Misil: Antagonis yang Memikat
Oleh: Uzwah Anna
Para penggemar drama Korea (drakor), terutama kaum hawa pasti tahu drama kolosal ini: The Great Queen Seondeok. Yups! Tepat sekali. Sebuah drama yang menceritakan mengenai perebutan kekuasaan. Dulu, pertama kali tayang di Indonesia pada tahun 2009. Sekitar hampir sepuluh tahun yang lalu. Aku masih ingusan dan buluk.
Emang sekarang bening?
Masih buluk!
Beberapa hari lalu, setelah membaca cerita fantasi yang di dalamnya terjadi adegan perang-perangan, aku jadi teringat kembali drama ini. Kangen ingin kembali menonton dan langsung mencari di Youtube.
Inget banget, pas booming-nya drama ini, aku mesti nyisishin uang jajan demi mendapatkan tabloid mingguan yang ada gambarnya tokoh Misil.
Sebenarnya tema semacam ini sudah sangat umum. Di Indonesia juga banyak produser yang memproduksi film-film dengan genre seperti ini. Misalnya saja kisah Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung demi merebut Ken Dedes dan Tumapel, Karmapala: pertempuran kurawa dan pandawa, dan masih banyak lagi kisah serupa lainnya.
Kali ini, yang ingin kubahas bukan pada masalah perebutan kekuasaan. Namun, lebih fokus pada karakter tokoh.
Pada dasarnya, aku dan mungkin mayoritas penikmat tayangan televisi pada umumnya, lebih suka dan bahkan cenderung mendukung tokoh protagonis. Iya, ‘kan? Mungkin kebanyakan memilih “Iya!”. Namun, dalam drama kolosal The Great Queen Seondeok kali ini, aku lebih mendukung tokoh antagonis: Misil.
Serius demi apa pun, aku sudah jatuh cinta pada sosoknya: anggun, cantik, cerdik, licik, ambisius, dan raja tega. Dia akan mengorbankan apa pun demi mencapai apa yang diinginkannya. Bahkan perempuan yang bersuami dua sekaligus ini, tega membuang darah dagingnya sendiri, hasil hubungannya dengan Raja Jinji: Bidam.
Meski jahat, tokoh Misil dalam drama kolosal ini tidak selalu berteriak semacam kesetanan—hingga urat-urat di lehernya hampir putus—suara melengking tak keruan, banting-banting barang pecah belah, atau main jambak seperti kebanyakan antagonis-antagonis di sinetron Indonesia. Dalam keadaan kesal pun ekspresi Misil tetap anggun. Dia hanya akan membentak pada situasi tertentu yang dirasa benar-benar membuatnya geram, ini pun dilakukan dalam ruangan khusus yang tak banyak diketahui orang, tidak asal meledak-ledak seperti penjahat di beberapa sinetron. Mereka bukannya mencari tempat khusus, tapi memang sengaja memaki-maki di pasar atau tempat umum lain, misalnya. Maaf, sekali lagi aku harus membandingkan drama ini dengan persinetronan di Indonesia. Mungkin saja, kritik ini bisa mamacu para kru pembuat sinetron untuk lebih cerdik lagi dalam membuat tayangan yang jauh lebih menarik.
Misil memang kejam. Dia tak segan memberi racun atau menghunus pedang pada orang-orang yang dikehendakinya untuk mati. Tapi tindakannya selalu elegan. Benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kaum elit istana.
Misil itu culas!
Iya benar. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ternyata banyak hal yang bisa diteladani darinya. Misalnya, fokus dan tak pantang menyerah. Dari muda hingga menuju ajal, Misil tetap mengutamakan tujuannya. Dia adalah sosok yang gigih. Berjuang hingga titik akhir. Tenang tak banyak bicara, tapi tindakannya selalu gesit. Bahkan raja, yang sejatinya dikelilingi oleh banyak penasihat, sering kewalahan menghadapinya. Sosok berparas ayu nan kalem ini selalu cermat dan tak grusa-grusu dalam mengambil keputusan. Di titik tertentu, wanita yang memiliki tiga orang putra ini juga bertindak sangat cepat, tepat dan hasilnya selalu dahsyat! (*)
Sabtu, 02 Maret 2019
Uzwah Anna lahir di Malang. Pecinta Bakso, soto dan tape goreng. Hitam, biru dan hijau merupakan warna favorit. Motto: don’t dead before you death!
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata