Musafir Cinta
Oleh: Zatil Mutie
Cerpen Terpilih ke-11 pada #Tantangan_Lokit_6
Bertahun-tahun sudah kutapaki sendunya hari yang terus berlari. Terjerembap dalam putaran kenangan yang terus menari. Bahkan, aku enggan menatap masa depan. Masih kupeluk sekeping cinta yang menguatkanku hingga menua ….
***
Pertemuanku dengan Ratih setelah 6 tahun terpisah, saat kami harus menjemput cita-cita di kota berbeda. Cintaku tak pernah surut, tak ada seorang wanita pun yang mampu menggantikan sosok gadis kecil penuh keceriaan itu.
Mungkin saat itu terlalu dini di usiaku yang baru menginjak usia 14 tahun, sudah merasakan jatuh cinta. Itu pun kepada anak perempuan polos berusia 12 tahunan. Bahkan gadis pemalu itu makin sedih tatkala teman-temannya menjadikanku bahan ejekan sebagai pacarnya.
Pesan cinta yang kukirim melalui Sari, sepupuku. Seketika menyebar bak debu yang tertiup angin kemarau. Sejak saat itu gadis pujaanku bungkam, tak ada lagi senyum di wajahnya ketika berpapasan. Begitu pula dia berusaha mencari jalan lain ketika melintasi rumahku yang selalu dia lalui ketika berangkat sekolah. Tapi … justru itu yang membuatku makin menyukainya.
Senja kelabu di awal musim hujan menebar bau petrichor. Kelam yang mulai turun menghitam bak jelaga, seperti mengisyaratkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Peristiwa yang membuatku terperosok ke titik nadir. Ibu yang sudah sejak lama bergelut dengan diabetesnya mengembuskan napas terakhir. Aku benar-benar terpukul.
Saat mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir, sebuah tangan mungil mengulurkan selembar saputangan putih, matanya begitu sendu. Ah … Ratih, benarkah itu kau?
***
6 tahun berlalu ….
Kulihat seorang gadis anggun nan ceria sedang mengajar keponakanku di sebuah TK. Matanya penuh binar, ada satu lekuk di wajahnya yang mengingatkanku pada seseorang.
“Om, ayo pulang!” ajak Tasya. Keponakanku yang manis.
“Ayo, eh … siapa nama ibu gurumu itu, Cantik?”
“Dia namanya Bu Ratih, Om.” Tasya menarik lenganku menuju mobil.
Ratih? Aku tertegun sejenak. Lalu berbalik, Tasya tak henti memanggilku dari belakang.
Kupandangi dari ujung rambut hingga kaki, sosok yang dari dulu menggelayuti benakku, dan enggan beranjak ke manapun. Sosok yang selalu kunanti di setiap detik, di setiap embusan napasku. Kini menjelma menjadi seorang bidadari.
“Ratih ….” Seketika suaraku tercekat.
“Ma—maaf, Anda siapa, ya?” Gadis itu tampak kebingungan.
“Aku … aku Bram. Bramasta.” Detik itu ribuan kata yang sudah kususun terbang terbawa angin. Melihat mata yang dulu begitu polos itu menatapku bingung. Kutemukan potongan kepolosan yang belum beranjak dari dulu.
***
Pertemuan yang tak kuduga kala itu mengalirkan kisah yang dulu sempat terhenti. Cinta masa kecilku telah kembali.
“Mas, ingatkah kamu, waktu Mas mengaji di surau Pak Saleh?”
“Ah … kapan itu? Aku lupa,” jawabku pura-pura.
“Masa, Mas lupa? Malam itu, saat lampu tiba-tiba padam, dan anak-anak berlari ketakutan, kita refleks saling menyoroti dengan senter di bawah pohon mangga,” papar Ratih penuh semangat.
“Lalu?”
“Ah, Mas pelupa.” Wajah manisnya seketika meredup.
“Lalu, aku—”
“Lalu … kamu tersipu, pipimu merona dalam remang. Lalu kamu berlari meninggalkanku, dan saat itu aku pun tahu, kalau gadis lugu itu menyukaiku diam-diam.” Ratih mencubit pipiku lembut. “Aku gak mungkin lupa, sampai kapan pun, Sayang.”
***
Cinta pertamaku juga cinta sejatiku kini terukir dalam kisah penuh elegi, hingga sebuah anomali menarik kami dalam pusaran kegetiran.
“Mas, aku berhenti sampai di sini,” rintihnya pelan. “Orangtuaku … segalanya bagiku.”
“Maksudmu? Kamu akan pergi seperti dulu?”
“Bukan pergi. Bahkan aku harus menghapus semua bayangmu ….” Isaknya mulai terdengar pilu.
“Ayolah, Sayang! Masih ada cara menyadarkan orangtuamu, jangan menyerah.” Kurengkuh jemarinya lembut, mentransfer berjuta kekuatan kepada gadisku yang makin rapuh.
Ya, dilema perjodohan kini menghantam, badai dahsyat yang memorakporandakan kokohnya cinta kami telah menerpa.Perlahan biduk cita-cita kami karam. Cinta pertamaku telah direnggut sang takdir yang begitu kejam.
Waktu demi waktu merayap pelan, menusukku dengan sejuta sembilu. Melihat gadisku kini menikah, bahkan hingga tahun-tahun berlalu, saat dia memiliki anak yang lucu, aku masih berdiam dalam kubangan kisah cinta yang tragis. Aku masih setia memeluk kenangan manisnya.
“Kapan Om mau menikah?” Pertanyaan itu selalu kudengar setiap Tasya melihatku asyik menggoreskan warna di atas kanvas.
“Om, sudah cukup mencintai seseorang, Cantik. Buat apa menikah, jika cinta Om sudah terbelenggu pada dia?”
“Om, ikhlaskanlah Bu Ratih. Om butuh kebahagiaan bukan sekadar cinta.” Gadis itu menatapku pilu.
***
50 tahun sudah aku berkelana di dunia. Rambutku mulai memutih, saat kutimang bayi mungil kemerahan. Ya, bayi dari Tasya, keponakanku. Setahun yang lalu dia menikah, dan aku masih asyik meggoreskan cat di atas kanvas, melukiskan gadis pujaan yang selalu menemani kesepianku. Lalu … hari itu tanganku terkulai, napasku sesak. Dadaku begitu berat.
“Mas, maafin Ratih ….” Suara lembut itu membuatku memicingkan mata.
Kulihat di sekelilingku, keluargaku dan … Ratih yang tampak sudah menua menggendong anak bungsunya yang lucu.Lalu kututup mataku menuju keabadian, senyum mengukir di bibirku melepas alam fana. Karena kisah ini telah sempurna, kisah sang pencinta sejati yang malang. (*)
Cianjur, 7 September 2018
Zatil Mutie, pengukir noktah literasi, pemimpi yang terjerembab dalam kubangan elegi yang terdistorsi. FB: Mom’s Zalfa Adeeva Zahra
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata