MUSIM KARUNGAN
Oleh: Fika Anggi
Musim karungan, kata orang-orang kampungku. juga kata kawan-kawan Bapak yang sedang berkumpul di bale rumah beberapa malam yang lalu.
“Musim karungan maksudnya apa tho, Mak?” tanyaku pada Emak yang bergelung mendekapku dalam pelukannya. Biasanya Emak akan mendongengkan Lutung Kasarung, Cindelaras, atau Ajisaka. Tapi, malam itu Emak menahan mulutnya rapat-rapat, memasang telinganya lebar-lebar, mencoba menguping pembicaraan Bapak dan kawan-kawannya di depan rumah. Emak memberi isyarat agar aku menutup mulut dan memejamkan mata. Aku menangkap kilatan-kilatan yang berbeda di mata Emak yang sehari-hari menjelma sebening telaga.
“Aku ndak bisa tidur, Mak. Ceritakan tentang Damarwulan dan Kencono Wungu saja kalau begitu,” rengekanku justru dijawab dengan makin ketatnya dekapan Emak dan tepukan ritmis di pantatku. Emak benar-benar menyuruhku tidur cepat malam itu.
***
Musim karungan, kata Yono.
Aku, Yono, dan enam kawan lain sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Sebuah SD Inpres yang terletak di mulut desa, sekitar setengah jam jalan kaki dari kampung kami. Udara kering dan berdebu karena sudah berada di puncak kemarau. Angin menerbangkan daun-daun kering dan pohon meranggas di mana-mana.
“Musim karungan?” Aku mengulangi pernyataan Yono dengan nada bertanya.
“Orang-orang bertato dijemput dari rumah mereka dan dibawa entah ke mana. Beberapa hari kemudian, mayatnya dikembalikan ke rumahnya dalam karung-karung goni atau ditemukan tergeletak sembarangan. Kadang di parit, kadang di jalan menuju sawah, kadang di ladang tebu, di mana saja. Itu kata bapakku.” Bapak Yono seorang pamong yang bekerja di kantor desa.
Aku ingat, Bapak memiliki tato di dadanya. Tak banyak orang tahu, Bapak jarang bertelanjang dada. Biar begitu, aku tetap merasa was-was. Aku bertanya pada Yono, kenapa tiba-tiba orang-orang bertato dijemput dari rumah mereka. Yono hanya mengatakan, bahwa itu adalah instruksi Presiden.
“Instruksi Presiden?” Sadi dan Parlan, yang berjalan sedikit di belakang, bertanya nyaris berbarengan. Entah karena kurang jelas mendengar atau mereka ingin memastikan bahwa instruksi Presiden itu sama seperti bangunan tempat kami bersekolah. Aku sungguh tak benar-benar mengerti maksud istilah ini. Kami melanjutkan perjalanan dalam diam, tanpa canda gurau seperti hari biasanya.
Sejak itu, tetangga jadi jarang berkumpul di pos kamling yang dibangun di gapura kampung. Mereka tak lagi menyulut rokok klobot dan menyesap beberapa gelas kopi dalam obrolan-obrolan malam. Kampung berubah senyap. Kawan-kawan pun tak lagi bermain di bawah sinar bulan dan meningkahi suara jangkrik dengan teriakan-teriakan kegirangan.
Di rumah, Emak jadi jarang mendongeng saat menidurkanku, juga makin sedikit bicara dengan Bapak. Kulihat Bapak menjadi murung dari waktu ke waktu. Ketika pada suatu malam, bapak Yono datang bertandang dan menepuk halus pundaknya. Bapak makin menunduk menyembunyikan raut wajahnya. Aku tak sungguh mendengar apa yang mereka bicarakan karena Emak mengajakku masuk ke kamar.
“Kang, bagaimana kalau Akang juga menjadi korban petrus ini?” Aku tak bermaksud menguping sebenarnya, hanya terbangun karena kebelet kencing, dan itulah kalimat pertama yang kudengar saat kesadaranku kembali sepenuhnya. Seperti biasa, suara Bapak yang berat menjawab bahwa semua akan baik-baik saja.
“Di desa ini yang bertato cuma Akang.” Bapak menjawab kegusaran Emak dengan mengatakan, bahwa tak semua yang bertato akan dijemput dan ditembak, lalu mayatnya dipulangkan dalam karung-karung goni atau digeletakkan di mana saja.
“Lagipula aku bukan seorang gali, Ratmi. Tato ini hanya sisa-sisa kesenangan masa muda bersama kawan-kawan dulu. Tak perlu terlalu kau pikirkan. Suratman tadi ke sini hanya mengatakan, bahwa petrus tak akan mampir ke dukuh ini. Tak seorang pun di kampung ini yang menjadi bromocorah dan mengacau pemerintah. Kau tenang sajalah!”
Emak menggumamkan sesuatu tentang masa muda Bapak, tapi Bapak tak kudengar menjawab. Mataku memincing, aku sedang berpikir sambil bertanya-tanya, siapa Petrus? Aku tak jadi kencing.
***
Suara jangkrik bersahutan dengan tonggeret. Malam mulai datang. Emak menurunkan petromaks yang digantungkan di dinding bale dan memompanya lagi. Pijar cahayanya bertambah terang. Aku duduk mencangkung, memperhatikan balok kayu yang menyangga atap rumah. Beberapa bagiannya terlihat mulai keropos, satu dua tikus kadang berkejaran di sana. Di sudut-sudut tampak sawang dan rumah laba-laba, sapu Emak tak cukup panjang ketika dijulurkan untuk membersihkannya. Ada ketupat kering tergantung di pintu masuk, akan diganti dengan ketupat yang baru jika lebaran datang. Kalender kadaluarsa bertahun lalu tetap dipertahankan oleh Emak untuk menutup sebuah lubang akibat terbakar nyala ublik yang hilang tutup kacanya. Sudah lama sekali, waktu itu kami belum punya petromaks. Warna dinding bambu rumah sudah pudar di beberapa bagian. Dua bulan lalu, Bapak mengatakan akan mengapurnya ulang. Dua buah kursi yang terbuat dari anyaman rotan, sebuah bangku panjang dan meja—yang panjangnya nyaris sama dengan bangku—terbuat dari kayu adalah perabotan di ruangan ini selain bayang yang kududuki. Segelas kopi yang mulai dingin sudah disiapkan Emak untuk Bapak di atas meja itu.
Bapak masih belum pulang sejak empat hari lalu. Seseorang menjemputnya selepas Maghrib. Emak mendekapku dan menangis sesengggukan ketika Bapak menghilang ke dalam sebuah mobil yang semua kacanya gelap. Selama itu pula telaga di mata Emak tumpah menjadi sendang-sendang air mata. Aku sendiri tak tahu harus menangis atau bagaimana. Biasanya jika aku menangis, Emak dan Bapak akan segera mengabulkan yang kuinginkan. Petang saat Bapak dijemput sampai petang setelahnya aku masih menangis, tapi Bapak tak kunjung pulang. Aku letih menangis terus-terusan.
Seperti empat malam lalu, sejak petang tadi Emak sudah duduk menunggu Bapak di salah satu kursi rotan. Aku tahu bahwa nanti malam aku akan tidur sendiri lagi. Aku tak tahu kapan Emak masuk ke rumah, tapi saat aku bangun di pagi hari Emak sudah selesai memasak sarapan. Aku berharap Bapak segera pulang karena aku ingin mendengar dongeng Bandung Bandawasa dari bibir Emak yang piawai bercerita. Lalu, aku teringat kalimat Yono beberapa hari yang lalu, aku takut Bapak pulang dalam karung. Kelihatannya aku akan menangis, meski tadi aku tak yakin masih sanggup menangis seperti Emak. Malam ini aku akan menemani Emak menunggu Bapak.
Aku nyaris tertidur ketika kudengar teriakan tertahan Emak. Bapak pulang. Diturunkan dari mobil yang sama dengan yang membawanya empat hari lalu. Tidak dalam karung.
Esok paginya, mayat Pak Kades ditemukan tersangkut di sungai yang melintasi sekolahku, SD Inpres di ujung desa. Di lengan kirinya ada gambar jangkar.(*)
Footnote:
Bale : sebutan untuk ruang tamu di rumah-rumah kampung atau pedesaan zaman dulu.
Pamong : pejabat kantor desa / kelurahan.
Klobot : kulit jagung. Rokok Klobot adalah campuran tembakau dan cengkih yang dibungkus dengan kulit jagung.
Bayang : semacam dipan (tempat tidur) yang terbuat dari bambu.
Ublik : lampu minyak tanah.
Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi ibu, manusia dan penulis yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata