Mukena Mak
Oleh: Abdul Rahman Nasir
19 Februari 1996M/29 Ramadhan 1416H
Suara takbir menyambut hari kemenangan bagi umat Islam terdengar sayup-sayup dari sebuah masjid yang terletak di kaki Bukit Muntai desa Keposang, malam itu.
Baru saja kaum muslimin selesai menjalankan ibadah shaum sebulan penuh. Kegembiraan bukan hanya dirasakan anak-anak, melainkan semua umat Islam, tua-muda, pria-wanita, kaya-miskin, termasuk mungkin yang hanya menjalankan puasa di awal dan di akhir bulan Ramadhan.
Tidak tampak kembang api yang menghiasi langit desa Keposang kala itu, sebagaimana yang terjadi di malam takbiran di kota-kota. Yang ada hanya suara sayup-sayup suara takbir yang keluar dari pengeras suara masjid.
Ibu-ibu sibuk dengan tugas seorang istri secara turun-temurun, memasak opor ayam dan merebus ketupat untuk persiapan santapan di hari lebaran. Bapak-bapak asyik menyaksikan acara takbir akbar yang disiarkan langsung dari pemerintah pusat melalui channel TVRI.
Kaum remaja sebagian tampak berkumpul di masjid dan asyik rebutan memukul beduk yang terpasang di sudut teras masjid, dengan irama khas diiringi lantunan takbir, tahmid, dan tasbih. Tampak remaja-remaja lain nongkrong di persimpangan-persimpangan jalan. Anak-anak sibuk bermain sesama mereka, di bawah sinaran lentera dan obor bambu.
***
Tahun 1996, kala itu, desa Keposang, desa yang terletak di salah satu kecamatan di kabupaten Bangka itu belum teraliri listrik PLN. Penerangan yang digunakan mengandalkan listrik bermesin diesel. Satu-satunya mesin diesel saat itu adalah milik Pak Caya, Kadus Parit 1. Rumah penduduk menerima aliran listrik dari Pak Caya hanya pada malam hari, pukul 06.00 sampai maksimal pukul 10.00. Itu pun jika mesin tidak bermasalah atau solar sebagai bahan bakar mesin diesel tersedia. Tak jarang, rumah-rumah penduduk hanya diterangi dengan lentera berbahan bakar minyak tanah atau lampu minyak yang terbuat dari kaleng bekas. Ada juga yang menggunakan lampu strongking, lebih keren sedikit, dan tampak cahaya yang terang dan putih layaknya cahaya lampu pijar PLN.
Salah satu rumah yang berdiri di desa ini adalah rumah keluarga Pak M dengan Ibu Mina. Keluarga ini memiliki delapan putra dan putri, dua laki-laki dan enam perempuan. Keluarga besar dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat-sangat sederhana.
Bapak M seorang nelayan kecil, menangkap ikan di laut yang ditempuh sejauh 15 kilometer dari kediamannya. Hasil tangkapan dijual dengan orang-orang yang dilalui sepanjang jalan pulang dari laut menuju rumah, sesekali hasil melaut dijual ke pengepul ikan, manakala hasilnya melimpah. Tak jarang, beliau pulang dengan hasil yang kosong, terlebih jika gelombang laut lagi tak bersahabat. Bapak M tekun melakukannya.
Ibu Mina, seorang ibu rumah tangga. Aktivitasnya lebih banyak dihabiskan di perkebunan lada milik mereka. Kebun lada mereka dikendalikan oleh si ibu dibantu oleh anak-anaknya. Pagi-pagi ketika anak-anaknya berangkat sekolah, ia pun berangkat ke kebun, berjalan kaki. Pulang kala petang saat magrib tiba.
Anak sulung keluarga ini bernama Wahid, sedang menempuh pendidikan sarjana di ibukota provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Sedangkan adik-adiknya masih tinggal dengan kedua orangtuanya.
Arman, adalah anak laki-laki kedua di keluarga itu. Anak kelima dari delapan bersaudara. Usianya beranjak 13 tahun pada bulan Juli tahun itu. Ia masih duduk di kelas 6 SD Negeri 289 Keposang.
Berbeda dengan kakak sulungnya yang laki-laki, Arman tidak banyak menuntut terhadap keluarganya. Ia ke sekolah dengan seragam yang tampak dimakan waktu, sepatu yang menganga. Buku-buku pelajaran tak pernah ia memaksakan untuk membeli. Tak jarang ia harus meminjam buku temannya untuk dicatat ulang dalam buku catatannya, agar setiap pelajaran ia tidak menggangu teman-tamannya yang memiliki buku pelajaran.
***
Malam takbiran manyambut hari kemenangan 1 Syawal 1416 Hijriyah, Arman memperhatikan tingkah laku ibunya yang tak biasa, tampak raut wajah yang begitu sedih.
Malam semakin larut, suara takbiran di masjid berangsur-angsur menghilang. Penerangan listrik dari diesel Pak Caya sudah diberikan aba-aba untuk dipadamkan, listrik diredupkan lalu dinormalkan kembali dari sumber dieselnya. Ini artinya aliran listrik akan dimatikan, harap bersiap-siap.
“Mak, ngape? Mak nangis, ya?” Arman mencoba mendekati ibunya yang tampak menangis.
“Dak, Mak cuma kepedasan kena asap tungku dapur,” Ibu Mina mencoba mengelak sambil mengusap air matanya.
“Man, napa belum tidur, kakak dan adik-adikmu sudah pada tidur semua, Kamu belum mengantuk?”
“Belum, Mak. Masih mau menemani Mak sampai selesai masak.”
Arman meninggalkan ibunya di dapur yang sedang mencuci baskom bekas penampungan beras membuat ketupat.
Arman masih penasaran, ibunya menangis. Selama 12 tahun dalam hidupnya, ia jarang sekali melihat ibunya menangis. Ibunya seorang wanita yang kuat, tabah dan pejuang sejati. Semarah apa pun suaminya, Pak M, ia tidak pernah melawan apalagi perang, perang mulut sekalipun.
“Jangan-jangan ini ulah si Abang,” Arman mencoba menerka-nerka, kakak sulungnya yang dipanggil abang yang menjadi sasaran terkaannya.
Kakak sulung Arman, Wahid, memang yang paling sering membuat orangtuanya menangis dan marah. Kemarahan orangtuanya, bukan karena anak sulungnya itu nakal, narkoba misalnya. Tetapi, ia sering hidup berfoya-foya. Uang kuliah, uang bulanan yang dikirim setiap awal bulan tak jarang dihabiskan dalam sekejap. Membeli barang-barang yang tak perlu, ikut gaya hidup teman-temannya yang dari keluarga beruang.
Suatu ketika, bapaknya marah. Andaikan saat itu telah memiliki telepon genggam, pastilah Wahid ditelepon langsung oleh bapaknya dan diperintahkan pulang, menghentikan pendidikannya. Saat itu, kondisi keuangan keluarganya benar-benar paceklik. Hasil melaut tak ada, panen lada belum saatnya, simpanan telah habis. Makan pun sudah diselang-seling dengan aruk (singkong yang diolah menggantikan posisi nasi). Belum lagi tunggakan SPP adik-adiknya yang sudah sampai tiga bulan. Tiba-tiba, seorang teman sekontrakan Wahid datang menyampaikan surat darinya.
Pak M membuka perlahan surat beramplop putih dengan border merah hitam. Beliau memasang kacamata, agar tulisan anaknya tampak lebih jelas.
Assalamualaikum Wr. Wb.…
Alhamdulillah ananda di sini dalam keadaan sehat walafiat tanpa satu kekurangan apa pun. Begitu juga harapan ananda pada kedua orangtua dan adik-adikku di sana, semoga sehat selalu dan dalam lindungan Allah SWT.
Sepenggal kalimat pengantar surat itu menyejukan hati bapak yang berkacamata itu. Dibacanya kalimat demi kalimat, sampai pada inti surat yang dikirim anak beliau tersebut.
Ananda bermaksud memberitahukan kepada kedua orangtua, bahwa ananda membutuhkan uang untuk membeli buku-buku kuliah dan keperluan lainnya. Ananda juga telah membeli satu set meja belajar seharga Rp600.000 (enam ratus ribu rupiah) dan belum dibayar. Ananda juga membutuhkan sebuah komputer, untuk mengetik tugas-tugas kuliah seperti teman-teman ananda yang lainnya.
Membaca permintaan itu, si Bapak tak bisa menahan emosinya.
“Ini anak sudah keterlaluan, dikiranya orangtuanya tukang cetak uang apa?! Jangan mimpi tidak-tidak, nak! Jangan berak kalau tak ada tai di jubur,” pepatah yang lucu pun keluar dari lisan si Bapak.
Kemarahan Bapak membungkam seisi rumah, termasuk istrinya. Anak-anaknya hanya terdiam, tak ada yang berani berbicara, sekadar bertanya sekalipun. Wajar saja, permintaan Wahid itu di luar kemampuan orangtuanya. Komputer yang notabenenya saat itu masih langka, hanya orang-orang tertentu yang mampu membeli, juga diinginkannya. Meja belajar yang dibelinya itu saja belum menjadi kebutuhan yang mendesak. Enam ratus ribu, sama saja satu bulan uang bulanan yang dikirim setiap bulan dengan bersusah payah, hanya untuk membeli meja belajar.
“Komputerrrr? Apalagi itu? Mau kau bunuh bapakmu, Nak?”
Arman, anak laki-laki satu-satunya yang ada dalam rumah saat itu terdiam dan merenung. Membayangkan masa depannya, mampukah ia melanjutkan sekolah hingga sarjana seperti kakaknya dengan kondisi keluarga seperti ini. Ia menelan ludah, “Seandainya aku diberikan kesempatan untuk melanjutkan sekolah seperti Abang, aku akan berusaha tidak merepotkan Mak dan Bak.”
***
Pagi-pagi, subuh 1 Syawal 1416 H, Arman terbangun dan langsung mandi. Selesai salat Subuh, dengan tubuh kecilnya ia bersiap berangkat menunaikan salat Id.
“Mak, kok nangis lagi?” Arman mencoba mendekati ibunya yang duduk sambil menangis terisak. Rupanya si Ibu masih bersedih, tangisnya bersambung sejak semalam.
Ibu diam seribu bahasa. Arman mencoba membujuk apa sebenarnya yang terjadi. Ia menyampaikan kepada saudara-saudara perempuannya, jika si Ibu sedang menangis.
Wahid, si anak Sulung berangkat lebih awal ke masjid dari saudara-saudaranya. Ia seolah tak mau tahu apa yang terjadi pada ibunya.
“Mak sebenarnya kepingin juga salat Id ke masjid, tapi Mak gak punya mukena yang layak untuk dipakai ke masjid. Mak minta belikan sama abangmu, tapi tidak juga dibelikan, katanya uangnya dipakai untuk menambah biaya diperjalanan pulang,” Ibu Mina mencoba menceritakan kesedihannya pada Arman dan saudara-saudaranya.
“Sabar, Mak. Ente barangkat aja salat Id pakai mukena yang ada,” Arman mencoba mengajak ibunya.
“Mukena Mak cuma yang Mak pakai sehari-hari, tidak layak lagi dipakai ke masjid.”
“Sudah, kalian berangkat saja. Nanti terlambat, sebentar lagi pukul 07.00. Biasanya salat Id dilaksanakan sekitar pukul 07.15.” Ibu Mina bangkit dari tempat duduknya dengan wajah yang tersenyum.
Arman dan saudara-saudaranya berangkat menuju ke masjid untuk menunaikan salat Id. Tinggal ibunya dan tiga orang adik perempuannya yang tak ikut, karena juga belum punya mukena.(*)
Abdul Rahman Nasir, alumni Perbankan Syariah Palembang. Tinggal di Toboali. Aktif menulis cerpen, essay, dan artikel di berbagai media. Akun Fb: Abdul Rahman Nami, Twiter: @abdulrahman_hbg, Hp/WA: 0812 7117 4943
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita