kautahu, aku pernah kecewa, tapi tak sekecewa ini. Aku pernah sakit, tapi tak sesakit ini. Kupikir teman adalah mereka yang senantiasa mengingat kita dalam suka maupun duka, tapi nyatanya aku salah.”
Mendengar itu, Mancy refleks memutar bola mata, sedangkan Ven kembali terbahak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Etry adalah yang terpuitis di antara kami semua. Terkadang aku juga muak dengan pemilihan katanya yang menurutku sangat berlebihan.
“Sorry, tapi sungguh, itu adalah perjalanan yang tak direncanakan,” bela Ven.
“Still. Kau melupakan kami.”
“Alright. Aku janji, lain kali aku tak akan lupa untuk mengajak kalian.” Ven mengedipkan sebelah mata. “Terlebih jika … Mancy ikut. Aku akan menyiapkan perjalanan yang spesial.”
“Aww, so sweet! See?” Etry menyikut Mancy yang kini menatapnya kesal. “He’s a truly keeper, Manc.”
“Huh? Sebenarnya apa yang tengah kalian bica—” Ven belum sempat menyelesaikan kalimatnya di saat teriakan hebat Rora yang tampaknya berasal dari lantai atas merebut semua atensi kami. Shit! Sepertinya ia sudah menemukan tubuh kaku Tion dan Mora serta sahabatnya, Ara.
Mendengar langkahnya yang tergesa menuruni tangga, aku semakin mencondongkan tubuhku di balik tembok agar ia tak dapat melihatku.
“Guys! Ini buruk!” Rora yang sudah berada di hadapan Etry, Ven, dan Mancy memasang wajah horor, sama seperti auranya.
“Ada apa?” Pertanyaan Mancy seolah mewakili apa yang sedang Ven dan Etry pikirkan.
“Darah … di mana-mana. Usus terburai, tusukan sadis, tubuh yang tak bernyawa.” Rora terisak.
“Hey, tenanglah. Apa yang terjadi?” Itu Ven.
“I—Ini mengerikan. Sungguh. Ara, Tion, dan Mora. Me—mereka ada di atas dan … mati.”
“Jangan bercanda.” Etry tampak tak percaya.
“Aku serius! Aku bahkan melihat arwah Ara yang bergentayangan dan tak henti-hentinya menangis di sudut ruangan! I swear to God, it’s creeping me out! Aku tak pernah merasakan aura yang semengerikan dan se-horor ini!”
Oh, Rora, mengapa kau tak bisa diam, huh?
“Ta—tapi, jika itu benar, siapa yang melakukannya?”
“Tentu saja Miller!” Berapi-api, Etry menjawab pertanyaan Mancy.
“Ti—tidak mungkin. Dia memang dingin dan misterius, ta—tapi ia tak mungkin membunuh teman-temannya sendiri.”
“Tentu saja mungkin!” sela Etry lagi, tak mau kalah, sementara Rora dan Ven masih tampak syok. Ngomong-ngomong, pemikiran yang bagus, Etry. Aku bahkan akan segera mewujudkannya di depan mata kepalamu sendiri.
Aku menyeringai lalu berjalan mengendap-endap menaiki tangga. Kalau tak salah ingat, aku menyimpan sebuah pistol di laci lantai atas. Mendapatkan apa yang kumau, aku segera turun dan melancarkan rencanaku.
Dor! Dot!
Ven dan Rora ambruk detik itu juga. Mancy dan Etry kontan berbalik menatapku dengan mata yang melebar.
“I knew it! I fucking knew it! You’re—”
Dor!
“Mi—Miller?” Mancy memandangku, terkejut bukan main.
“What, Baby? Kudengar, kau menyukaiku yang seperti … ini, hm?”
“A—aku ….”
“Well, menurutku, kau cantik dan menarik. Aku bisa saja mempertimbangkanmu kembali, tapi sayang, sepertinya rencanaku sudah bulat. Ini misi rahasiaku sejak lama—melenyapkan kalian semua—dan karena kausudah mengetahui semuanya, itu artinya sudah bukan rahasia lagi, ‘kan? Maka dengan berat hati, aku akan ….” Aku sengaja menggantung kalimatku, melipat kedua tangan di dada dan berpose seperti orang yang sedang berpikir keras.
“Miller, aku tahu kau tak sejahat ini. Everyone has a dark side, you know?”
Aku tertawa tanpa humor. “Really, Mancy? Apa pun yang kaukatakan, itu tak akan mengubah keputusanku.”
“Miller, wait! Kau harus tahu ini, aku mencintai—”
Dor!
“I’m sorry, Mancy, tapi cinta darimu bahkan tidak cukup untuk meluluhkan hatiku yang telanjur beku,” aku bergumam lantas menarik napas panjang menyadari bahwa hari ini aku telah berhasil menyingkirkan “teman-temanku”: Ara, Tion, Mora, Rora, Ven, Etry, Mancy, dan—hey! Tunggu, di mana Fan?
Seakan menjawab pertanyaan di kepalaku, sosok Fan tiba-tiba muncul entah dari mana. Ia bertepuk tangan pelan seraya tertawa senang.
“Menyenangkan, eh?” Mendengar itu, aku kontan mengangkat alis tak mengerti sebelum akhirnya mengerjap dan menyadari bahwa aku berada di … kamar? Seingatku, tadi aku berada di lantai bawah! Apa yang terjadi?
“Fan? Kau—”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Fan sudah terlebih dahulu memotong, “Wake up, Miller. Ceritanya sudah selesai.”
“Huh?” Jujur, aku benar-benar merasa linglung sekarang.
“Oh, seriously, kau tak ingat?! Aku bahkan masih sibuk melakukan perjalanan memukau bersama Ven ketika kau datang dan memintaku untuk bergabung bersamamu, melengkapi ceritamu.”
“Maksudmu … kita baru saja berkolaborasi dalam imajinasiku? Mystery, thriller, fantasy, begitu?”
Fan mengangguk cepat dan tersenyum lebar. “Exactly! Kau tak berpikir untuk benar-benar membunuh teman-teman kita, bukan?”
Kali ini aku menatap berkeliling dan menemukan Ara, Tion, Mora, Rora, Ven, Etry, dan Mancy yang berjejer rapi di rak sebelah kananku, tampak terlibat percakapan seru yang aku tak tahu apa.
“Mmh, hmm.” Bingung ingin membalas apa, aku hanya bergumam dan kembali memutar alur cerita yang baru saja kumainkan bersama Fan di dalam kepalaku.
“Oh, guys! Diamlah! Anna datang!” Fan memberi komando dan dengan kompak kami semua kembali ke tempat yang seharusnya—atau lebih tepatnya aku saja, karena sedari tadi yang lain sudah melakukannya.
Anna, gadis cantik berrambut cokelat itu memasuki kamar dan berjalan menghampiri rak. Aku sedikit deg-degan, berharap ia akan memilihku kali ini dan ….
Oh, yes! Anna memilihku! Aku senang sekali! Sudah kubilang, aku memang tak sepopuler teman-temanku yang lain, tapi satu hal yang kutahu pasti: orang-orang mengagumiku, termasuk pemilikku. Maksudku, siapa yang tak mengenalku?
Namaku Miller, salah satu koleksi buku terbaik milik Anna Darling—oh, well, atau haruskah aku memanggilnya dengan nama penanya, MsLoonyanna, hm? Ugh, whatever.(*)
Mks, 4 November 2018
MsLoonyanna, seorang Potterhead akut penyuka warna hijau dan biru yang sering kali berimajinasi aneh. FB: MsLoonyanna
NOTES:
● Sudut pandangnya dari sebuah buku bergenre Mystery/Thriller yang bernama “Miller” (angggep aja di cerita ini buku-buku bisa hidup seperti mainan-mainan di Toy Story xD).
● Setiap buku di cerita ini punya imajinasi tersendiri akan alur cerita yang mereka inginkan (tak terbatas jumlah alurnya) dan ketika sedang berimajinasi, mereka bisa bertindak selayaknya manusia—bisa tersenyum, bertarung, punya tangan, etc.. Jadi, yang sempet bingung soal ini, semoga sekarang udah enggak, ya.
● Mereka enggak punya jenis kelamin, jadi hubungan aneh mereka bukan LGBT /plak. But, di imajinasi saya, Miller, Tion, dan Ven cowok. Sedangkan Fan bisa jadi keduanya, hehe, dan sisanya cewek.
● Masing-masing karakter di cerita ini mempresentasikan setiap genre yang mereka perankan (ex: Mancy disebut si mellow dari Goa Baper yang mudah jatuh cinta dan sering menjadi “selingkuhan” karakter a.k.a. genre lain, Etry yang puitis, Miller yang cukup sadis dan selalu menganggap dirinya misterius, etc).
.
Untuk lebih jelasnya, silakan simak list berikut:
◀List karakter▶
• Miller (Misteri/thriller: Mi + ller)
• Ven (Adventure: Ven – Ad dan Ture)
• Ara (Paranormal: Ara – P dan normal)
• Mancy (Romance: Manc + y)
• Fan (Fantasy: Fan – Tasy)
• Mora (Humor: Mor + a)
• Etry (Poetry: Etry – Poe)
• Tion (Action: Tion – Ac)
• Rora (Horror: Ror + a)
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata