Misteri Hutan Jati
Oleh : Ardhya Rahma
Lewat tengah hari, aku memastikan mobil dalam kondisi prima sebelum memutuskan berangkat menuju Blitar, ke desa tempatku melakukan KKN. Meski banyak yang mencegah, aku tetap bersikeras untuk berangkat sekarang juga. Aku beralasan kepada orang tuaku bahwa besok mesti mengajar di pagi hari, jadi mau tak mau harus berangkat saat ini juga. Sebenarnya aku berencana berangkat lebih pagi, tapi mendadak aku ingin membuat cake untuk kubagikan esok hari pada murid-muridku. Akhirnya setelah semua cake siap dikemas, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang.
Dari Surabaya, aku memacu mobil dengan kecepatan 100 km/jam. Kupikir dengan kecepatan seperti itu, aku akan sampai di desa tujuan sebelum pukul enam sore. Artinya aku bisa keluar dari hutan jati sebelum pukul lima sore. Masih belum terlalu malam. Masih aman buat seorang gadis bepergian sendirian.
Sayangnya, aku melupakan sesuatu dalam perjalanan ini. Aku lupa akan kondisi jalanan yang selalu ramai di hari Jumat sore seperti ini. Waktu di mana banyak orang mudik mingguan karena Sabtu dan Minggu pegawa kantoran libur. Karena lupa, tentu saja aku tidak memasukkan waktu tambahan yang dibutuhkan dalam prediksi waktu ditempuh. Akhirnya, di sinilah aku sekarang, baru saja memasuki pinggiran hutan jati ketika jam di dasbor mobil menunjukkan pukul enam sore.
Sebenarnya agak ragu meneruskan perjalanan, sempat ingin bermalam saja di desa terakhir sebelum memasuki hutan. Namun, selesai salat Magrib di musala aku mantapkan hati untuk melanjutkan perjalanan. Sepertinya, kalau menambah kecepatan bisa lekas sampai di desa tujuan.
Dari kejauhan, aku melihat ada seorang nenek yang bersandar di mobilku yang terparkir di halaman musala. Nenek tersebut tampak letih sekali. Di sebelahnya teronggok setumpuk ranting kering yang diikat oleh selembar selendang. Sepertinya dia selesai mencari kayu bakar di hutan. Sebuah kebiasaan penduduk di beberapa desa yang masih banyak menggunakan tungku untuk memasak.
Aku mendekat dan menyapanya.
“Mbah, nembe saking hutan? Sampun dhahar?1” tanyaku.
“Yo, Nduk. Durung. Ngenteni tekan omah lagi iso mangan2,” jawabnya.
Segera aku menekan tombol kunci mobil, dan membuka pintu belakangnya. Kuambil sekotak nasi dan satu botol minuman. Beruntung, aku membawa bekal lebih dari satu hingga bisa berbagi. Kusodorkan pada nenek tersebut yang segera menyambutnya dengan girang. Kutawarkan makan di dalam mobil tapi dia menolaknya.
“Aku lungguh teras kono wae, Nduk3,” jawabnya sambil menunjuk teras musala.
Setelah membantu membawakan ranting kayu dan memapahnya untuk duduk. Aku pun menuju mobil dan memakan nasi bekalku. Tak lama, aku meninggalkan musala untuk melanjutkan perjalanan. Dari sudut mata kulihat nenek tadi sudah tidak berada di teras, mungkin sudah selesai makannya.
Baru sepuluh menit aku memasuki hutan jati, aku melihat seseorang berjalan sangat cepat padahal dia menggendong tumpukan ranting kayu yang lumayan banyak. Setelah mengamati dengan saksama, sepertinya aku kenal dengan baju dan selendang itu. Lho, itu bukannya nenek yang kujumpai di musala? Cepat sekali dia sudah sampai sini.
Aku mengamatinya terus dan baru menyadari dia berjalan lebih cepat dibanding kecepatan mobil. Sekejap saja dia sudah hilang dari pandangan. Mendadak bulu kudukku merinding, kubaca Ayat Kursi serta tiga surat pelindung diri yang pernah diajarkan guru mengaji.
Kenapa hutan ini seolah tidak ada habisnya? Semakin gelap, semakin membingungkan, padahal aku sudah mengikuti peta yang diberikan oleh anak Pak Lurah desa tempat KKN. Aku pun pernah melewati hutan ini bersama teman-teman. Apa yang terjadi? Kenapa aku merasa hanya berputar-putar di tempat yang sama?
Aku kelaparan, juga kehausan. Cake yang sedianya dibagikan esok untuk anak didikku sudah separuh yang kuhabiskan. Dua botol air minum 600 ml yang kubawa juga sudah habis. Aku tak berani minum lagi meski kehausan, karena takut harus buang air kecil yang pasti tidak bisa dilakukan.
Kulirik jam yang melingkar di tangan. Sudah pukul sepuluh malam, berarti lebih dari tiga jam aku tersesat di dalam hutan. Aku gelisah karena tak ada sinyal di ponsel, sehingga tak bisa menghubungi siapa pun.
Tiba-tiba ….
Empat orang lelaki berpenampilan kasar entah dari mana datangnya sudah menghalangi mobilku. Mereka memukul-mukul bodi mobil dan meminta aku keluar. Aku ketakutan dan memilih mengunci diri dalam mobil.
“Hei, Perempuan, apa yang kamu lakukan! Cepat keluar! Kalau tidak aku hancurkan mobilmu,” bentak salah satu dari mereka. Sepertinya dia pemimpin mereka berempat.
“Hantam sekarang aja, Bang. Udah gak sabar nih. Jarang-jarang kita dapat branded seperti dia,” kata si kaos bergaris.
Suara mereka yang keras sanggup menembus sampai kaca mobilku. Maklum, suasana sangat sepi hingga denting jarum jatuh pun pasti terdengar.
Aku menangis di sela semua doaku. Tidak ada seorang pun yang sanggup menolongku saat ini. Hanya pada Allah aku berserah diri.
Mendadak, aku melihat sebuah wajah menempel teramat dekat di jendela kaca sebelahku. Aku berteriak dan tidak ingat apapun juga.
Aku terbangun oleh suara ketukan keras di kaca mobil, berulang kali ketukan itu terdengar. Mataku mengerjap ketika sorot beberapa senter membuat silau, ada beberapa orang menatapku. Aku ketakutan sampai melihat seraut wajah yang tidak asing.
“Pak Lurah, tolong, Pak,” tangisku sambil membuka kaca jendela.
“Tenang, Mbak. Sekarang Mbak Anita sudah aman,” kata Pak Lurah
Kulihat dari sorot senter dan lampu mobil, empat orang yang menggangguku tadi sudah di tangkap polisi. Namun, yang membuatku kebingungan bagaimana bisa para perangkat desa dan polisi bisa tahu aku di sini?
Melihat keherananku, Pak Lurah mulai bercerita bahwa Sinta, anaknya, gelisah karena aku tidak bisa dihubungi. Ketika ditanyakan ke kawanku, mereka memastikan aku sudah berangkat dari Surabaya sejak pukul satu, artinya aku seharusnya sudah sampai. Akhirnya Pak Lurah bersama beberapa babinsa berinisiatif menyusuri hutan jati dan menemukanku pingsan di dalam mobil. Sementara ke empat orang kawanan begal tergeletak pingsan di sekitar mobilku.
Hah! Mereka pingsan? Bagaimana bisa? Tiba-tiba aku ingat dengan seraut wajah yang kulihat sebelum pingsan. Wajah yang kukenal di musala desa sebelum masuk ke hutan. Mungkinkah pingsannya para penjahat ada hubungannya dengan nenek tersebut? Entahlah …. (*)
Surabaya, 15 Agustus 2020
Catatan kaki :
1Nek, baru dari hutan? Sudah Makan?
2Iya, Nak. Belum. Menunggu sampai di rumah.
3Aku duduk di beranda saja, Nak.
Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan lainnya bisa dijumpai di akun FB Ardhya Rahma.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata