Muang Sangkal; Dekatkan Jodohku

Muang Sangkal; Dekatkan Jodohku

Bukankah sudah kuceritakan padamu tentang kulit dan isi Sumekar? Dan bahkan kau lebih paham dariku. Kenapa kau masih saja tak memikirkan perasaan orang tuamu? Mewujudkan impian mereka, Rasidah!

Hari ini kau datang menemuiku, mencurahkan segala rasa yang menimpalimu, meminta pendapatku, namun mengabaikan saranku. Kenapa kau harus malu menggelar acara tari muang sangkal? Bukankah semua itu untuk kebaikanmu? Membuang sial, Dah!

Kau masih saja membisu. Lihatlah kedua anakku yang girang bermain bhanteng—permainan anak Madura yang dimainkan oleh dua kelompok.Masing-masing kelompok memiliki satu pohon berbatang besar sebagai banteng dan mereka harus mempertahankan dari penyelundup yang kapan saja bisa merebutnya. Pun penyelundup harus berhati-hati agar tak tertangkap.

Rasidah, dengarkan aku! Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, apalagi kau adalah anak satu-satunya.Kau tumpuan harapan mereka dan apakah kau masih ingat prinsip daerah kita—lebbhi bagus pote tolang etembhang pote mata.

Maafkan aku, Dah, bukan maksudku menyinggung, menghakimi, atau apalah itu. Meski kau tak sependapat, oh, maksudku tak percaya dengan tradisi kita—muang sangkal, setidaknya kau percaya bahwa kasih orang tuamu tak berujung, kebahagiaanmu adalah prioritasnya. Percayalah! Kembalilah ke rumah, turuti permintaan mereka.

***

Gamelan khas keraton menggema di seantero Desa Angon.Alunan gending sampak mengiringi tiga penari mengenakan kemben hitam dan kain penutup dada yang dikalungkan di leher. Paduan warna merah dan kuning menjadi pemanis dalam melentikkan setiap gerakan. Puluhan orang menikmati gerakan demi gerakan, kecuali Rasidah. Ia sibuk memainkan gawainya dan hanya sesekali melirik para penari, bahkan hal itu dilakukannya hingga acara selesai.

“Rasidah, Bapak lega. Setelah melakukan tradisi ini, kau akan segera mendapatkan jodoh. Dan memberikan cucu pada kami,” ucap Pak Mawi penuh harap.

“Masalah jodoh sudah kupasrahkan pada Sang Kuasa, Pak….”

“Kau benar, tapi tak cukup hanya berserah, kita harus berusaha, Dah!

Rasidah meninggalkan Pak Nawi menuju ranjangnya. Ia tak yakin bisa mewujudkan harapan bapak dan emaknya. Usia yang tak lagi muda membuatnya pesimis akan jodoh, sebab bukan sekali dua kali ia dikecewakan.

Enam tahun yang lalu, Haisun, pemuda yang baru saja merampungkan pendidikannya di  Universitas Wiraraja bertandang ke kediaman Pak Nawi dengan maksud melamar Rasidah. Namun maksudnya diurungkan tanpa sebab yang jelas. Padahal keduanya, Rasidah dan Haisun saling memadu kasih, saling terpaut jalinan merah jambu sejak berseragam abu-abu. Tapi, ah, entahlah. Bahkan sampai sekarang tak ada yang mengetahui penyebabnya.

Setelah Haisun menghilang, Rasidah sangat terpukul. Hari-hari dihabiskan dengan berdiam di kamar, menunggu kedatangan Haisun, dan mendengarkan alasan yang belum sempat dijelaskan. Hari terus bergulir berganti tahun, dan Haisun belum pula menemui Rasidah, menghapus luka karenanya.

Sebagai bunga desa, tak sulit bagi Rasidah mendapatkan pasangan hidup, bukan? Parasnya yang ayu membuat para lelaki beradu cepat mendapatkan simpati darinya. Sohari anak Kepala Desa Angon, Harip si nelayan, Dan Fathan, pemuda cocok tanam sekaligus peternak sapi ini sering bertandang ke rumah Rasidah. Rujak cingur, apen, man reman, macho, pattola, dan sate tak jarang menjadi buah tangan dari mereka.

Hari itu, tepatnya dua tahun setelah kepergian Haisun, Sohari mengutarakan niat untuk merengkuh tangan Rasidah dan membawanya pada hubungan baru, rumah tangga. Awalnya Rasidah ragu karena hatinya masih terpaut pada Haisun, tetapi perlahan keraguannya terkikis oleh kebahagiaan orang tuanya yang bersemangat menyambut calon menantu.

Segala keperluan pernikahan Rasidah dipersiapkan dengan mewah, dari menu jamuan, undangan, tenda, rangkaian acara, hiburan, pun seragam keluarga. Senyum semringah bapak dan emak Rasidah terus mengembang setiap hari. Bahkan, mereka sangat memanjakan Idah—panggilan akrab Rasidah.

“Seminggu lagi, Dah. Seminggu lagi rumah ini akan dipadati tamu, seminggu lagi akan tiba hari bersejarah bagimu. Terima dan sambut suamimu dengan kehangatan, taati setiap ucapannya asal tidak bertentangan dengan agama. Tutupi kekurangan serta hibur ia dengan keceriaan, dengan rasa syukur. Dan yang terpenting, jangan tinggalkan jalan ketakwaan, Nak…,” petuah Emak.

Rasidah tertegun. Bagaimana mungkin ia bisa mengecewakan dan menenggelamkan senyum emak. Bagaimana ia bisa mengkhianati perasaannya? Meski sudah bertekad menghapus semua kenangan bersama Haisun, hati dan pikirannya masih terbelenggu.

***

Manusia tak mampu menghindar dari kenyataan. Rencana yang sudah dirancang sebaik mungkin dapat berubah dalam sekejap. Dua hari lagi seharusnya Rasidah menyandang gelar istri; melakukan prosesi sakral, bersanding di pelaminan, serta menikmati berbagai hiburan. Namun semua kandas. Ia tak mampu berkata, entah sedih karena kehilangan calon nakhoda, atau harus bergembira karena ia tak jadi menikah dengan orang yang sama sekali tak disukainya.

Hari ini merupakan hari yang paling buruk di sepanjang usia Pak Nawi. Bukan hanya dirundung pilu, melainkan lebih dari itu—malu. Undangan sudah disebar dua minggu yang lalu, dan sanak keluarga sudah berkumpul sejak tiga hari ini. Rasa letih yang menderanya beberapa pekan sama sekali tak diindahkannya, namun setelah kejadian ini, ia seakan menantang kematian. Ia tak ingin minum dan makan meski hanya sesuap. Alhasil, tubuhnya tumbang dan terpaksa harus dirawat di RS. Dr. H. Moh. Anwar Sumenep.

Siapa yang tak berduka atas kepergian Sohari, kecelakaan tunggal yang dialaminya ketika ingin membeli emas sebagai mahar menjadi penghantar nyawa ke pangkuan Sang Kuasa. Pesta yang akan digelar berubah jerit tangis, bulir air mata tumpah ruah. Menyulut kepedihan dua keluarga yang seharusnya berbahagia.

***

Kejadian pelik itu memang sudah sebulan berlalu, tapi bayang-bayang malu masih bergelayut dalam diri Pak Nawi. Ia lebih sering menghabiskan waktu di rumah ketimbang berkumpul dengan tetangga, bahkan ia tak lagi aktif di kegiatan rutin keagamaan. Senyum sabit, tegur sapa, pun gurau candanya jarang tersurat lagi.

“Pak, tadi ada Pak Imran, ketua masjid Raudlatul Muhibbin, beliau memberikan undangan ini.” Rasidah meletakkan selembar kertas di atas meja, namun Bapaknya tak berekspresi.

“Kenapa Bapak masih seperti ini? Sampai kapan, Pak? Lihatlah diriku, bukankah aku yang gagal menikah? Aku, seorang wanita yang dua kali gagal menikah, Pak. Aku, seorang wanita yang kerap ditimpali kepedihan, tapi tetap teguh. Karena aku yakin, Pak, semua orang memiliki pasangan. Hanya saja tak tahu kapan dan dimana jodoh kita, jodoh adalah rahasia Tuhan, Pak.”

“Rahasia Tuhan katamu! Jodoh harus diusahakan, bukan semata-mata kehendak Tuhan, Dah!”

“Lalu aku harus bagaimana, Pak? Takdir sudah mengambil Sohari lebih dulu. Apakah ini salahku? Apakah aku harus menyusulnya?” Air mata Rasidah tumpah.

“Rasidah!!!”

Rasidah berlari menuju ranjang, menangis sejadi-jadinya. Ia hanya berharap sikap bapaknya kembali seperti semula. Demi menutupi kemalangan, Ia habiskan waktu bersama anak didiknya; pagi mengajar di sekolah, siang mengajar les, dan malam mengajar mengaji.

Malam itu, ketika hendak pulang mengajar mengaji, Rasidah bertemu dengan seorang pemuda berparas tampan yang sengaja singgah di masjid untuk melakukan sembahyang. Pemuda itu melemparkan senyum, dan Rasidah membalasnya sambil menunduk. Rona wajah Rasidah berseri. Di tengah perjalanan, ia terbayang senyum manis milik pemuda yang ia sebut Jokotole. Andai saja.

***

Rasidah beserta rekan kerjanya sibuk mempersiapkan acara Maulid Nabi di sekolah dasar tempatnya bekerja. Namun, pengisi acara sudah tiba lebih dulu dari tamu undangan dan wali murid. Ia sengaja datang lebih awal untuk sekadar bercakap-cakap dengan kepala sekolah.

Acara segera dimulai, Rasidah berdiri di atas panggung dan menatap satu per satu tamu undangan yang hadir. Akan tetapi kedua bola matanya berhenti ketika melihat pemuda yang semalam mampu menggetarkan hatinya, si Jokotole, duduk bersebelahan dengan kepala sekolah. Tangan Rasidah gemetar memegang mikrofon dan mulai memandu acara. Berkali-kali ia lafalkan asma Allah, agar diberikan kepercayaan diri dan tetap fokus.

Sesekali Rasidah melirik ke arah Jokotole, hingga rangkaian acara mempertemukannya dalam satu panggung. Acara selanjutnya adalah acara inti—tausiah—yang akan disampaikan langsung oleh Ustad Abdul Ahsan….

Sekujur tubuh Rasidah seakan mendidih, keringat dingin bercucuran. Sesekali ia menyeka keringat dengan kain putih polos. Jokotole mengawali dengan mengucapakan salam kemudian disusul pantun. Para tamu bersorak sambil bertepuk tangan. Sebenarnya bukan karena pantun yang diucapkannya, tapi lebih karena ketampanannya. Jubah putih polos, kopiah putih, serta sorban hijau lumut yang dikenakannya membuat para ibu ingin menjadikannya menantu. Duh, paket komplit; tampan, gagah, dan kaya ilmu.

Usai acara, para guru dan peserta didik membersihkan tempat acara. Diam-diam, Rasidah mencuri pandang Jokotole.

“Ibu yang berada di masjid semalam, bukan?” tanya Jokotole ketika berhadapan dengan Rasidah.

“Iya….” Rasidah sebenarnya ingin bertanya balik pada Jokotole, namun ia tak punya keberanian dan takut salah tingkah.

***

Hari yang mengesankan dan misterius telah berlalu, namun ingatan Rasidah tentang Jokotole masih membekas dan menebal. Ketika usianya yang tak lagi muda dan hatinya yang merah jambu lagi-lagi harus karam. Ia tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.

Waktu terus berganti, Rasidah masih sendiri. Sedangkan bapaknya terus menuntut untuk segera menikah.

Muang sangkal sudah dilaksanakan, tapi jodoh belum juga datang! Bapak sudah tua, Dah! Sampai kapan Bapak harus menunggu!?”

“Jodoh datang bukan karena muang sangkal, Pak. Tapi karena takdir.”

“Hah, ini balasan karena kau telah menolak Munir!”

“Maksud Bapak? Dulu Rasidah masih di bangku sekolah, masih SMA, Pak. Rasidah belum siap untuk menikah. Rasidah ingin mencari pengalaman, ingin mematangkan diri.”

“Ya, hingga sekarang kau sudah sangat matang pun, belum ada yang meminangmu!”

“Pak, jangan bicara seperti itu. Doakan saja yang terbaik untuk Rasidah.”

***

Jarum pendek menunjukkan pukul delapan malam, Rasidah kembali ke rumah dengan ditemani  dua anak didiknya—BTA (Baca Tulis Al-quran), yang rumahnya bersebelahan dengan rumahnya. Sesampainya di rumah, ia terkejut melihat avanza hitam terparkir di halaman rumahnya. Mobil Pak Basri, ada apa beliau bertandang ke sini? Mungkinkah aku membuat kesalahan? Pikir Rasidah.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumssalam.”

“Nah, ini Rasidah sudah pulang.”

Bapak Rasidah dan Pak Basri berbicara dengan akrab. Senyum yang telah lama padam, kini tersimpul. Mereka berbicara ringan dan kemudian membahas tentang keponakan Pak Basri; asal usul keluarga, pendidikan, dan kepribadiannya. Rasidah terdiam, ia seakan mengetahui arah pembicaraan mereka. Dan praduga Rasidah ternyata benar. Di akhir pembicaraan, Pak Basri menyampaikan maksud kedatangannya.

“Bu Rasidah, keponakaan saya memang jauh dari kesempurnaan. Jika berkenan, izinkan keponakanku mendengar langsung penerimaan atau penolakan Ibu. Maksudnya, keponakan saya ingin menjadikanmu istri.”

Rasidah tetap terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa, ia tak mampu menolak keinginan Pak Basri, pimpinan di sekolah tempatnya bekerja. “Kalau berkenan, biarkan ia menemuiku di masjid, Pak. Biar kami, em, maksudku, aku dapat memberikan jawaban tanpa sungkan.”

“Baik, tidak masalah. Nanti akan kusampaikan padanya.”

***

Sore ini, Rasidah datang ke masjid lebih awal karena ada pengajian rutin setiap Jumat. Ia tertegun melihat Jokotole berdiri di atas mimbar. Hatinya semakin bergelut antara pertemuan dengan Jokotole dan keponakan Pak Basri. Jokotole, pria yang diharapkan sekaligus didambakan, sedangkan keponakan Pak Basri, ah, ia hanya pemuda yang mampu menyulut senyum bapak dan emak. Dan aku tak kuasa memadamkan senyum itu.

“Jodoh merupakan perkara yang sudah ditetapkan oleh Sang Kuasa. Apabila dua insan memiliki ikatan emosi, spiritual, dan rasa nyaman, kemudian hati tergerak, maka segera tunaikanlah….” dalih Jokotole di atas  mimbar.

Acara pengajian selesai, para jamaah meninggalkan masjid. Rasidah dan anak didik BTA membantu membersihkan masjid; ada yang memungut sampah, menyapu, mengambil air, dan mengepel.

“Assalamualaikum….”

“Walaikumssalam, Ustaz, ada yang bisa dibantu?” Rasidah semakin tersirap.

“Bukankah Ibu yang meminta saya untuk menemui di masjid?

“Maaf, jangan panggil Ibu, panggil saja Rasidah, Ustaz. Dan bertemu di masjid? Em, apakah mungkin Ustad adalah keponakan Pak Basri?” Rasidah menunduk, tangannya semakin kuat memegang gagang sapu.

“Benar. Tapi Ra—Rasidah seorang guru, jadi wajar kalau saya memanggil Ibu. Hmm, baiklah, jika tak keberatan saya akan memanggil adik saja.”

Rasidah dan Jokotole saling bungkam.

“Seperti yang sudah disampaikan oleh paman saya, apakah Rasidah menerima dan bersedia mendampingi saya dalam suka maupun duka?”

Rasidah bergeming, wajahnya tersipu kemerahan. Entah karena muang sangkal atau takdir yang mempertemukan. Yang pasti, tak ada hari yang lebih indah dari hari ini, Allah telah menjawab doa-doa Rasidah. Doa menuju kesempurnaan hidup, menuju mihrab-Nya. (*)

/Lubuklinggau, 15 November 2017

Septi Wahyuni, lahir 25 tahun yang lalu, kini menetap di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Wanita ini menyukai dunia kepenulisan sejak bergabung dalam Forum Lingkar Pena Lubuklinggau dan Linggau Writing Clas. Karyanya pernah dimuat diberbagai media lokel dan antologi. Pernah menjadi Juara II penulisan cerpen dalam PORSENASMA II di Universitas PGRI Semarang.
Email: Septihafidzah@gmail.com
Fb: Septi Wahyuni
IG : Septi Hafidzah

Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu pertama Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

 

Leave a Reply