Monster Permen Karet

Monster Permen Karet

Monster Permen Karet

Oleh: Meezaa

Saat ini adalah jeda jam pelajaran sekolah. Kikan dan Ayunda sedang mengobrol di depan ruang kelas mereka. Ayunda bercerita tentang kelucuan dan kenakalan adik bayinya yang baru berusia satu tahun. Kikan mendengarkannya sambil menguyah permen karet. Gaya bercerita Ayunda juga lucu, sehingga Kikan kerap tertawa dibuatnya.

Suatu kali Kikan tertawa sampai terpingkal-pingkal saking lucunya cerita Ayunda. Kikan lupa dengan permen karet yang sedang dikunyahnya. Ia tersedak dan tidak sengaja menelan permen karet itu. Akibatnya, Kikan seketika jadi terbatuk-batuk.

“Kikan, kamu tidak apa-apa?” tanya Ayunda dengan nada khawatir.

“Permen karetku tertelan!” seru Kikan setelah batuknya mereda.

“Wah, bahaya!” sahut Ayunda. Raut wajahnya panik.

Kikan tampak kebingungan. “Kenapa?” tanyanya.

“Apakah kamu tidak tahu permen karet yang tertelan dan masuk ke perut tidak akan bisa keluar?”

Kikan perlahan menggelengkan kepala. Ia tidak pernah mendengar tentang hal itu sebelumnya.

“Permen karet itu akan berada di dalam perut selamanya, membuat usus lengket, dan saling menempel,” kata Ayunda. Kengerian tergambar di wajahnya.

Kedua mata Kikan terbelalak. Ia membayangkan usus-usus di dalam perutnya saling menempel. Apakah nanti gara-gara itu ia akan selalu merasa sakit perut? Kepanikan mulai melandanya.

“Jadi sekarang, apa yang harus kulakukan?”

“Mungkin kamu harus dioperasi untuk mengeluarkan permen karet itu, Kikan. Kalau tidak, mungkin kamu akan selalu mengalami sakit perut,” jawab Ayunda.

Kikan semakin ketakutan mendengar kata operasi. Siang itu pikiran Kikan dipenuhi kekhawatiran. Ia pulang ke rumah dengan wajah murung. Namun, ia tidak berani bercerita kepada siapa-siapa.

*

Kikan berlari ketakutan. Di belakangnya seekor monster permen karet raksasa yang menyeramkan sedang mengejarnya. Tiba-tiba Kikan terantuk batu dan terjatuh. Kikan berusaha bangkit lagi, tetapi tidak bisa. Kakinya tidak bisa digerakkan. Ia hanya bisa melihat dengan ngeri monster itu perlahan-lahan semakin mendekat ke arahnya.

Si monster akhirnya berada dekat sekali dengan Kikan. Kedua lengannya yang lengket dan menjijikkan terjulur ke arah kaki Kikan. Kikan tidak bisa menghindar. Perlahan-lahan kedua kakinya diliputi lapisan permen karet yang sangat lengket. Lapisan itu semakin lama semakin tebal dan bergerak untuk melapisi seluruh tubuhnya.

Semakin lama semakin sulit untuk bergerak. Kikan pun meronta-ronta sekuat tenaga. Namun, ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari lapisan permen karet si monster.

Akhirnya, hampir seluruh tubuh Kikan terbungkus lapisan permen karet. Hanya kepalanya yang belum. Ia harus segera berteriak minta tolong. Jika tidak, seluruh tubuhnya akan benar-benar terbungkus lapisan permen karet.

Kikan menarik napas panjang sebelum berteriak kencang, “Tolooong!”

*

Malam-malam terdengar teriakan keras dari kamar Kikan.

“Tolooong!”

Bapak dan Ibu terbangun karena terperanjat kaget mendengar teriakan Kikan. Kikan bukanlah seorang anak yang kerap mengigau saat tidur. Karena itu, mereka pun bertanya-tanya apa yang terjadi dengannya. Dengan terburu-buru Bapak dan Ibu menuju ke kamar Kikan.

Kikan terlihat tidak tenang dalam tidurnya. Ia bergerak ke sana-kemari dengan gelisah.

“Tolong! Tolong!” jerit Kikan lagi.

Ibu mendekati tempat tidur Kikan. Diguncang-guncangkannya tubuh Kikan agar terbangun.

“Kikan,” ujar Ibu. “Bangun, Kikan!”

Kikan terbangun dari tidurnya. Napasnya masih tersengal-sengal.

“Ada apa, Kikan?” tanya Ibu lembut. “Kikan mengalami mimpi buruk?”

Kikan mengangguk mengiyakan pertanyaan Ibu. Tidak lama kemudian napas Kikan pun mulai teratur.

“Kikan bermimpi buruk, Bu,” jawab Kikan dengan suara pelan. “Ada monster permen karet raksasa yang menangkap Kikan. Kikan takut sekali. Kikan berteriak untuk meminta tolong,” lanjutnya.

Ibu mengusap rambut Kikan yang basah kena keringat.

“Apakah Kikan baik-baik saja?” tanya Bapak. Beliau khawatir Kikan sedang memiliki masalah. “Apa ada masalah yang tidak Kikan ceritakan pada Bapak atau Ibu?”

Kikan enggan menjawab. Ia masih takut untuk menceritakan tentang permen karet yang tertelan olehnya. Ditatapnya Bapak dan Ibu bergantian. Ia masih merasa ragu. Namun, Bapak dan Ibu masih menunggu dengan sabar. Kikan pun meyakinkan diri tidak apa-apa berkata sejujurnya kepada kedua orang tuanya.

Pelan-pelan ia mulai bercerita, “Tadi di sekolah Kikan tidak sengaja menelan permen karet.”

Bapak dan Ibu saling berpandangan karena merasa kebingungan.

Kikan melanjutkan ceritanya, “Ayunda bilang permen karetnya akan terus berada di perut Kikan dan membuat usus-usus Kikan lengket. Ayunda juga bilang Kikan harus dioperasi. Kikan takut.”

Bapak dan Ibu tertawa mendengar penjelasan Kikan yang polos. Sekarang giliran Kikan yang terheran-heran melihat reaksi kedua orang tuanya.

Bapak memberikan penjelasan setelah tawanya reda. “Kikan tidak perlu takut. Usus-usus Kikan tidak akan saling menempel seperti yang diceritakan Ayunda. Permen karetnya juga tidak akan tinggal selamanya di dalam perut Kikan.”

Meskipun Bapak sudah menjelaskannya, wajah Kikan masih tampak ragu.

“Tahukah Kikan, sistem pencernaan kita akan membuat permen karet itu keluar dari tubuh kita secara alami. Sama dengan makanan-makanan lain yang masuk ke perut kita,” imbuh Ibu perlahan agar Kikan mengerti. “Jadi, Kikan tidak perlu khawatir lagi.”

“Benarkah begitu, Bu?” tanya Kikan.

Bapak dan Ibu mengangguk bersamaan.

“Kikan tidak perlu dioperasi ‘kan, Yah?”

“Tentu saja tidak perlu,” jawab Ayah untuk meyakinkan Kikan.

“Nah, mulai sekarang Kikan harus selalu berhati-hati. Jangan sampai menelan permen karet lagi ya,” ucap Ibu.

Kikan mengangguk-anggukkan kepala. Raut wajahnya sudah kembali ceria. Bibirnya pun tersenyum lebar. Besok di sekolah ia akan menceritakan hal ini kepada Ayunda.[*]

MeezaA aktif menulis cerpen, puisi, esai, dan artikel. Tulisan-tulisannya sudah pernah diterbitkan dalam buku antologi bersama, selain artikel lepas di media-media daring. Hubungi dia di akun Facebook dan Plukme!.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita