Moi Bukan Cinderella (Bagian 3)
Oleh : Rachmawati Ash
Seharian terkurung di dalam rumah, rasanya sudah seperti dua belas jam. Eh, memang iya, benar. Aduh, sepertinya Jamilah mulai ikut-ikutan aneh seperti Romlah dan Moi. Kepalanya senut-senut karena lapar dan terus menerus marah. Tetapi, si Moi tidak sedang bermain-main. Kali ini, dia bercanda di waktu yang tidak tepat. Awas saja kalau nanti dia pulang, akan kupastikan dia berubah menjadi laba-laba untuk selamanya. Akan kusihir dia karena telah membuat hari kencanku berantakan. Atau kusihir saja dia menjadi tokek? Biar sekalian disate dan digado sama Romlah. Dia tersenyum karena mendapat ide yang bagus.
Sebentar lagi malam tiba. Jibril berjanji akan menjemput Jamilah untuk berjalan-jalan keliling hutan dekat pegunungan. Jibril akan membawanya naik ke atas bukit dan memandang bintang-bintang di sana. Dia bilang pemandangan di sana sangat indah dan romantis. Dia juga berjanji akan menunjukkan bintang virgo kepada Jamilah. Tapi, ah, sepertinya semuanya tidak akan terjadi.
Masih ada waktu sebelum malam benar-benar datang, Jamilah harus berusaha membuka gembok tujuh lapis yang dipasang Moi tadi pagi.
“Aku harus berhasil membukanya, agar aku bisa menyambut kedatangan Jibril dan menunjukkan kecantikkanku yang sempurna.” Jamilah bergegas, langkahnya sempoyongan karena belum makan apa pun sejak bangun tidur.
Rasa muak tiba-tiba kembali muncul di hati Jamilah saat melihat Romlah dengan asik sedang menonton TV, kakinya nangkring di atas sofa dan tangannya sibuk mencabik-cabik tokek bakar sebelum masuk ke mulutnya. Sebentar-sebentar Romlah tertawa, beberapa serpihan daging tokek berjatuhan di dada dan pangkuannya.
“Romlah! Cepat bantuin kakak buka pintu, jangan makan mulu, dong. Dasar rakus!”
Jamilah melemparkan sapu tepat ke wajah Romlah. Membuat adiknya tergagap seketika dan melempar tokek gorengnya. Sayang, tokek goreng tidak jatuh ke lantai, tapi justru terlempar dan mendarat di atas kepala Jamilah yang sedang berdiri di depannya.
“Ya, ampun. Apa-apaan, sih, Kak Jam. Mengganggu kesenangan orang saja. Sini, duduk dan makan tokek goreng denganku.”
Cengirannya terlihat lebih menjijikkan, memperlihatkan makanan yang sedang dikunyah. Ih, dasar jorok. Rasanya ingin sekali Jamilah mengutuknya menjadi katak atau babi. Wah, dia pasti lucu sekali jika kukutuk menjadi babi berwarna pink dengan ekor kecil dan pendek, gerutu Jamilah sambil bergidik meraba tokek goreng di atas kepalanya.
“Aku akan mengampunimu, tidak akan kukutuk menjadi katak atau babi, tapi kamu harus bisa membantuku membuka pintu rumah. Sekarang!” Suara Jamilah penuh tekanan.
“Mau mengutukku pakai apa, Kak Jam? Tongkat sihir kita, kan, dibawa semua oleh Moi.” Romlah berjalan geyal-geyol menuju ke sofa di depan TV. Mengibaskan roknya dan menjatuhkan pantat dengan centil.
“Romlahhhhhhh! Cepat bantu ka….”
“Gamiela ….” suara laki-laki terdengar lembut memanggil seseorang, memutus kalimat Jamilah yang meledak-ledak kepada Romlah.
“Jibril? Ah, dia datang!” Jamilah melompat saking bahagianya.
“Jibril? Apakah kita akan mati, Kak? Kenapa ada malaikat pencabut nyawa di rumah kita?” Romlah ikut melompat dan sembunyi di belakang punggung Jamilah.
“Apaan, sih. Pergi sana! Itu Kak Jibril, pacarku” tangan Jamilah mendorong kepala adiknya yang menyembul dari belakangnya.
Hanya Jibril yang memanggil Jamilah dengan panggilan sayang, Gamiela. Meski Jamilah belum melihat wajah Jibril melalui pintu, tetapi dia tahu bahwa yang datang adalah pacarnya. Suara serak-serak becek dan cara memanggilnya yang khas, membuat Jamilah mendadak lupa dengan rasa laparnya. Tubuhnya yang lemas karena belum makan sejak pagi, mendadak menjadi segar dan tegap kembali.
Jamilah berjalan cepat menuju ke depan cermin di ruang tengah, mematut diri, dan merapikan gaunnya yang telah disiapkan oleh Moi sebelum pergi. Setelah memastikan rapi dan memakai minyak wangi yang tersisa di botol, Jamilah bergegas ke pintu depan.
“Jibril, kamu memang pahlawanku. Kamu datang di waktu yang tepat. Tolong bukakan pintu rumahku, ya, Sayang. Please ….” Suara Jamilah, yang menyerupai petir saat sedang murka kepada Romlah, mendadak lembut dan manja.
“Kenapa pintu rumahmu digembok, Sayang? Ada apa?” Jibril menghitung jumlah gembok yang ada di pintu rumah Jamilah. Keningnya mengkerut karena merasa heran. Bagaimana bisa seseorang dikurung di dalam rumahnya sendiri? Pikir Jibril penasaran.
“Moi yang melakukannya, dia sedang bercanda, bahkan tongkat sihirku pun di bawanya. Ayolah, Sayang lakukan sesuatu untuk membukanya.” Jamilah mengintip melalui jendela kecil di samping pintu. Wajahnya yang cantik dan bercahaya membuat Jibril tidak kuasa menolak keinginan Jamilah.
“Baik, akan kucari cara untuk membukanya. Tapi dengan apa aku membukanya? Batu tidak akan sanggup memecah gembok yang berlapis-lapis. Aku hanya seorang vampir, tidak memiliki tongkat sihir, Sayang.” Jibril maju mundur di depan pintu. Tangannya memijat-mijat kening, mencari cara untuk membuka gembok dan segera menemui pacarnya yang cantik jelita.
“Aha, aku gigit saja gemboknya. Gigiku, kan, kuat. Karena aku rajin menggosoknya dengan pecahan batu bata sebelum tidur.” Jibril mulai menggigit gembok yang menempel di pintu.
“Apa yang kamu lakukan, Sayang? Gigimu bisa rusak dan ketampampananmu akan berkurang, jangan lakukan itu, berhenti, Sayang!” Jamilah berusaha mengeluarkan kepalanya dari lubang jendela seukuran telapak tangannya.
“Akan kucari batu yang lebih besar.” Kepala Jibril menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari batu untuk menghancurkan gembok. Hatinya sudah sangat ingin menyentuh pipi Jamilah yang mulus dan kemerah-merahan. Jibril sangat merindukan pipi chubby milik Jamilah.
Jibril berhenti mencari-cari, saat matanya menemukan sepasang tongkat sihir tergeletak di bawah pohon jambu. Dia bergegas menghampiri dan mengambil sepasang tongkat berwarna pink dan biru muda itu.
“Gamiela, Sayang. Aku menemukan tongkat sihirmu. Lihat ini, aku sudah mengambilnya.”
Suara Jibril membuat Jamilah semakin memaksakan wajahnya keluar dari lubang jendela, ingin memastikan apa yang dikatakan pacarnya bukan sebuah candaan. Romlah tidak ingin kalah dengan kakaknya, dia berusaha mencuri penglihatan melalui jendela. Kedua kakak beradik itu berebut ingin melihat Jibril dengan tongkat sihir yang ditemukannya.
“Kamu apa-apaan, sih. Selalu saja membuat rusuh. Pergi!” tangan Jamilah mendorong-dorong kepala Romlah yang menggeser-nggeser kepalanya. Mereka berebut melihat Jibril dengan tongkat sihir yang ditemukannya.
“Dia menemukannya, kak. Pacarmu menemukan tongkat sihir kita.” Romlah kegirangan, saat kedua matanya mendapati Jibril mengayun-ayun tongkatnya di luar rumah.
Jamilah sempoyongan, seharian tidak makan apa pun membuat tubuhnya lemas. Dia tidak dapat berbohong lagi, pandangan matanya berkunang-kunang. Jamilah memilih duduk di kursi bawah jendela. Membiarkan adiknya kegirangan dan mengulurkan tangannya ke luar jendela, menerima tongkat sihir yang diberikan oleh Jibril.
“Terima kasih, Kak Jib. Minggir, akan kubuka gembok-gembok itu.” Romlah mengayun tongkatnya.
Sekali ayun, gembok berjatuhan ke lantai teras. Romlah menari kegirangan. Dia lupa kakaknya sedang kelaparan dan terduduk lemas di sampingnya. Dia tidak peduli, segera ke belakang dan mengambil sapu terbangnya. Romlah meninggalkan kakaknya berduaan dengan Jibril.
“Akan kuselesaikan Moi. Kak Jam nikmati saja waktu berduaan dengan kak Jib. Dadah.” Dalam sedetik, tubuh Romlah menghilang.
Jamilah tersenyum, mengucapkan terima kasih kepada Jibril. Wajahnya yang mulus dan bersinar membuat Jibril tersipu-sipu.
“Kita jadi pergi ke bukit, kan, Sayang?” Jibril menyentuh lembut pipi Jamilah.
“Iya, tentu saja, aku sudah menunggumu seharian ini.” Jamilah berdiri, langkahnya terseok mengambil sapu terbang di ruang tamu.
“Gamiela … kamu sakit?” Jibril menyentuh kening Jamilah, memastikan pacarnya tidak demam.
“Aku tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita pergi.” Jamilah menarik tangan Jibril.
Menaiki sapu terbang, Jamilah dan Jibril menikmati langit malam yang cerah. Melewati beberapa desa, memasuki hutan, sebentar lagi mereka tiba di bukit setelah menyeberangi persawahan yang luas. Keduanya dimabuk kepayang. Jibril memeluk tubuh Jamilah yang ramping dan semampai. Tangannya mengarahkan tangan Jamilah dan menunjukkan bintang-bintang yang bertaburan di langit. Jibril terkejut, tangan pacarnya sedingin es krim. Dia berusaha memperhatikan wajah Jamilah yang pucat.
“Kriukkk. kriukkk. kriukkk ….” Suara aneh keluar dari perut Jamilah.
“Gamiela, kamu lapar?”
“Iya, aku belum makan sejak pagi.” Wajahnya malu-malu saat Jibril mendengar suara perutnya yang tidak sabar lagi meminta diberi makanan.
“Kalau begitu ayo kita kembali ke desa dan mencari makanan. Kesehatanmu lebih penting dari pada melihat bintang virgo dari atas bukit.
Jibril mengarahkan Jamilah untuk memutar sapu terbangnya kembali ke desa dan mencari makanan. Tiba-tiba, mereka kehilangan kendali, Jamilah terburu pingsan dan tidak bisa mengendalikan sapu terbangnya. Jibril panik.
Gubrak!
Mereka terjatuh dengan keras dan mendarat di bawah pohon-pohon pisang yang rimbun di tepi sawah.(*)
Bersambung ….
Part sebelumnya: Moi Bukan Cinderella (Bagian 2)
Rachmawati Ash. Tidak bisa menulis tanpa ditemani musik.
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penylis tetap di Loker Kata