Missi

Missi

Missi
Oleh : Tri Wahyu Utami

Missi lupa sudah berapa kali ayahnya mengobral janji. Namun yang jelas, ia mulai merasa bosan. Seperti hari-hari kemarin, tak ada siapa-siapa di kamarnya kecuali dirinya sendiri. Tak ada juga yang bisa ia ajak bermain, mengobrol, ataupun membantunya memandikan Missi kecil—kucing kesayangannya yang tak begitu disukai sang ayah. Missi sendiri yang memintanya sebagai ganti rugi karena Heri memberlakukan aturan ketat di rumah mereka. Pertama, setiap hari Missi harus berada di dalam rumah. Kedua, gadis itu boleh keluar, sebentar, tanpa melewati pagar halaman dan ditemani Bibi.

Sebagai pembantu rumah tangga, Bibi sudah sangat repot dengan pekerjaannya yang menggunung. Wanita tua itu pun tak pandai bicara, sehingga menjadikannya teman mengobrol sama saja dengan mengantre pembagian zakat yang jumlah penerimanya membludak. Meminta Bibi untuk berlama-lama di kamar, dengan setumpuk buku cerita yang sulit ia baca, juga bukan ide bagus. Missi pernah mencobanya dan yang terjadi berikutnya adalah, Bibi hampir membuat majikannya kehilangan dapur mereka. Ia lupa mematikan kompor terlebih dahulu, dan sekembalinya ia dari kamar Missi, asap tebal sudah mengepul memenuhi dapur. Semenjak itu Bibi seperti orang gagu yang sulit berbicara. Apalagi mendongeng di malam hari seperti yang pernah Heri lakukan. Sudah sangat lama lelaki itu tak menceritakan kisah apa pun kepada putri semata wayangnya. Missi kesepian, dan meskipun menjelang tidur Missi kecil selalu menemaninya, ia tetap butuh seseorang untuk memeluknya. Sesuatu yang tentu saja tidak bisa dilakukan seekor kucing.

“Ayah pasti pulang terlambat lagi.” Missi mendesah kesal.

Menunggu memang hal yang menjenuhkan, jadi, malam ini ia akan tidur lebih awal dan mengabaikan janji Heri ketika mereka sarapan bersama. Gadis itu meletakkan Missi kecil di keranjang kayunya yang sempit—hanya cukup untuk menampung badannya yang mungil dengan selimut tebal sebagai alasnya. Kemudian ia melesak masuk ke selimutnya sendiri. Akhir-akhir ini cuaca memang tak menentu. Rasanya sangat dingin di malam hari, namun begitu panas di siang hari. Terkadang berubah lagi, dari pagi hingga malam hanya gerah yang ia rasakan. Saat itu, biasanya sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela lumayan menyengat kulit. Membuat Missi kepanasan sehingga mukanya memerah, tetapi ia tetap berdiri di sana, menghadap ke luar jendela untuk menanti kepulangan si kucing berbulu halus miliknya yang sibuk berkencan dengan kucing tetangga.

Betapa beruntungnya mereka—kucing-kucing itu—bisa bertemu setiap hari dan melakukan banyak hal bersama. Begitu yang Missi pikirkan setiap kali Missi kecil keluar dari kamarnya, kemudian ia dan teman kencannya itu saling mengeong dari kejauhan. Suara yang berisik, sekaligus … membuatnya cemburu.

***

Di seberang jalan rumah mereka, ada seorang perempuan yang tinggal sendirian di bangunan kecil yang ia sewa. Ia adalah perempuan yang ramah, pandai bicara—benar-benar kriteria teman yang Missi inginkan, dan seorang yang penolong.

Missi ingat, di hari yang begitu sial, ia jatuh ke kubangan air di tengah jalan, dan perempuan itu menolongnya. Beruntung Heri tak mengetahuinya. Yang lelaki itu tahu adalah, ketika ia pulang Missi sedang duduk di teras sambil meringis kesakitan. Lengan dan kakinya lecet-lecet. Tetapi Lisa sungguh penolong sejati, ia merahasiakan apa yang terjadi dan Heri mengira kalau Missi terjatuh di halaman rumah mereka sendiri.

“Ayah belum mengucapkan terima kasih,” gadis kecil itu menoleh ke ayahnya, tetapi Heri hanya diam.

Ketika Lisa hendak melangkah keluar teras, barulah lelaki itu berucap pelan, “Terima kasih sudah menolong putriku, tapi—”

“Aku tidak punya teman bermain. Kalau Tante mau menemaniku, Ayah pasti merasa senang. Benar kan, Ayah?” sela Missi, memotong cepat ucapan ayahnya. Heri menoleh. Ia terkejut, tetapi tak kunjung menjawab. Gadis itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia kembali membujuk Lisa dengan muka memelas. “Aku sangat ingin mendengarkan dongeng, jadi tinggallah bersamaku.”

“Tidak, Missi,” sekarang giliran Heri yang menyela. Ia memang membutuhkan seseorang untuk menjaga Missi karena Bibi tidak masuk bekerja, tetapi ia juga tidak ingin merepotkan Lisa.

“Tapi dua hari itu lama, Ayah.” Si gadis kecil tak mau kalah. Ia tak mau sendirian tanpa teman ketika Heri pergi ke luar kota selama dua hari ke depan. Sekarang ia juga menundukkan kepala, memainkan jari-jarinya yang kecil, lalu diam membisu.

Heri mendekat. Diusapnya kepala sang putri sambil berbisik, “Sayang, Tante Lisa tidak mungkin tinggal di sini.”

“Kenapa tidak?” Lisa berjongkok, menyamai tinggi badan Missi yang tak lagi memasang wajah cemberut. Gadis itu tersenyum lebar. Begitu pun Lisa yang menatapnya senang.

“Tidak apa-apa, Lisa. Kau tidak perlu repot-repot seperti ini.” Lelaki itu kembali menolak.

“Ah, tidak. Sama sekali tidak merepotkan. Lagi pula besok aku libur bekerja, jadi aku rasa aku bisa mendongeng untuknya.”

Missi bersorak riang. Saat Missi menarik tangan Lisa untuk masuk ke dalam, perempuan itu sempat menoleh sebentar ke arah Missi. Sedangkan Heri hanya bisa mengangguk pelan, lalu mengekori keduanya yang lebih dulu meninggalkan teras.

Sesampainya di kamar, Lisa membantu Missi naik ke atas ranjang. Di sebelah kiri mereka ada rak kayu dengan buku-buku yang tersusun rapi di dalamnya. Lisa mengambil sebuah buku dan membukanya. Missi sudah bersiap mendengarkan ia bercerita, tetapi perempuan itu tak kunjung mendongeng.

“Ada apa?” tanya Missi.

“Ah, tidak. Aku hanya … aku rasa akan lebih mengasyikkan jika kita mengobrol saja. Bagaimana?”

“Baiklah.”

“Oke, kalau begitu kita mulai darimu. Jadi Missi, kenapa tadi saat terjatuh kamu berbohong kepada Ayah?”

“Karena aku tidak ingin Ayah marah,” jawab Missi dengan polos. Sebenarnya bukan itu yang ingin Lisa dengar, tetapi ia segera menyadari bahwa ia salah bertanya. Jadi perempuan itu mengubah pertanyaannya. “Lalu kenapa Ayah mengurungmu seperti ini?”

“Aku tidak tahu.” Mereka terdiam sejenak. Di benak Lisa seketika berkeliaran pertanyaan-pertanyaan tentang Heri dan putri tunggalnya. Sementara itu Missi mengejutkannya dengan berucap, “Ayah cuma bilang kalau aku sayang sama Ayah, aku harus menurut. Di luar berbahaya, ada banyak orang yang jahat, jadi aku tidak boleh keluar.”

“Dan kamu melanggarnya.”

“Iya, tapi aku senang kita bisa berkenalan dan sekarang Ayah sudah menepati janjinya,” timpal gadis itu sembari tersenyum.

“Janji?”

“Hm. Ayah sering berjanji akan mengabulkan keinginanku, sekarang ia menepatinya.”

“Aku masih tidak mengerti,” ucap Lisa.

“Aku bilang pada Ayah kalau kita berteman baik, jadi aku memintanya agar mengizinkanmu menginap di sini. Dulu Ayah selalu diam kalau aku bertanya kapan aku punya teman. Sekarang aku sudah punya dan aku sangaaat senang.”

Lisa tersenyum samar. Kemudian ia peluk erat gadis itu sambil menggumamkan sesuatu dalam hati, “Kau sangat ingin keluar rumah, bukan? Kalau begitu kita akan terus berteman baik, agar ayahmu lebih sering mengizinkan kita bermain bersama, Missi. Setelah itu, akan kuajak kau pergi dari sini.”(*)

 

April-Mei, 2020

Tri Wahyu Utami, penyuka mawar putih yang sedang belajar menulis.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply