Miracle Still Happens
Oleh: Ken Lazuardy
Naskah Pilihan pada Lomba Cermin Lokit
Di pelataran masjid, seorang lelaki berusia 52 tahun tengah duduk seorang diri. Sesekali ia menyesap segelas kopi hitam yang asapnya masih mengepul. Pikirannya menerawang jauh, pandangannya kosong. Bukan karena tak ada yang dipikirkan, tetapi beban berat yang bergelayut di pundak dan pikirannya saat inilah yang membuatnya terdiam cukup lama. Ia sadar, tak ada yang mampu dia lakukan untuk membuatnya merasa lebih baik.
Alarm tanda datangnya waktu Isya membuyarkan lamunannya. Ia pun segera mengambil wudu dan menjalankan tugasnya. Setelah mengumandangkan azan Isya, rasa sesak mencengkeram dada pria yang akrab disapa Pak Mardani itu. Ia sangat rindu akan riuhnya suasana masjid di bulan suci Ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya. Senda gurau dan derap langkah anak-anak yang berlarian dengan riang, suara para jamaah menjawab seruan bilal, serunya berbuka puasa bersama, serta tadarus Al-Qur’an sampai larut malam.
Pak Mardani lalu mengalihkan pandangannya pada karpet-karpet masjid yang tak tahu akan berapa lama lagi tetap tergulung rapi, berdiri dan bersandar di dinding masjid. Karpet-karpet itu sebelumnya tidak pernah digulung terkecuali ketika akan dibersihkan. Ya, sebelum wabah ini melanda. Wabah yang membuat masjid yang selama enam belas tahun yang ia jaga ini menjadi sangat sunyi.
Setelah mendirikan salat Isya seorang diri, ia sibuk membersihkan Al-Qur’an yang sedikit berdebu. Sejak pandemi menekuk luluh setiap sendi kehidupan, Al-Qur’an ini banyak yang tidak tersentuh. Ia rindu membereskannya kembali ke rak setelah dipakai para jemaah. Ia pun memutuskan kembali pada kopi hitamnya yang kini tak lagi panas, asapnya menghilang seperti harapannya untuk pulang ke kampung halaman sambil membawa oleh-oleh untuk istri dan keempat anaknya.
“Pak Mardani?”
Lelaki berkoko putih dan berpeci hitam itu tersentak ketika mendengar seseorang memanggil namanya.
“Eh, iya, Mas Ibam. Ada apa, ya?”
“Nggak apa-apa, Pak. Maaf mengagetkan. Cuma mau ngobrol aja. Boleh saya duduk di sini?”
“Boleh, Mas. Monggo. Mas Ibam sedang apa malam-malam begini ke masjid?”
“Jadi gini. Kebetulan tadi saya habis beli lauk buat sahur, terus saya lihat Bapak di sini sendirian. Saya samperin, deh. Bapak lagi ngelamunin apa?”
Pak Mardani tersenyum mendengar penjelasan Ibam, seorang pria muda yang kebetulan tinggal di satu kos-kosan dekat masjid. Lelaki tua itu merasa ada yang memperhatikannya. Ibam adalah salah satu jemaah Masjid Al Ikhlas sejak ia tinggal di sana.
“Nggak apa, Mas. Cuma rindu aja sama Ramadan dan masjid yang rame kayak dulu. Tapi apa boleh buat, ya, demi kebaikan bersama, kita perlu mengikuti anjuran pemerintah.”
“Iya, Pak. Saya pun kangen salat berjamaah di sini. Oh, iya, Bapak udah buka puasa?” tanya Ibam.
Pak Mardani hanya mengangguk.
“Hmm, ini saya ada lauk lebih buat Bapak. Bisa buat Bapak sahur nanti. Tadi belinya kebanyakan, penjualnya nggak fokus kayaknya. Tapi nggak apa-apa, lah, kasian juga kalo misalnya saya minta balikin. Itung-itung bikin penjualnya seneng, biar cepat habis.”
“Baik sekali Mas Ibam ini. Terima kasih, ya, Mas.”
“Sama-sama, Pak. Besok-besok saya temenin Bapak buka puasa sama sahur di sini, ya.”
“Sangat boleh, Mas Ibam. Terima kasih banyak.”
“Iya, sama-sama, Pak. Saya tidak bisa pulang kampung sepertinya tahun ini. Bapak gimana?”
“Ya, sama, Mas Ibam. Saya pun tidak bisa pulang kampung, selain karena dilarang mudik sebab masih pandemi, pendapatan saya juga berkurang. Hanya cukup untuk ngirimi istri dan anak-anak di kampung.”
“Hmmm, kalau boleh tahu, gaji Bapak sebagai marbot itu berapa, sih?”
“Ya, ada, lah pokoknya, Mas. Saya nggak bisa sebutkan nominalnya. Kadang dapat juga sedekah dari para jemaah. Saya syukuri saja yang sudah dikasih. Biar Allah nanti yang mencukupi di akhirat,” tutur Pak Mardani.
Tutur kata Pak Mardani diam-diam menyentuh hati Ibam. Mengingat betapa seringnya ia mengeluh karena tak merasa puas dengan gaji yang diterimanya selama ini. Sejak saat itu, Ibam berjanji untuk lebih memikirkan orang lain di sekitar yang masih kekurangan, daripada hanya mengeluhkan dirinya yang tak kunjung naik gaji.
***
Lima hari sebelum hari raya Idul Fitri.
“Assalamualaikum, Pak.”
“Waalaikumussalam, Mas Ibam.”
“Hmm, ini ada sedikit untuk Bapak dan keluarga di kampung. Semoga bermanfaat, ya.”
Mimik wajah Pak Mardani yang awalnya bingung, tampak semringah setelah membuka bingkisan dari pemuda yang akhir-akhir ini menemani Ramadannya. Ada sarung, koko dan peci baru serta sebuah amplop berisi sejumlah uang.
“Ya Allah, Mas Ibam. Apa ini? Kenapa repot-repot seperti ini?”
“Tidak apa, Pak. Anggap saja ini semua pemberian Allah yang sengaja dititipkan melalui saya untuk Pak Mardani. Orang yang tetap menjaga, membersihkan, dan menghidupkan masjid meskipun dalam keadaan sulit seperti ini.”
“Terima kasih, Mas Ibam. Terima kasih banyak. Bapak senang sekali. Semoga Allah menambahkan keberkahan dalam kehidupan Mas Ibam.”
Pak Mardani tidak menyangka bahwa di saat ia merasa sepi, Allah kirimkan seorang hamba untuk menemani kesendirian dan membantu meringankan bebannya. Ibam pun tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Ada kehangatan yang menyeruak di hatinya ketika melihat senyum Pak Mardani mengembang. Nominal gajinya memang berkurang, akan tetapi nilainya menjadi bertambah. (*)
Ken Lazuardy, lahir pada tanggal 29 November 1990 di Pasuruan, saat ini berdomisili di Magelang. Sedang dan akan terus belajar di dunia kepenulisan.
Komentar juri:
Cerita yang menyentuh, hangat, dan penuh nasihat, tetapi tidak memiliki kesan menggurui. Pesannya disampaikan melalui pengalaman dua tokoh yang saling menemukan pembelajaran hidupnya masing-masing. Saya juga suka dengan bagaimana penulis tidak melebih-lebihkan konflik dalam cerita. Ia bercerita dengan tenang, rapi, dan terkesan santai. Namun tetap berhasil menciptakan kesan yang dalam setelah kita selesai membacanya. Cerita ini juga diam-diam menyalurkan pesan optimistis kepada saya, bahwa meski Ramadan kali ini berbeda, tetapi semua akan baik-baik saja. Pemilihan judulnya juga cocok untuk nuansa cerita yang melegakan hati. Good job, Kak Ken.
Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata