Moi Bukan Cinderella (Bagian 4)
Oleh : R Herlina Sari
Jamilah meringis kesakitan, dia merasa tulang rusuk dan pinggulnya patah. Rasa sakit yang tak tertahankan. Padahal, dia hanya terjatuh dari ketinggian lima meter. Namun, rasa sakitnya seakan-akan terjatuh dari lapisan langit ketujuh.
“Aduh,” ringis Jamilah. Berharap Jibril mau mendengarkan dan membantunya berdiri, jika mau menggendong itu lebih bagus.
“Gamiela … kamu gak apa-apa, kan?” tanya Jibril. Nadanya yang memang lemah gemulai seketika membuat Jamilah pingsan.
Jibril yang ketakutan pun kabur meninggalkan Jamilah seorang diri di bawah pohon pisang.
Beruntung nasib berpihak pada Jamilah, ada seorang nenek-nenek yang melihatnya terjatuh. Dia membawa gadis itu pulang ke rumahnya.
***
Lain Jamilah, lain pula dengan Romlah. Selepas pintu terbuka, gadis itu pergi mencari Moi ke arah utara. Tak lupa, sekantong tokek goreng setia menemani perjalanannya. Entah bagaimana rasa tokek itu dan mengapa Romlah begitu mengidolakan. Tak ada yang tahu pasti alasannya.
Sejak kelahiran Moi, salah satu keanehan Romlah muncul. Setiap hari dia harus memakan tiga puluh tiga ekor tokek. Pernah dia mencoba memakan kurang dari itu. Namun, tubuhnya timbul bentol-bentol tak bernanah. Lebih pun sama. Harus pas. Tragis.
“Ke mana larinya tu bocah? Awas aja kalau ketemu, bakal aku bejek-bejek nanti. Aku hukum nangkep tiga ratus tiga puluh tokek dalam semalam. Kan, lumayan bisa buat stok sepuluh hari,” geram Romlah dalam hati.
Sebenarnya, dia tak ingin kehilangan Moi. Biar bagaimanapun juga, Moi adalah adik kandungnya. Dia tak mungkin mencelakakannya. Namun, dia akan memanfaatkan tenaganya untuk kebutuhan pribadi. Licik.
Romlah terus terbang ke arah utara dengan berharap feeling-nya tak keliru. Jika benar bocah itu pergi mencari ayah dan ibunya. Karena yang Romlah tahu, kedua orang tuanya sedang menjalankan misi penting dari kerajaan penyihir. Sebuah misi rahasia.
“Sial! Ke mana saja bocah itu pergi. Mengapa sudah sejauh ini tak nampak batang hidungnya? Moi … Moi … kapan kamu gak merepotkan?” Romlah berkali-kali mengutuk. Namun, di matanya tersirat sebuah kekhawatiran.
“Kalau kamu gak pulang, siapa yang masakin dan nyuci baju aku? Siapa yang bersih-bersih rumah?” Lagi, gadis itu hanya bisa mengoceh tak jelas.
Tak sengaja, Romlah sudah hampir melewati batas kerajaan penyihir. Beruntung, sebelum melalui garis batas, Romlah tersadar dan segera membelokkan sapu terbangnya ke arah Timur. Andai saja dia lupa, kejadian fatal akan dilewatinya.
Ya, setiap penyihir yang melewati garis batas akan dianggap sebagai pemberontak dan dipenjarakan di bawah tanah. Entah siksaan apa yang akan dia lewati andai itu terjadi. Pelanggaran pelewatan batas akan dipenjara di lantai paling bawah, hampir mendekati magma bumi.
Untung selamat. Tuhan masih menginginkanku hidup dan menyiksa Moi lagi, batin Romlah.
Lagi-lagi karena terlalu semangat, Romlah tidak sadar jika sudah berkeliling kesekian banyak tempat.
“Romlah … Romlah … di mana kamu? Tolong aku.” Terdengar suara lirih mengajaknya bicara. Ternyata itu adalah telepati dari Jamilah.
“Aku lagi pusing lima puluh keliling nyari adik bungsu kita si Moi,” balas Romlah.
“Aku ditangkap seseorang setelah jatuh di hutan pisang,” bisik Jamilah.
“Bukannya tadi Kakak sedang kencan sama Jibril? Kalian berjanji untuk bersama-sama melihat bulan dan bintang?” tanya Romlah. Heran.
“Ceritanya panjang, sekarang kamu ke sini dulu. Tolongin aku keluar dari sini. Tulang rusukku patah. Aku disekap di bawah tanah. Aku kasih tahu lokasinya, ya.”
Tiba-tiba sebuah ingatan berputar di otak Romlah, layaknya sebuah pesan panjang berbentuk lokasi seperti GPS. Ah, padahal zaman dahulu belum ada GPS. Gegas Romlah memutar sapu terbangnya menuju lokasi yang dikirim Jamilah. Tanpa gadis itu sadari, takdir akan mengubah hidupnya.
Tak sampai setengah hari Romlah sudah mendekati tempat Jamilah terjatuh. Sesampainya di lokasi, Romlah hanya menemukan tongkat sihir milik Jamilah, namun tak menemukan kakaknya. Dengan hati-hati Romlah mencari di setiap sudut, setiap sisi tanah itu.
Romlah tak menyadari, jika di belakangnya bahaya sedang mengintai. Ada satu sosok sedang membawa sebuah pentungan segera memukul tengkuk Romlah. Romlah pun limbung, hingga akhirnya tumbang.
Lagi, ada seorang nenek mengangkat tubuh Romlah, membawanya entah ke mana.
***
Beda Romlah, beda pula dengan Moi. Bocah kecil itu sedang asyik terbang. Hal yang sangat jarang dia lakukan. Hidupnya hanya berkutat pada kerjaan rumah. Bersih-bersih, nyuci, masak, dan menyapu. Bermain-main pun paling jauh di sungai dekat rumahnya.
Puas dia bermain-main di angkasa, saatnya menukik turun. Moi melihat sebuah danau yang luas dan indah. Moi lapar dan ingin membuat ikan bakar. Namun, sebelumnya dia harus menangkap ikan di danau.
“Bimsalabim, tiga ikan, muncullah!” kata Moi sambil mengayunkan tongkatnya. Ajaib, dua ikan terbang ke arah Moi dan menggelepar tak berdaya.
Gegas Moi membersihkannya dan membuat tusuk serta api. Asap pembakaran ikan begitu menggugah selera. Terlebih Moi membawa bumbu khusus yang membuat rasa ikan semakin tak karuan.
Melihat ikannya matang, Moi segera memakannya. Puas. Perutnya kekenyangan. Gadis cilik itu akhirnya tertidur di pinggir danau yang tenang.
“Tidur yang nyenyak, ya, gadis kecil,” bisik seseorang. Dia mengangkat tubuh kecil Moi ke pangkuannya. Berharap gadis itu tak bangun untuk sementara waktu. Semua rencana masih ada dalam genggaman tangannya.
Bersambung …
Sub, 051020
RHS, pecinta lumba-lumba yang mulai belajar berkarya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata