Misteri Makam Keramat
Sekarang Minah sudah berada di sana, di pekarangan milik Mbah Karto. Banyaknya pohon bambu yang berjajar rapat dan letaknya yang sedikit jauh dari rumah warga membuat pekarangan itu tampak sunyi. Belum lagi suasana surup[1] yang tiba-tiba muncul akibat terik matahari yang terhalang dedaunan. Menimbulkan kesan seram tersendiri bagi Minah yang berjalan memasuki pekarangan.
Kiat! Kiut!
Terdengar suara liukan bambu. Buluh-buluh berwarna hijau itu saling bergesekan akibat embusan angin. Minah menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang.
Tak ada apa pun di sana. Hanya suara jangkrik yang meremangi suasana. Minah menghela napas. Dilihatnya dari kejauhan Edi masih sibuk memotong bambu yang sudah ditebangnya tadi. Dengan menggunakan gergaji milik Bapak, Edi memotong bambu itu menjadi beberapa bagian. Setiap yang sudah dipotong kemudian dibelah lagi menjadi bagian yang lebih kecil.
Sementara menunggu Edi menyelesaikan pekerjaannya, Minah terus menyibukkan diri dengan telepon genggam yang dikeluarkannya dari saku baju. Lumayan, benda itu cukup ampuh mengalihkan perhatiannya dari rasa takut.
Tapi hal itu tak bertahan lama, sampai Minah mendengar sesuatu dari balik semak—semacam seseorang yang menginjak timbunan daun kering. Minah menelan ludah. Matanya terus mengitar, dan terhenti saat ia mendapati tak ada siapa pun selain ia dan Edi di tempat itu.
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Minah menoleh cepat, dan lagi, ia tak menemukan apa pun selain ketakutannya sendiri.
“Kamu dengar itu?” teriaknya.
“Apa?” tanya Edi seraya mendongakkan kepala.
“Suara itu, Mas!” jawabnya serak, “sungguh kamu ndak dengar?”
Edi menggelengkan kepala, lalu kembali memotong bambu. Tak dihiraukannya lagi Minah yang masih berdiri tegak tanpa sedikit pun bergeser dari posisinya yang tadi. Sesekali ia mengusap lengan sambil terus bersedekap.
“Aneh, padahal tadi…?” Minah bergidik ngeri. Jemarinya mengusap wajahnya yang mulai berkeringat. Sampai tiba-tiba ada sebuah bayangan yang muncul di hadapannya.
Bayangan itu membesar, meninggi dan semakin mendekat. Jantung Minah berdegup cepat. Keringat dingin bercucuran.
Puk!
Edi menepuk keras punggung Minah. Tubuh gadis itu berjingkat.
“Sudah selesai melamunnya?” tanya Edi. “Ayo, pulang!”
Minah mengerjap. Sedetik kemudian ia masih tampak kebingungan.
***
Semenjak hari itu, Minah jadi sering merasa takut. Setiap malam, mimpi buruk selalu mendatanginya. Tak hanya itu, beberapa hal aneh juga sering menimpanya, seperti mencium wangi kembang, mendengar nyanyian mistis, hingga melihat sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Minah menghela napas. Ketakutannya selama ini sudah cukup membuatnya kalut. Ia memejamkan mata, mengingat apa saja yang mungkin menjadi penyebab dari perasaan buruk yang menimpanya. Ingatan itu menuntunnya pada kejadian-kejadian ganjil yang pernah ia alami. Dan ia sampai pada satu nama: makam keramat.
Sontak Minah membuka mata. Perlahan ia mulai menerka tentang pengalamannya yang berkaitan dengan makam itu. Sia-sia, Minah tak menemukan petunjuk apa pun.
Merasa kesal, akhirnya ia menghampiri Edi. Entahlah, ia merasa hanya Edi yang bisa membantunya saat ini. Dengan gugup Minah menceritakan semuanya. Tentang ketakutannya dan tentang semua hal aneh yang menimpanya. Awalnya Edi tak begitu menghiraukannya. Sampai akhirnya ia menangkap keseriusan di wajah Minah.
Edi menghela napas. Ditatapnya wajah Minah lekat-lekat.
“Kamu tidak ingat dengan makam itu?” tanya Edi menyelidik. Minah menggeleng pelan. Berikutnya, penjelasan Edi membuatnya terkejut.
“Apa?” potong Minah. “Tapi … kamu tidak pernah cerita soal itu!”
“Itu karena aku tidak percaya!” sela Edi, “lagipula…”
“Bapak melarangmu?”
Edi berulang kali mengangguk. Minah tak heran dengan hal itu. Sekarang Minah mengerti. Semua hal yang ia alami bersumber dari makam itu. Makam yang pernah Bapak ceritakan dulu.
Semua orang di desa ini menyebutnya petren[2]. Dua buah makam milik pepunden[3] yang sedikit berbeda dengan makam yang lain. Terlihat dari letaknya yang membujur dari timur ke barat. Makam ini sudah tersohor. Bahkan sebagian besar dari mereka menganggapnya sebagai makam keramat.
Tapi, hanya sebatas itu yang Minah tahu. Karena Bapak tidak pernah mengizinkannya bertanya untuk menggali lebih jauh mengenai makam itu. Kata Bapak, sebaiknya Minah tak terlalu sering membicarakannya. Meski tak tahu alasannya mengapa hal itu tak boleh dilakukan, Minah tak membantah.
Edi melanjutkan ceritanya. Konon, orang-orang percaya bahwa petren adalah penjaga desa ini. Karena itulah mereka sering mengadakan ritual di sana. Terutama saat ada perayaan besar di desa. Katanya untuk menolak bala.
Tak hanya itu, sebenarnya ini bukan pertama kalinya Edi mendengar cerita aneh yang berhubungan dengan makam itu. Seperti halnya yang tengah Minah alami saat ini.
“Lantas, apa hubungannya denganku?” sela Minah. Edi mengangkat kedua bahunya. Sepertinya ia juga bingung.
“Aku bahkan ndak pernah melihat makam itu,” ucapnya lirih.
“Kamu serius? Bukannya dulu kita pernah ke sana?” ungkap Edi.
“Hah? Maksud kamu, Mas?” Edi terdiam sejenak. Lalu mengibaskan sebelah tangannya.
“Sudahlah! Bagus kalau kamu tidak tahu,” balas Edi. “Kalau tidak, bisa-bisa kamu lari ketakutan waktu itu.”
Minah terhenyak. Ia tak menyangka jika makam itu berada tepat di belakangnya. Saat ia berdiri dan menyandarkan tubuhnya di batang pohon di pekarangan milik Mbah Karto. Letaknya yang tersembunyi di balik pohon membuat Minah tak menyadari hal itu.
“Jangan-jangan…?”
“Jangan-jangan apa?” tanya Edi penasaran. Dengan suara yang bergetar, Minah menceritakan kejahilannya. Sebuah kaleng bekas minuman pernah ia lempar ke makam itu. Tentu saja saat Edi tak melihatnya.
“Besok kita ke sana!” ujarnya pada Minah.
“Untuk apa?”
“Membersihkan makam itu! Memangnya apa lagi?”
Minah menggeleng keras.
“Ndak, aku ndak mau!” bentaknya.
“Tapi bukannya kamu?”
“Sudah! Cukup, Mas!” Minah bangun dari tempat duduknya. “Sudah malam, aku mau tidur,” ucapnya sambil berlalu.
***
Kembang-kembang ditabur di atas makam, menyatu dengan bau kemenyan yang menyengat hidung. Asap putih mengepul. Menari-nari di atas dupa yang ujungnya terbakar. Minah menutup hidungnya. Lelaki tua itu masih membaca mantra. Mulutnya komat-kamit. Cepat. Namun tak terdengar jelas.
Ia duduk bersila di depan makam. Matanya memejam. Kedua tangannya mengapit rapat di depan dada. Sesekali jemarinya menjumput sesuatu dari dalam layah, lalu menaburkannya di atas kemenyan.
“Uhuk! Uhuk!” lelaki tua itu menghentikan ritualnya. Minah melirik sekilas sambil terus terbatuk.
Srek! Srek!
Jantung Minah berdegup tak karuan. Suara itu lagi. Lelaki itu. Keduanya semakin mendekat, memaksa Minah untuk segera berlari. Berlari. Terus berlari.
Bruk!
Minah terjatuh. Dengan napas yang memburu, ia menoleh ke belakang.
Di sana ada….
**
“Nduk! Bangun! Ayo, bangun!” Minah tersentak. Matanya terbelalak seketika.
“Kenapa kamu tidur di sini?” kata Mbah Karto. Minah terdiam. Gadis itu tampak ling lung. Napasnya pun masih tersengal-sengal seperti habis berlari.
“Di mana ini, Mbah?” tanya Minah. Ia mengerjap. Lalu memutar pandangan ke sekelilingnya.
“Di pekaranganku, Nduk!” jawab Mbah Karto.(*)
Keterangan:
[1] Suasana seperti saat senja tiba.
[2] Sebutan untuk makam yang dikeramatkan.
[3] Sesepuh desa yang sangat dihormati.
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira Email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita