Monster
Oleh : Astina Sufi Firdaus
Mimpi buruk datang ketika mata ini terpejam. Makhluk seram itu kembali lagi, suara teriakan misterius berdengung keras dalam gendang telinga.
Setiap malam selalu terjaga, tidak bisa memejamkan mata. Hidup menjadi tersiksa karena insomnia akut yang tidak kunjung mereda.
Aku sudah tidak tidur berhari-hari. Mencoba terjaga setiap malam adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Mata tetap terpejam tanpa sebuah peringatan. Aku ingin tetap terjaga, mencoba mengonsumsi kopi, dan ini membuat cekungan di sekitar mataku terlihat.
Teriakan misterius terdengar lagi, membuatku terbangun dari tidur dengan napas tersengal, menatap sekeliling ruangan. Sial, ternyata aku tertidur sebentar. Hening, tanpa ada apa-apa. Aku menatap luka di tangan, sebuah luka yang menganga.
Rembesan cairan merah pekat mengalir keluar. Sensasi perih semakin menjalar, lukanya tidak terlalu besar. Seperti cakaran atau gigitan.
Aku meringis kesakitan, membuka kotak obat-obatan. Mengoleskan cairan antiseptik dan membalutnya dengan perban.
Mencoba untuk tidak memejamkan mata sangat sulit dilakukan. Sangat tersiksa. Hingga akhirnya aku sama sekali tidak tertidur.
Aku mencoba berkonsultasi dengan psikiater. Mengatasi insomnia akut yang diderita. Sang psikiater memberi saran agar ada yang menjaga saat terlelap. Mungkin seorang teman bisa menemani di keheningan malam.
Aku sadar, karena kesibukan aku hanya mempunyai seorang teman. Entah apa yang terjadi dengan yang lainnya, aku juga tidak paham.
Semua terjadi begitu saja, seperti biasa aku takut untuk memejamkan mata.
Makhluk misterius datang tiap mata terpejam, dengan teriakan misterius memenuhi gendang telinga. Terbangun dengan luka menganga, selalu seperti itu.
Aku sudah tidak tahan, sehingga mengajak Edi untuk sementara tinggal di rumah. Aku cuma mengenal Edi, walau dia menyebutkan nama-nama yang lain tetapi aku tidak mengingatnya.
“Masih ingatkah kau dengan Alex? Laki-laki itu sudah dua bulan menghilang. Tidak ada kabar.”
Edi terus saja mengunyah keripik kentang yang aku suguhkan di atas meja untuknya. Aku menggeleng lemah.
“Maaf, Edi, aku tidak mengenalnya.”
Edi mendekatkan tubuhnya, mencoba memahami jawaban yang terlontar dari mulutku.
“Benarkah? Alex sahabatmu kala itu, kalian sangat dekat. Bagaimana kau tidak bisa mengenalinya?” tanya Edi, penuh selidik.
“Maaf, Edi … aku sungguh-sungguh tidak mengingatnya. Karena insomnia sialan ini,” umpatku di hadapan Edi.
Edi mengangkat bahu, tersenyum menepuk pundakku.
“Sudah, tidak apa-apa. Lupakan saja.”
Aku berbincang dengan Edi sepanjang malam. Berhari-hari tidak tidur membuat wajah semakin berantakan. Banyak cekungan di sekitar mata, dengan lingkaran hitam di sekitarnya. Tentu aku sangat buruk rupa.
Dengkuran halus Edi memenuhi setiap ruangan. Rasa mengantuk mulai terasa, berusaha melawan tetapi tidak bisa.
Perlahan mata ini terpejam seperti biasa.
Mimpi buruk itu datang lagi. Suara teriakan misterius itu terdengar berdengung di telinga. Aku menajamkan pendengaran, sayup-sayup aku kenal teriakan misterius itu.
“Tom … sadar! Tidak, Tom, jangan. Ini aku, Edi, sahabatmu. Jangan mendekat, pergi, tidak. Arrghhh … arggghhh ….”
Aku terbangun dengan sebuah luka menganga, tidak ada seorang pun di sini. Aku menatap sekeliling ruangan. Sepi dan hening. Aku seperti melupakan sesuatu, tidak mampu untuk mengingatnya. Kepala ini terasa pusing sekali. Aku menuju dapur membuat segelas kopi, agar tidak tertidur.
Mata ini menatap CCTV yang berada di sudut ruang tamu. Aku penasaran apa yang terjadi, melihat apa yang terekam di CCTV selama ini.
Aku menutup mulut melihat kengerian yang ada di hadapanku.
Seorang monster buas memakai piama mirip denganku. Dan seorang laki-laki bergegas menuruni tangga, berteriak-teriak memanggil namaku. Laki-laki itu terjatuh terantuk meja di depannya. Monster menyeramkan itu mencabik-cabik tubuhnya.
Dengan tenaga tersisa lelaki itu menggigit dan mencakar-cakar kuat tangan monster di hadapannya hingga menimbulkan luka menganga. Teriakan misterius terdengar dalam keheningan malam.
Serangan monster semakin brutal. Tenaga lelaki itu tidak sebanding. Lelaki itu memanggil sebuah nama.
“Jangan, Tom … ini aku Edi … sadarlah, Tom, sadar … tidak … argghhh ….”
Gambar yang ditayangkan CCTV menjadi gelap berupa titik-titik hitam putih yang semakin banyak. Aku memicingkan mata, menggaruk kepala, mengingat semuanya.
Siapa itu Edi?
Bahkan aku tidak mengenalnya.
Karawang, 30 Juni 2020
Astina Sufi Firdaus, adalah sebuah nama pena dari seorang ibu rumah tangga yang sangat menyukai matematika dan menulis.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata