Muslihat Teriakan Lelaki Itu (Terbaik Ke-18 TL19)

Muslihat Teriakan Lelaki Itu (Terbaik Ke-18 TL19)

Muslihat Teriakan Lelaki Itu

Zuhliyana

Terbaik Ke-18 TL-19

 

Entah bagaimana Jamal harus meluapkan amarahnya pada malam terlaknat itu. Dalam hidupnya, dia tidak pernah tahu bagaimana wajah ibunya, dan kini, anak berusia lima belas tahun itu hanya bisa diam di balik semak-semak dan pohon besar, memandang ayahnya tengah dijemput paksa oleh sekelompok lelaki dengan ikat kepala merah serupa warna darah. Sang ayah sempat menoleh ke arah Jamal, walau diam, tapi tatapan matanya seperti memberi isyarat agar anak semata wayangnya itu tetap bersembunyi.

Sang ayah berteriak lantang, berusaha meyakinkan mereka bahwa dirinya tidak tahu apa-apa dan tidak terlibat sedikit pun. Namun sekelompok lelaki itu kalap mata, tetap menarik paksa badannya. Seperti tak ada kata puas dan karena iblis yang telah merajai hati, mereka dengan tega membakar rumah yang selama ini menjadi tempat Jamal dan ayahnya bernaung.

Badan Jamal bergetar memandangi semua kejadian itu. Air matanya luruh, seakan menjadi satu-satunya bahasa untuk menggambarkan rasa sedih yang tiada terkira dalam dadanya. Kepada siapakah Jamal harus marah? Apakah pada lelaki paruh baya yang meneriaki ayahnya sebagai salah satu pemberontak? Atau pada Tuhan yang sepertinya senang sekali bermain-main dengan takdirnya?

***

Suara azan berkumandang nyaring dari surau desa. Bagaimanapun besarnya suara itu, ada saja insan yang masih terlelap di bawah selimutnya. Namun, ini bukan waktu bersantai bagi Jamal. Remaja itu sibuk menyusuri jalanan kampung, lantas berhenti di salah satu rumah yang letaknya tepat di ujung desa.

Dia mengetuk berulang kali sambil memanggil-manggil si empunya rumah. Ketukannya semakin kencang dan dengan instensitas makin cepat. Sampai sesosok wanita berusia empat puluh tahun keluar dengan pakaian dastar yang mulai lusuh, barulah dia berhenti.

“Tak tahu malukah kau telah menggangguku?” tanya Maysarah gusar.

“Acil1, saya minta tolong.Biarkan saya masuk.”

Maysarah menatap lekat pada sosok Jamal. Remaja itu tengah menyilangkan tangan di depan dada, seakan menahan dinginnya udara subuh yang amat menyiksa kulit. Melihat mata Jamal yang lebih lebar dari orang-orang sukunya, dan dengan kulit gelapnya itu, semakin menunjukkan jati diri remaja tersebut.

“Mana ayah ibumu?” Maysarah mulai memasang penjagaan sebelum memperbolehkan remaja itu masuk ke rumahnya.

“Saya jelaskan di dalam.”

“Jelaskan sekarang!”

“Ibu saya sudah tidak ada dan Ayah telah ditangkap.”

Mendapat jawaban itu, Maysarah bergerak cepat untuk menutup pintunya, tapi Jamal tak kalah tangkas untuk menahan hingga terjadi dorong-dorongan.

Maysarah tak mungkin membiarkan anak lelaki itu masuk.Apa kata orang nantinya? Kemanusiaan memang sebaiknya dijunjung, tapi bagi wanita itu, keselamatan dirinya juga tetap menjadi prioritas.

“Aku tidak bisa.Pergi saja kau dari sini,” ucap Maysarah kala pintu kembali terbuka karena dorongan Jamal yang amat kuat.

Jamal kembali memohon dengan derai air mata yang membasahi pipi.Dia tak tahu harus kemana lagi.

Selepas sekelompok orang yang menamai dirinya sebagai pejuang itu pergi bersama ayahnya, Jamal lekas berlindung ke gereja, satu-satunya tempat ibadah di desanya. Dia tahu, mereka tak akan pernah menyerang seseorang yang berlindung di tempat ibadah.

Sebelum waktu Subuh datang, dia mencoba membawa diri ke kampung seberang guna meminta bantuan. Mengharapkan orang di tempatnya, amatlah mustahil karena kabar penangkapan ayahnya telah terdengar di setiap telinga warga desa, melebihi kecepatan kepakan sayap burung yang biasa bertengger di dahan pohon halaman rumahnya.

Sudah berulang kali Jamal mengetuk rumah warga, berusaha meminta pertolongan. Tapi orang-orang itu memilih menutup pintunya kembali dan acuh tak acuh pada permintaannya, seolah telinga mereka mendadak tuli begitu saja. Pintu mereka terkunci dan gorden jendela tertutup rapat. Tak memberi celah bagi Jamal untuk mengintip sedikit saja.

Remaja itu benar-benar frustrasi. Dia sampai bersimpuh dan memeluk kaki Maysarah kuat-kuat. Wanita dengan rambut yang mulai beruban itu memukul-mukul punggung Jamal, tapi seberapa keras dia menolak, remaja itu juga semakin kokoh untuk tetap bertahan di sana.

****

Terhitung sudah tiga hari Jamal berdiam diri di rumah Maysarah, wanita yang dia ketahui seorang janda dan hidup menyendiri.

Tubuh wanita itu sebenarnya cukup kuat untuk mengangkat kayu-kayu bakar yang diambil dari hutan, tapi Jamal selalu sigap membantu membawa beban itu sampai ke rumah Maysarah. Tangannya pun cukup cekatan dalam menggunakan parang dan membentuk garis melingkar di pohon karet. Setidaknya, dia memenuhi janjinya untuk membantu dan tidak merepotkan Maysarah.

Tak susah untuk menyembunyikan keberadaan Jamal karena letak rumah Maysarah berada di ujung desa dan jarak antar rumah di desa itu cukup jauh. Dan Maysarah selalu memperingatkan remaja itu untuk jangan memperlihatkan dirinya di hadapan warga.

“Makanlah!”

Jamal mengangguk. Lalu tangannya sibuk mengupas kulit singkong. Matanya beralih, menatap jendela yang menampakkan iring-iringan lelaki dengan ikat kepala merah. Mereka berkeliling di jalanan hampir setiap hari, membentuk konvoi motor. Namun hari ini, tatapan Jamal tak bisa diartikan oleh Maysarah kala iring-iringan itu lewat dengan tangan kanan menggenggam erat mandau2 dan kumpang3 terikat di pinggang, sedangkan tangan kiri menenteng kepala yang baru saja terlepas dari badan. Darahnya masih menetes dan meninggalkan jejak di jalanan. Mereka mengaraknya di jalanan, seperti mempertontonkan kepada masyarakat. Bagi mereka, itu sama seperti piala kemenangan yang harus dibanggakan.

Tradisi Ngayau4 sebenarnya sudah ditinggalkan dalam Perjanjian Tambung Anoi tahun 1800-an, tapi kini malah kembali digelar. Orang-orang itu beranggapan bahwa dengan memenggal kepala, maka akan membebaskan mereka dari roh para lawan.

Aparat yang berjaga di pinggiran jalan tidak dapat berbuat banyak karena kalah jumlah dan takutnya akan menyulut emosi orang suku. Itu akan menjadi hal yang sangat ditakuti, sementara ada anak dan istri yang memerlukan sesuap nasi.

Jamal bergeming dan menatap nanar. Dia berpikir, mungkin ayahnya juga bernasib sama; kepalanya dibawa berkeliling atau dibiarkan menggelinding di pinggiran jalanan.

***

“Apakah benar ucapanmu bahwa besok para tentara akan datang membawa truk dan beberapa bis untuk menjemput kami?”

Maysarah menghentikan kegiatannya. Dia menatap Jamal lekat dan menyipitkan mata, “Benar. Apakah kau berniat ikut pergi?”

Jamal dengan cepat mengangguk.

“Saranku, kau tetap saja di sini. Aku yakin, masalah ini akan cepat berakhir. Lagipula, apakah kau punya keluarga yang menunggu di sana?”

Jamal lagi-lagi menggeleng. Maysarah benar, dia tidak punya siapa-siapa lagi setelah ayahnya direnggut paksa pada malam itu. Mungkin, masih ada sanak keluarga di Madura, tapi dia sendiri tidak tahu mereka tinggal di mana dan bagaimana wajah mereka. Ayahnya sudah lama merantau ke tanah Borneo membawa ibunya yang saat itu tengah mengandung besar, dan tak pernah sekali pun kembali ke tanah asal mereka.

Maysarah mendesah lantas menyunggingkan salah satu sudut bibirnya. Dia senang. Kedatangan Jamal, sedikit banyak membantu kehidupannya. Remaja itu juga selalu menjadi obat untuk kerinduannya terhadap Badri, anak satu-satunya yang tewas tenggelam.

Dulu kehidupan Maysarah sangatlah bahagia bersama suami dan anak lelakinya. Walau hidup dalam keadaan jauh dari kata cukup, makan berupa tempe goreng dan telur sudah sangat mereka syukuri.

Dua tahun yang lalu, orang-orang ramai menggedor pintunya. Maysarah lekas membukakan pintu, yang ternyata mereka tengah membawa pulang suaminya yang ditemukan telah rebah di pinggiran sawah. Sejak saat itu, hidupnya seperti lorong nestapa.

Belum sempat lukanya sembuh, berselang empat bulan kemudian, Masyarah harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Badri juga pergi meninggalkannya tiba-tiba.

Pertengahan Februari itu sungai sedang naik hingga batas jalan, tapi semua aktivitas keseharian warga terhenti saat tubuh Badri ditemukan mengambang di sungai. Orang-orang dewasa mencebur ke air dan membawanya ke daratan. Dan memang tak ada helaan napasnya.Badannya membiru. Maysarah menangis kencang di hadapan badan anaknya.Dia memeluk tubuh itu erat seperti enggan untuk melepaskannya. Sementara orang-orang di belakangnya berbicara mengenai kemungkinan hilangnya nyawa anak itu. Bisa saja, Sungai Betangkang sedang meminta tumbal.Semua tahu, kalau alirannya bermuara dari Sungai Mentaya, tempat yang sampai ini masih meninggalkan misteri.

Hari itu, lorong nestapa yang Maysarah lewati menjadi gelap seutuhnya. Kalau saja Badri masih hidup, mungkin dia sudah sebesar Jamal. Sejak saat itu kakaknya datang dan memintanya untuk kembali saja ke desa tempat mereka dibesarkan. Lagipula, rumah peninggalan orang tua mereka sudah lama tidak terurus. Maysarah setuju. Menurutnya, pergi meninggalkan kenangan yang ada adalah jalan untuk bisa sembuh dari luka yang membalut hatinya.

Setiap dua minggu sekali kakaknya akan datang, membawakan beberapa makanan dan juga uang untuk keperluan Maysarah. Wanita itu terpaksa menerima semua bantuan karena upah dari menyadap karet tidaklah seberapa.

***

Kabar keberadaan Jamal sudah tersiar di hari ketujuh keberadaannya di kampung itu. Orang-orang desa kerap menatap sinis saat melewati rumah Maysarah, lantas mereka bergunjing tentang kegilaan wanita itu.

“Dia cari mati!”

“Percuma bicara, dia juga tidak akan mendengar. Aku saja lelah menasihatinya.”

“Bagaimana ini?”

“Biarkan saja. Nanti Zainal pasti bisa mengajak adiknya bicara baik-baik.”

***

Sore itu, seorang lelaki berperawakan tinggi dan badan yang cukup berisi berdiri di depan pintu Maysarah. Sesekali dia menghela napas kuat-kuat guna menetralisir amarah yang telanjur menguasai diri.

“Dimana anak itu?” tanya Zainal saat Maysarah baru saja membukakan pintu. “Kau ini benar-benar gila, May. Bisa-bisanya mengajak anak Madura ke rumahmu.”

“Kak, dia anak yang baik. Aku jamin, dia tidak akan membuat masalah.”

Maysarah sekuat tenaga menjelaskan kepada kakaknya perihal Jamal. Besar harapannya sang kakak mau mendengarkan dan memahaminya.

Hati Zainal yang semula panas, perlahan mulai luluh. Dia tak bisa membohongi bahwa ada secercah cahaya dalam mata adiknya saat bercerita tentang anak itu. Kalimatnya pun terdengar tenang tapi cukup berapi-api. Sudah lama dia tidak melihat semangat di diri Maysarah.

“Masuklah, akan aku kenalkan Kakak padanya.”

Zainal mengangguk lantas mengikuti langkah adiknya. Tapi badannya bergeming dan otaknya seperti sulit untuk berpikir saat tahu bahwa remaja yang berada di rumah itu adalah anak dari kawannya. Sementara Jamal terpaku dengan dada yang rasanya seperti dihimpit sebuah batu besar tepat di dadanya. Semua oksigen yang ada di ruang tamu itu seakan pergi menjauh.

Jamal sangat ingat wajah Zainal, lelaki yang malam itu meneriaki ayahnya sebagai pemberontak.

Zainal adalah orang yang dua bulan lalu kedapatan mengambil dana desa atas laporan dari ayahnya Jamal. Karena itu, dia diberhentikan secara tidak hormat. Merasa tidak terima, dia berniat untuk balas dendam, dan dia telah memenuhinya.(*)

Acil1: tante (bahasa Banjar)

Mandau2: senjata khas Suku Dayak

Kumpang3: sarung pisau

Ngayau4: tradisi memenggal kepala

Zuhliyana, wanita kelahiran Banjarmasin yang masih belajar cara menulis yang bagus.

Komentar juri, Reza:

Balas dendam tidak pernah mengakhiri sebuah masalah. Awal dari cerita ini bermula adalah sebuah balas dendam. Setiap karakternya memiliki porsi kuat. Konflik yang nyata. Dan sedikit memberikan peringatan, bahwa balas dendam tak akan pernah memberikan akhir indah.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply