Moi Bukan Cinderella (Tamat)

Moi Bukan Cinderella (Tamat)

Moi Bukan Cinderella (Part 6 – Tamat)

Rachmawati Ash

Di ruang lain, Moi sedang berjuang keras menghindari jilatan tikus-tikus jelek. Dia terus menjerit sambil berusaha menggerakkan tubuhnya. Tetapi  percuma, karena saat ini dia telah berubah menjadi tumpukan sampah tanpa tangan, kaki dan kepala. Hanya matanya yang bergerak ke kanan dan ke kiri, mulutnya mangap-mangap memanggil nama kedua kakaknya. Dalam hati dia menyesal telah kabur dari rumah dan mengurung keduanya di rumah.

“Kakakkkk, aku minta maaf. Toloooong. Aku tidak mau tikus ini menciumku. Tolongggg.”

Suara Moi yang terlalu histeris, menembus ke dinding dan terdengar sampai di hutan.  Jibril yang diam-diam mengikuti kekasihnya, mendengar suara minta tolong. Segera Jibril terbang  ke desa dan mencari pertolongan. Baru setengah perjalanan, ingatannya tiba-tiba menjadi cerdas. Dia ingat kalau Jamilah pernah bercerita bahwa kedua orangtuanya sedang bertapa di gunung di belakang desa. Jibril memutar tubuh, meluruskan tangan dan kakinya, mempercepat terbangnya.

“Di mana aku harus menemukan Ayah dan Ibu Gamiela? Aku, kan belum pernah melihat mereka?” bisik Jibril kepada dirinya sendiri.

Jibril terbang mondar-mandir, memutari gunung yang luasnya setengah desa tempat tinggal pacarnya. Dia memijat-mijat pelipisnya, mencoba berpikir dan mencari akal. Dia memutuskan meneliti semua pertapa yang ada di gunung. Siapa tahu dia menemukan sepasang suami istri yang wajahnya mirip Gamiela.

Pertama-tama dia mengintip wajah sepasang pertapa, yang membungkuk di bawah pohon beringin. Jibril menyentuh lembut pundak pertapa itu, seketika dia terkejut karena ternyata yang disentuhnya adalah sepasang pertapa berwajah ular.

Oi, tidak mirip Gamiela. Maaf.” Jibril meminta maaf, lalu berjalan mundur dan kembali terbang.

Kedua pertapa itu menjulurkan lidah kepada Jibril, alisnya mengkerut dan hendak menangkap tubuh Jibril untuk santapan. Tetapi mereka ingat, bahwa pertapa harus puasa dan dapat menahan lapar juga amarah.

Jibril merendahkan tubuhnya, kembali mengintip sepasang pertapa yang memejamkan mata. Tetapi dia dikejutkan oleh seseorang yang menyentuh-nyentuh pundaknya.

Ehem. Siapa yang kamu cari?” ekspresinya menakutkan, matanya melotot hampir keluar.

“Ayahnya Gamiela.” Ucap Jibril tanpa tedeng aling-aling. Senyumnya nyengir karena takut kalau-kalau orang itu akan menyerangnya.

“Siapa Gamiela? Apa dia penyihir? Vampir? Atau manusia biasa?”

Jibril tidak menjawab, dia hendak kembali terbang, tetapi tangan lelaki itu menarik jubahnya dengan kuat. Jibril berusaha melepaskandiri, tetapi tubuhnya terjerembab ke tanah. Wajahnya mendarat di tumpukan sampah kering. Dia berdiri, nyengir tanpa merasa bersalah.

“Kamu sudah mengusik ketenangan para pertapa, sekarang kamu mau pergi sesuka hatimu? Hah!” sebuah pukulan melayang di wajah Jibril. Tetapi meleset saat Jibril berhasil terbang dan meninggalkan lelaki itu.

Karena merasa diledek oleh Jibril, lelaki itu mengejar Jibril dengan sapu terbangnya. Seorang perempuan menyusul di belakangnya. Mereka mempercepat terbang untuk mendapatkan Jibril dan memberinya hukuman. Jibril meliuk-liuk, melewati pepohonan yang rimbun, dengan mudah di menyelip dan bersembunyi. Sedangkan dua orang di belakangnya agak tertinggal karena sapunya sering tersangkut pada dahan-dahan pohon dan ranting.

“Jangan mengejarku lagi, aku sedang buru-buru pak tua, tolong ampuni aku.”

“Apa kamu bilang? Pak tua? Dasar bocah tidak sopan. Akan kukutuk kamu jadi kodok.”

Jibril berhenti, saat kembali mendengar suara minta tolong yang mengenaskan. Suara itu parau dan semakin serak. Jibril membayangkan tubuh orang itu gemetar saat meminta tolong, dari suaranya saja terdengar menakutkan dan panik.

“Pacarku disekap di dalam, nenek melet yang  mengurung mereka. Gamiela dan adiknya Romlah sedang dalam bahaya.” Kalimat Jibril sambil menunjuk sebuah gua.

Laki-laki dan wanita itu saling pandang, “Romlah?” lalu terbang dengan cepat memasuki gua.

Belum sampai mulut gua, mereka bertabrakan dengan Nenek melet. Mereka terjatuh bersama di tanah yang lembab dan berair. Mata mereka beradu, penuh dendam dan membara. Nenek melet mengeluarkan tongkatnya, tetapi ditangkap lebih dulu oleh wanita yang mengejar Jibril.

“Kau apakan anakku?” wanita itu mengayunkan tongkat sihirnya. Membuat Nenek melet mengkerut, sembunyi di balik patung raksasa di samping pintu gua.

Jibril diam-diam mengajak laki-laki yang mengejarnya masuk ke dalam gua, dia menunjukkan di mana tempat Jamilah dan adiknya disekap.

Pertempuran Nenek melet dengan penyihir wanita terus berlanjut di mulut gua. Sedangkan lelaki itu dibantu Jibril menolong Jamilah dan Romlah. Mereka mencari sumber suara yang meminta tolong.

“Tolong…tolong…” suara itu tidak sekuat sebelumnya. Semakin kecil dan melemah.

“Ala ala sorri dori stroberi” seketika pintu besi terbuka. Tikus-tikus lari tunggang langgang.

“Ayah, tolong Moi. Ayah, Moi tidak mau jadi sampah busuk. Tidakkk.” Suaranya berubah menjadi tangisan yang menyedihkan.

“Moi kamu di mana? Sampah? Kamu jadi sampah?” sekali lagi, laki-laki itu mengayunkan tongkatnya.

Seketika tubuh Moi kembali ke bentuk semula, tetap imut dan menggemaskan. Bahkan lebih menggemaskan dengan rambutnya yang acak-acakan dan bajunya yang compang-camping. Dia menangis di pelukan ayahnya. Jibril menggaruk-garuk kepalanya. Membungkukkan badan, meraba-raba sampah yang masih tersisa.

“Di mana Gamiela dan Romlah? Apa mereka dikutuk jadi sampah juga? Atau jadi tikus-tikus itu? Di mana mereka?” tangannya masih sibuk membolak-balikkan sampah.

“Kakakku di sekap di sini juga? Siapa kamu?” Tanya Moi masih dengan tangisan yang menyayat hati.

“Aku pacar Gamiela. Tadi aku melihat mereka masuk ke gua ini. Lalu ada suara minta tolong. Kupikir suara itu berasal dari mereka.” Jibril berbicara sambil mengamati benda-benda di sekitarnya.

“Moi! Moi! Kakak akan menolongmu, tunggu di sana. Kami sedang berusaha keluar dari tempat ini. Tunggu!

Tanpa banyak bicara lagi, mereka berlari menuju sumber suara. Dari balik jeruji besi, tubuh Jamilah dan Romlah gemetaran, karena mengira yang datang adalah Nenek melet.

Saking takutnya, Romlah kencing di celananya.

“Kakak aku takut.” Tubuhnya gemetaran, sembunyi di balik badan Jamilah.

Ih, dasar jorok. Minggir, kakiku kecipratan pipis kamu, tuh.” Jamilah mendorong kepala Romlah ke belakang.

Ayah mengayunkan tongkatnya, “Ala ala sorri dori stroberi” seketika pintu besi terbakar dan meleleh.

Moi menjemput kedua kakaknya di dalam ruang yang gelap dan pengap.

“ Kak Jam, Kak Rom. Ini aku, Moi. Maafkan aku sudah jahat pada kalian.”

Ayah menyalakan obor yang terpasang di atas pintu penjara. Dalam cahaya yang remang-remang mereka saling memandang, lalu berpelukan karena telah selamat dari Nenek melet.

“Kalian sudah aman, Ibu sudah mengutuk Nenek melet menjadi pohon asam di luar gua. Menyesal dulu Ibu mengutuknya menjadi Nenek melet. Harusnya dari dulu kami mengutuknya menjadi batu atau kayu. Dasar penjahat, selalu mengganggu ketenangan penduduk desa.”

Jamilah, Romlah dan Moi berangkulan. Disusul Ayah dan Ibu yang ikut masuk dalam pelukan mereka.

Jibril melambaikan tangan kepada Jamilah, merasa dirinya adalah pahlawan yang telah menyelamatkan Jamilah dan adik-adiknya.

Mereka berjalan ke luar gua, api yang berasal dari tongkat Ayah mulai membesar. Membakar hampir seluruh isi yang ada di dalam gua. Jamilah berjalan melewati tubuh Jibril yang berdiri dan tersenyum cengar-cengir di tempatnya semula.

“Dasar tidak berguna. Mau menolong saja harus muter-muter cari bantuan. Dasar lemah! Kita putus!”

The end.

 

Leave a Reply