Pangir Terakhir

Pangir Terakhir

Pangir Terakhir

Oleh: Cici Ramadhani

Semua menyambut suka cita datangnya bulan Ramadhan, bahkan sekolah memberikan libur di minggu pertama puasa. Namun, tidak bagi Muni. Bulan puasa baginya hanyalah kesakitan tersendiri. Meskipun Muni sangat menyukai ketika ibunya merebus daun pangir, membuat rumah berukuran tiga enam itu akan dipenuhi aroma pangir.

“Ayo, mandi. Udah sore ini!” teriak Bu Siti dari dapur. Satu dandang besar air rebusan pangir telah siap untuknya dan ketiga anaknya.

Tanpa disebut nama, ketiga anak-anaknya mulai bersiap dengan mengalungkan handuk masing-masing. Dimulai dari si Sulung–Rahmat. Dengan cepat dia masuk ke kamar mandi setelah ibunya menyiapkan air rebusan dalam ember. Sementara kedua adiknya menunggu sambil menonton televisi.

“Muni, Abang sudah siap!” teriak Rahmat.

Bu Siti kembali menuangkan air rebusan pangir dari dandang ke dalam ember kemudian menambahkannya dengan air bak.

“Kalau terasa masih panas, tambahi aja sendiri air dari baknya. Bisa, kan?” tanya Bu Siti ketika Muni dari depan kamar mandi.

“Ya, Bu,” jawab Muni mengangguk.

Selain merasa segar, wangi pangir dipercaya bisa membersihkan tubuh sebelum menyambut bulan suci Ramadhan. Ini adalah tradisi turun-temurun masyarakat Sumut.

***

Puasa telah memasuki minggu kedua, tetapi tidak sekali pun Muni merasakan ketenangan batin. Bocah berusia sembilan tahun itu, selalu didera rasa takut ketika sahur tiba, saat dia lihat bapaknya tengah tidur di depan televisi. Muni tak pernah tahu jam berapa bapaknya pulang. Pasti saat semua orang telah terlelap, pikirnya. Kemudian Muni lebih memilih bermain di luar rumah dan kembali setelah melihat bapaknya berangkat kerja.

Bu Siti dan ketiga anaknya menyantap sahur dengan tenang. Setiap tahun suaminya tidak pernah berpuasa. Bu Siti pun tak pernah mengajaknya sejak kejadian dulu sekali, saat tamparan yang diterimanya akibat mengusik tidur suaminya. Sehingga ketika suaminya di rumah, semua akan memasang mode diam.

***

“Ampun, Bang.” Terdengar isak tangis Bu Siti.

Jeritan, tangisan, raungan, kembali menyayat hati Muni. Muni duduk terkulai di balik pintu kamar. Tubuhnya bergetar. Air matanya berderai. Pikirannya berkecamuk membayangkan pukulan demi pukulan yang diterima ibunya. Muni memeluk kedua kaki, sambil menahan tangis. Muni tak ingin suara tangisnya akan membangunkan adiknya–Fitrah–yang berusia lima tahun itu. Sedangkan abangnya, Rahmat, sedang berada di rumah nenek mereka. Muni menutup telinga dan kedua matanya. Kejadian seperti ini adalah kebiasaan setiap tahun yang bapaknya berikan. Bapaknya yang kejam. Bapaknya yang suka berselingkuh. Itulah yang selama ini dia curi dengar dari balik pintu kamarnya.

Muni memberanikan diri melihat dari celah pintu kamar. Ibunya memeluk kedua kaki bapaknya, kemudian bapaknya menjambak rambut ibunya hingga menghasilkan pekikan yang tertahan. Muni menutup mulutnya dengan kedua tangan dan kembali meringkuk di balik pintu. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menolong ibunya. Hanya ada rasa sakit.

Hujan deras mengguyur bumi yang fana. Entah sejak kapan Muni tertidur, saat dia terbangun ibunya telah berada di sisi Fitrah, memeluk adik kecilnya itu.

Muni mendekati ibunya, lebam di pipi kanan-kiri, sudut bibir yang berdarah, serta rambut yang kusut. Menyedihkan, begitulah kondisi ibunya saat ini. Muni menahan suara tangisnya, kemudian memeluk ibunya tanpa mampu berkata-kata. Gadis sembilan tahun itu punya banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya, tetapi bibirnya terkunci.

Gadis kecil itu merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tubuh ibunya dingin, tidak menghangat seperti biasanya. Muni mengguncang tubuh ibunya, tetapi gerakan sedikit pun.

“Bu, bangun. Ibu ….” Muni terisak sambil terus mengguncang tubuh ibunya yang telah kaku. (*)

Cici Ramadhani, Ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply