Musibah

Musibah

Musibah

Oleh: Triandira

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara seseorang sedang mengetuk pintu. Tak lama setelahnya, Hendi membuka benda bercat putih itu lalu mempersilakan dua orang di depannya masuk ke dalam ruangan. Wajah mereka mirip, yang satu adalah perempuan paruh baya sedangkan yang satunya lagi adalah cowok seumuran Lisa.

Untuk beberapa saat mereka bertiga sibuk berbincang. Saling memperkenalkan diri, lalu duduk di kursi yang terletak tak jauh dari ranjang tempat Lisa terbaring lemah.

“Lis …,” bisik Hendi sambil mengelus lembut lengan putrinya.

“Jangan dibangunkan, Pak,” sela perempuan itu. “Biarkan dia istirahat.”

Tepat ketika Hendi melepaskan tangannya, sang anak mulai membuka mata. Pelan, hingga akhirnya gadis itu bisa melihat dengan jelas wajah dari salah satu tamu yang sedang menjenguknya sekarang.

Lisa tersenyum, lalu menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia menyambut hangat kedatangan Fitri. Di saat yang sama, perempuan itu mendekat lantas menjabat tangan gadis di hadapannya yang masih terkulai lemas. Meski ini pertama kalinya mereka bertemu, tapi Lisa bisa merasakan bahwa Fitri adalah sosok yang baik dan peduli terhadap orang lain. Karena jika tidak, mana mungkin tamunya tersebut menyempatkan diri untuk datang kemari.

“Bagaimana keadaanmu, Lis?” tanya Fitri usai mereka berkenalan.

“Alhamdulillah. Sudah lebih baik, Tan.”

“Syukurlah kalau begitu.” Fitri tersenyum, namun dari matanya yang sendu Lisa bisa melihat bahwa ada kecemasan dan kesedihan di sana.

“Tante minta maaf, ya,” ucapnya memecah keheningan yang sempat menyergap di antara mereka. Tak lama kemudian, ia menitikkan air mata.

Lisa bingung, tak tahu harus mengucapkan apa. Ia bahkan tak mengerti dengan hal yang baru saja didengarnya. Tak ingin memperburuk suasana gadis itu bermaksud meminta Hendi agar membantunya menenangkan Fitri. Tapi belum sampai melontarkan sepatah kata pun, matanya telah lebih dulu menatap wajah cowok yang kini berdiri sambil menundukkan kepala.

Deg!

Seketika jantung Lisa seolah berhenti berdetak. Ia terbelalak dengan dada yang terasa sesak. Cowok itu tak berani lagi menatapnya setelah menyadari raut muka yang ia tunjukkan. Sekarang, Lisa sudah mengingat semuanya.

Tamu tersebut adalah Rendi. Cowok terpopuler di SMA Bimasakti. Sekolah yang berada sekitar seratus meter dari sekolah tempat Lisa menuntut ilmu. Sebuah keadaan yang menyebabkan gadis itu sering merasa cemas.

Ini semua tentang kejadian yang ia alami kemarin sore. Waktu itu Lisa sedang berdiri di tepi jalan bersama temannya, Naya. Mereka hendak pulang ke rumah setelah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Tidak seperti biasanya, mereka memutuskan untuk naik kendaraan umum setelah Naya memastikan pada sahabatnya itu bahwa ia tidak bisa membawa sepeda motor miliknya.

Selama ini Naya selalu memberi Lisa tumpangan ketika berangkat maupun pulang sekolah. Rumah mereka yang berdekatan menjadi salah satu alasan Naya melakukannya. Apalagi mereka sudah lama bersahabat, jadi sudah terbiasa melakukan banyak hal bersama-sama.

“Ada apa, Lis?” tanya Naya ketika sahabatnya mendadak gelisah.

“Di mana aku meletakkannya, ya?”

“Apa?”

“Kunci rumahku, Nay,” jawab Lisa dengan nada yang panik.

Sebelum keluar kelas, putri Hendi itu sempat mengeluarkan barang-barang dari dalam tasnya. Seorang teman ingin meminjam flashdisk untuk mengerjakan tugas yang diberikan wali kelas. Ia memang selalu membawa benda kecil itu ke sekolah, tak peduli sedang dibutuhkan atau tidak.

Setelah berulang kali merogoh saku dan tak kunjung menemukan benda yang ia cari, akhirnya Lisa mengeluarkan semua isi tasnya. Dan benar saja, flashdisk itu terselip di antara alat tulis dan kunci rumah yang kebetulan juga ia bawa. Sehari sebelumnya, Hendi mengatakan kepada putrinya untuk membawa kunci rumah saat berangkat ke sekolah. Itu karena lelaki berjanggut tersebut sedang menghadapi keperluan mendadak yang mengharuskannya pulang larut malam.

“Cepatlah. Jika tidak kita bisa kehujanan nanti,” ucap Naya begitu bel pulang berbunyi. Setelah menemui temannya, Lisa bergegas pergi. Namun karena terburu-buru, ia sampai tidak menyadari bahwa kunci itu tertinggal di atas meja.

“Astaga! Aku ingat sekarang,” lanjutnya begitu mengingat sesuatu. “Sepertinya ada di dalam kelas. Biar kuambil dulu.”

“Aku temani, ya.”

“Tidak usah, Nay. Kamu tunggu di sini aja, oke?” teriak Lisa sambil berlari memasuki halaman sekolah lalu menuju ruang kelas, tempat di mana ia meninggalkan kunci itu tadi.

Syukurlah, akhirnya ketemu juga. Tak ingin membuang waktu, Lisa bergegas pergi. Menghampiri Naya yang sedang menunggunya di tepi jalan dengan wajah cemas. Terlebih ketika dari kejauhan, segerombolan pelajar tiba-tiba muncul di belakang sahabatnya. Sebagian dari mereka masih menggunakan seragam, sebagiannya lagi berpakaian layaknya preman. Mereka berteriak, mengujar kata-kata kotor sambil memegang benda-benda tajam di tangannya. Ada yang membawa pisau, balok kayu, dan petasan.

“Awasss!!!” jerit Naya.

Bruk!

Lisa terjatuh usai tersandung ketika berlari menghampiri Naya, dan balok kayu yang dilempar oleh seseorang di antara mereka mengenai punggungnya. Naasnya lagi, belum sampai tubuhnya berdiri dengan sempurna, seseorang menabrak gadis itu dari belakang.

Jduk!

Lisa tersungkur ke aspal. Benturan yang cukup keras membuat kepalanya terasa pusing dan pandangannya kabur. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Keesokan harinya, Lisa sudah mendapati dirinya terbaring lemah di rumah sakit ini. Sebenarnya keadaan gadis itu tidak terlalu parah, tapi dokter menganjurkan agar ia menjalani rawat inap. Hanya untuk satu atau dua hari saja.

“Besok aku sudah boleh pulang kan, Yah?” tanyanya usai Hendi menemui dokter.

“Iya, Nak.” Lisa tersenyum mendengarnya. Berada di rumah sakit seperti ini benar-benar membuatnya merasa bosan. Ia rindu pada Naya, teman-teman, dan aktivitas yang biasa ia lakukan setiap hari. Baik itu di rumah maupun di sekolah.

“Oh, ya, tadi Naya telepon. Katanya, besok ia baru bisa ke sini lagi untuk menjemputmu.”

“Besok?” sela Lisa dengan raut wajah sedih, dan sekarang perasaan itu kembali muncul setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, seseorang yang sudah menabraknya kala itu.

Rendi. Seorang cowok bertubuh tinggi, berwajah tampan, tapi berperilaku buruk. Sebagai pelajar yang populer di sekolahnya, Lisa bisa dengan mudah mengenalinya. Cowok itu tidak hanya terkenal karena sering membolos, melainkan juga sering terlibat tawuran. Sialnya, saat peristiwa tersebut terjadi Lisa sedang berada di tempat yang sama.

“Lekas sembuh ya, Lis, dan … sekali lagi maafkan aku.”

Lisa hanya menganggukkan kepala ketika mendengar ucapan itu, dan setelah berulang kali meminta maaf, akhirnya Fitri memutuskan untuk pulang. Begitupun Rendi, yang sempat menoleh ke arah si gadis dengan tatapan penyesalan.

“Aku memaafkanmu,” bisik Lisa dalam hati. Tepat ketika Rendi berdiri di dekat pintu sambil tersenyum samar dengan mata berkaca-kaca.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata