Mirna

Mirna

Mirna
Oleh : Siti Nuraliah

Sudah dua minggu Mirna merasakan mual-mual setiap pagi sehabis sarapan. Perutnya seperti menolak segala macam bentuk asupan. Akibatnya, ia memilih untuk tidak makan apa-apa ketimbang harus memuntahkan kembali isi perutnya yang membuat dadanya terasa ditekan dengan kuat-kuat dan lambungnya terasa diperas. Tubuhnya menggigil, lemas, pusing bagai tidak ada tenaga. Mirna memang mempunyai riwayat penyakit mag yang parah. Gadis yang hanya tamatan SMP itu pernah masuk rumah sakit lantaran penyakit mag yang dideritanya.

Berhari-hari Mirna tidak keluar rumah. Ia hanya terbaring di kasur, menutupi tubuhnya dengan selimut. Setiap kali Ijah—ibunya—memintanya untuk diajak berobat, ia menolak. Alasannya belikan saja obat mag yang sering ia minum di apotek terdekat. Lantaran tidak ada perubahan, Ijah semakin cemas. Ia takut terjadi apa-apa pada anak gadis satu-satunya. Ijah mulai menaruh curiga, tapi kecurigaannya ditepis berkali-kali olehnya.

Kebetulan Ijah mempunyai saudara sepupu dari mendiang suaminya yang berprofesi sebagai bidan di kampung sebelah. Ia hendak memeriksakan Mirna ke sana. Sebab Mirna bukan saja sering mual dan muntah, kini penciumannya pun jadi berubah. Mirna sangat suka sekali dengan sup ayam, dulu ketika penyakit mag-nya kambuh parah, salah satu makanan yang bisa masuk adalah nasi lembek yang dicampur dengan kuah sup ayam. Tapi siang tadi, makanan yang dibawa Ijah ke kamarnya, baru sampai pintu saja sudah ditolak oleh Mirna. Tercium sangat bau katanya.

Ketika para tetangganya menanyakan perihal keadaan Mirna, dan ada beberapa yang hendak menjenguknya, Ijah menolak. Hanya sakit ringan jawabnya. Lalu tersebarlah kejanggalan sikap Ijah. Dan kemudian terjadilah kesimpulan-kesimpulan yang dibuat para tetangganya yang mengaitkan dengan kelakuan Mirna saat duduk di bangku SMP. Mirna pernah digerebek di rumah pamannya yang kosong bersama pacarnya. Memang tidak sedang melakukan hubungan badan, hanya kepergok sedang berciuman. Itulah kenapa mendiang bapaknya tidak menyetujui saat Mirna merengek-rengek minta melanjutkan sekolah ke SMA dan dengan sedikit dipaksa Mirna dimasukkan ke pesantren. Meski hanya bertahan beberapa bulan. Puncaknya, saat kematian bapaknya yang mendadak, Mirna sudah tidak pernah balik lagi ke pesantren.

“Menurutku anaknya si Ijah itu bukan sakit biasa. Masa sakit mag, enggak kuat lihat sinar matahari?” celetuk tetangga sebelah rumah Ijah saat acara posyandu.

“Separah itu, ya?” tanya ibu-ibu yang lain.

“Saya sih enggak heran kalau si Mirna hamil. Bukannya si Mirna juga saat dilahirkan enggak tahu bapaknya siapa?” Ibu berbaju merah semangat menimpali.

“Loh, memangnya si Mirna bukan anaknya almarhum Dodi?” Ibu yang lain penasaran.

“Bukan, Ijah dinikahi Dodi itu saat usia Mirna dua tahun.”

Begitulah kegiatan posyandu jadi arena gibah berjemaah. Orang-orang banyak yang mencuri dengar. Sehingga yang tadinya tidak tahu apa-apa jadi tahu akibat ulah sekelompok ibu-ibu yang mengobrol dengan suara tanpa menurunkan nada.

***

Dada Ijah bagai disambar petir di siang yang terik, saat saudara sepupu almarhum suaminya itu memperlihatkan garis merah dua pada testpack yang dipegangnya. Awalnya Mirna menolak saat diminta pipis, tapi ia tidak bisa mengelak saat Bidan Desi menyuruhnya berbaring, sedikit menekan dan meraba bagian perut Mirna ada yang mengganjal.

Bidan Desi bertanya kepada Mirna kapan terakhir ia haid. Mirna tidak menjawab, wajahnya basah oleh air mata. Ia menangis sesenggukan.

“Sepertinya kandunganmu sudah mau memasuki tiga bulan, Mir,” ucap Bidan Desi.

Gemetar tubuh Ijah mendengar ucapan sepupunya itu. Ia baru sadar, ia telah lalai. Lalu ia teringat dosa yang bertahun-tahun ia lupakan, dosa yang telah menjelma menjadi Mirna. Mirna bukan gadis yang sering keluyuran, Mirna sudah berubah, pikirnya. Meski memang kadang-kadang ia meminta izin kepada Ijah untuk main ke rumah temannya. Dipikirnya Mirna sudah dewasa, sudah bisa jaga diri. Makanya, ketika sopir-sopir mobil truk pelanggan di warung nasi Ijah beberapa kali mengajak Mirna jalan-jalan, Ijah tidak keberatan. Ditambah lagi, dengan alasan kasihan, karena Mirna sehari-hari hanya membantu Ijah menjamu tamu-tamu di warungnya. Sungguh suatu kebodohan yang hina. Ijah merutuki dirinya.

Lalu bergegas Ijah mengajak Mirna pulang. Di rumah, Mirna ditanyai habis-habisan.

“Jangan menangis! Siapa bapak bayi dalam kandunganmu itu, Mirna?” Dengan suara bergetar, Ijah bertanya.

Mirna tetap menggelengkan kepala, meski telah ada sepuluh kali Ijah bertanya bapak dalam kandungan anaknya. Ia tidak mau bernasib sama, dulu saat perut Ijah membuncit, ia tidak tahu harus kepada siapa ia menagih pertanggungjawaban. Terlalu banyak yang telah tidur dengannya, sehingga ia tidak tahu benih siapa dan dari lelaki yang mana benih yang tumbuh di rahimnya.

Kemudian Ijah meninggalkan Mirna yang terus menangis itu sendirian di kamarnya. Ijah sudah tidak lagi memikirkan akan bagaimana ocehan para tetangga. Sengaja ia biarkan anaknya itu mengurung diri, nanti malam setelah sedikit tenang ia akan kembali menanyai anaknya dengan baik-baik.

***

Malam itu juga, Heri diminta datang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Mirna. Dan pada malam itu juga akad akan segera dilangsungkan. Tidak ada syukuran, tidak ada tamu yang diundang, hanya ada penghulu dan dua saksi yang sedikit terpaksa karena merasa iba. Setelah sebelumnya Heri mengelak sebagai satu-satunya yang telah tidur dengan Mirna, ia juga mengaku kalau dirinya hanya melakukannya sekali saat mengajak Mirna jalan-jalan pada malam tahun baru. Karena merasa ditekan, Heri akhirnya datang.

Sementara itu, di dalam kamar, Mirna tidak berhenti menangis. Sebenarnya ia juga bingung dan sedikit yakin kalau benih yang tumbuh di rahimnya adalah benih dari Harya, adik Heri yang lebih sering mengajak Mirna jalan. Mirna bingung lantaran Harya punya istri dan anak, sehingga peluangnya akan sangat kecil untuk menikahi dirinya. Sedangkan Heri, ia lelaki duda yang kedua anaknya tinggal bersama mantan istrinya.

Akad sudah dilangsungkan dengan mahar uang lima puluh ribu rupiah. Setelah semuanya selesai, rumah Ijah kembali hening. Hanya terdengar detik jarum jam yang bersahutan dengan isak tangis Mirna. Selesai akad, Heri langsung pergi. Alasannya besok ia baru akan kembali.

Pukul setengah sembilan pagi, seseorang memarkir motornya di depan rumah Ijah. Pemilik rumah saat itu sedang menyapu halaman. Laki-laki itu menyerahkan amplop cokelat kepada Ijah. Setelah si pengantar itu pergi, Ijah masuk ke dalam rumahnya dan mulai membaca isi tulisan dalam amplop cokelat itu. Pada baris pertama, tertulis kalimat: Surat perceraian.

***

Banjarsari, 16 April 2021


Siti Nuraliah. Perempuan sederhana yang kadang suka menulis, kadang suka membaca.

Editor : Fitri Fatimah

Leave a Reply