Nall (Terbaik 17 Cerita Fantasi)

Nall (Terbaik 17 Cerita Fantasi)

Nall

Oleh: Retno Ka

Terbaik 17 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata

Sekira pukul dua malam, aku terperanjat dari tidur karena listrik yang tiba-tiba padam. Ayahku mungkin mengira, foobiaku terhadap gelap telah sepenuhnya lenyap. Padahal, ya, aku hanya mengendalikannya saja. Jika dulu aku akan otomatis berteriak saat dalam situasi seperti ini, sekarang aku hanya perlu terbangun, tergeragap mencari lilin, menyalakannya, lalu, kembali memejamkan mata. Sederhana. Harusnya sederhana, tapi sedari tadi lilin yang kunyalakan terus tersapu oleh angin. Aku berjalan ke arah jendela, bermaksud menutup salah satu daunnya yang memang sering terbuka dengan sendirinya karena kenopnya yang kendur. Namun, sesuatu membuatku bergeming. 

Aku melihat seseorang bergaun putih di halaman rumah Nall, sedang duduk terdiam sambil mendongakkan kepala ke arah langit. Jika itu Nall, apa pula yang tengah ia lakukan di sana? Jika bukan, tidakkah masuk akal jika aku berteriak? Dan seseorang itu serta merta saja mengalihkan pandang padaku—seakan detak jantungku yang kencang ini sampai ke telinganya—lalu melambaikan tangannya. Jadi benar dia Nall? Meskipun ragu, aku balas melambaikan tangan, lalu dia tampak berdiri dan berjalan ke arah rumahku. 

“Hai, Aprilla.” Sapanya saat berada tepat di depanku, bersekat tembok.

“Kau sedang apa, Nall?”

“Melihat langit. Tidakkah kamu lihat bulannya begitu megah?”

Aku melongokkan kepala ke luar jendela, dan iya, terlihat bulan bulat sempurna yang tampak lebih besar dan lebih terang dari biasanya.

“Tanggal berapa ini? Apakah sudah waktunya purnama?”

“Kau mau melihat sesuatu yang lebih menakjubkan lagi?”

“Apa itu?”

“Ulurkan tanganmu.”

Aku menurutinya mengulurkan tangan, lalu ia menggenggamku sambil tersenyum. Sikapnya itu betul-betul membingungkan.

“Sekarang lihatlah lagi ke langit,” ujarnya.

Aku menurutinya. Dan, astaga. Bukan saja pemandangan bulan megah yang baru saja kulihat, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Ada semacam dua baris titik cahaya yang mengular panjang, dan bergerak perlahan-lahan ke arah bulan. Separuh diriku merasa merinding dan ingin melarikan diri, tapi separuhnya lagi merasa takjub hingga tak dapat berkedip. Tapi Nall melepas genggaman tangannya.

“Cukup untuk kali ini,” ujarnya, dan aku baru tersadar ia tak memakai sarung tangan sebagaimana biasanya. 

“Apa itu tadi?” tanyaku, “Apa kau punya kemampuan menghipnotis?”

Ia menggeleng.

“Jadi sihir?”

“Bukan juga,” lalu ia terkekeh pelan, berpaling pulang. 

***

Nall datang ke kampung ini sekitar dua bulan lalu. Tingginya sama denganku dan beberapa hari setelah kedatangannya, ia masuk ke kelas yang sama denganku sebagai murid baru, duduk satu meja pula denganku. Tak ada yang aneh, selain cara bicaranya yang kadang terlalu cepat dan sarung tangan putih sebatas pergelangan yang selalu ia kenakan. Saat ada yang bertanya kenapa ia memakai sarung tangan, ia akan menjawab bahwa kulit telapak tangannya sensitif. Meskipun alasan itu terasa ganjil, tapi kami tetap menerimanya begitu saja. 

Rumahku dan Nall berhadapan, hanya bersekat jalanan kampung selebar dua meter. Berdasarkan yang tak sengaja kudengar, Paman Jef dan Bibi En mengadopsi Nall dari sebuah panti asuhan. Perihal mengapa mereka memilih Nall alih-alih bayi atau anak yang masih kecil, kabarnya karena usia Nall akan sama dengan usia Elle—jika ia masih hidup. Aku sudah sepenuhnya lupa dengan wajah Elle, tapi ingatan tentang kami yang pernah bermain biji asam bersama di halaman rumahnya terkadang masih sering berkelebatan.

“Aku Nall—ngengat dari Elle.” 

Keesokan hari setelah Nall memperlihatkan padaku sesuatu yang tidak lazim, dan kami berangkat sekolah sebagaimana biasanya, Nall membisikkan di telingaku tentang sesuatu yang sama tidak lazimnya. Aku hanya merasa masih tertidur, sehingga semua kejadian yang menimpaku sejak terbangun semalam adalah bagian dari mimpi. Tapi kemudian Nall menyentuh tanganku begitu saja, membuatku terperanjat dan tanpa sadar berteriak

“Ada apa Aprilla?” tanya Pak Dim, guru fisikaku yang sedang mengajar. Pertanyaan itu berbarengan dengan sorot mata kebingungan dari seluruh teman-temanku.

“Ada ngengat, Pak, maksudku lebah yang mau menyengat,” jawabku, yang kuyakin semakin membuat mereka bingung. 

Kemudian Nall berbisik lagi di telingaku.

“Tenang, Aprilla, aku memakai sarung tangan.” 

“Sebaiknya kita jangan bicara lagi kalau kamu hanya berniat setengah-setengah,” kataku pelan.

“Aku akan menceritakan semuanya. Temui aku di ladang tebu sore nanti.”

***

Sebelum petang datang, aku benar-benar ke ladang tebu yang terletak persis di belakang sekolah kami. Di kejauhan, ada tumpukan ampas batang tebu yang tengah dibakar. Asap yang terbawa olehnya meninggalkan aroma manis di penciumanku. Nall sudah ada di sana, tepat di antara pohon-pohon tebu yang menyibak membentuk jalan setapak. Ia tersenyum dan mengulurkan tangannya yang tak memakai sarung itu. 

“Aku harus pulang sebelum malam, nanti ayahku mencari.”

“Ya, tentu, kita hanya akan berjalan-jalan sebentar.”

Meski penuh keraguan, aku mendekat ke arahnya tapi tidak menggapai tangannya. Kami berjalan beriringan ke arah tengah ladang, sambil Nall bercerita macam-macam.

“Setiap orang yang meninggal akan punya teman berupa ngengat. Dan aku adalah ngengat dari Elle.” 

“Aku tak mengerti.”

“Ngengat bergerak mengikuti cahaya ke cahaya. Dan ketika seseorang meninggal, akan ada satu ngengat yang akan menjadi teman sampai orang itu harus tebang ke bulan.” 

“Tidak ada yang pernah memberitahuku kalau orang meninggal akan pergi ke bulan.”

“Aku sedang memberitahumu.”

Aku berhenti melangkah, Nall juga. Kami bertatapan sebentar, dan aku memutuskan putar badan. Pulang. Aku mau pulang, tapi Nall meraih tangan kananku, lalu semuanya seketika berubah. Langit perlahan menggelap, tebu-tebu yang batangnya lebih tinggi dari kami mendadak menjadi rendah dan berubah bentuk menjadi pohon gandum berwarna keemasan yang baru mulai berbunga. Aroma manis dari asap pembakaran tebu bahkan telah hilang, berganti menjadi aroma yang mirip lavender tapi jauh lebih lembut. Aku melihat banyak sekali orang dan ngengat-ngengat yang beterbangan di sekitar mereka. Benarkah mereka orang-orang yang telah meninggal? Jika benar, apakah di antara mereka ada ibuku? 

“Itu dia Elle.” Nall tiba-tiba memecah lamunanku, tangan kanannya yang tak menggenggam tanganku menunjuk ke arah seseorang.

Orang yang disebut-sebut sebagai Elle itu wajahnya persis sama dengan Nall, ia berlari ke arah kami dan langsung menghambur ke pelukan Nall, lalu aku. 

“Aku sangat merindukanmu Aprilla.” Aku masih tidak percaya semua yang ada di hadapanku, tapi setengah dari diriku merasakan bahwa yang tengah memelukku benar-benar Elle—teman masa kecilku.

“Kenapa kau berada di sini Elle? Paman Jef dan Bibi En sangat merindukanmu.”

“Itulah kenapa aku mengirimkan Nall kepada mereka. Tidak apa-apa, meskipun juga tidak lama.” 

“Apa maksudmu tidak lama? Apakah Nall juga harus pergi dari hidup mereka?” tanyaku.

“Aku akan kembali dengan cara yang sama dengan Elle, ayah dan ibu Elle sudah tahu, dan itulah alasan mereka mengadopsiku sebagai anak—karena mereka tahu aku punya penyakit yang sama dengan Elle.” Kali ini Nall yang menjelaskan.

“Kenapa mereka ingin mengulang rasa sakit yang sama?” 

“Tepatnya, mereka ingin mengulang kebahagiaan yang sama saat masih memiliki Elle. Mereka tahu, aku adalah bagian dari diri Elle yang lain. Aku telah mengajak mereka ke sini, sebagaimana kamu, Aprilla.” 

Aku menatap mereka bergantian, lalu membuang pandangan ke bawah. Mengahayati daun-daun gandum yang bergoyang terkena angin.

“Lalu … di mana ibuku? Bukankah seharusnya ia berada di sini? Mengapa ia bahkan tidak mengirimkan ngengat kepadaku?”

“Ibumu sudah terbang ke bulan, Nall.” 

Entah siapa yang menjawab, tidak hanya wajah, suara Nall dan Elle pun tidak ada bedanya.

“Bukankah kamu pergi lebih dulu Ell?

Nall langsung menghentikanku, “Aku akan menceritakanmu lagi lain kali, ayahmu pasti sudah menunggu, Aprilla.”

***

Sekira pukul dua malam, aku terbangun karena listrik yang tiba-tiba padam. Namun alih-alih mencari letak lilin, aku hanya terdiam saja di ranjang. Dulu, saat aku berada dalam situasi ini, aku akan berteriak karena dengan begitu ibuku akan datang. Namun, semenjak saat aku berteriak yang datang adalah ayah, aku tidak lagi melakukannya. Aku sangat menyayangi ayahku, ia hanya tidak seharusnya mengambil peran ibu. 

Jepara, 27 Oktober 2024  

Komentar Juri, Berry:

Cerita ini memiliki potensi untuk menjadi menarik seandainya unsur-unsur magis di dalamnya bisa lebih dulu difilter, sehingga yang terpilih kemudian adalah konsep-konsep yang sudah lebih dulu familier dengan pembaca. Ketika unsur-unsur magis di dalam cerita terlalu “jauh” dari jangkauan akal, ia akan jatuh menjadi lanturan di siang bolong yang tidak bermakna, kecuali membuat pembaca kebingungan.

Grup FB KCLK

Leave a Reply