Minggu Petang
Oleh : Vianda Alshafaq
Ketika petang sudah menjelang di hari Minggu di bulan kesembilan setiap tahunnya, semua warga desa berkumpul di permakaman. Di hari itu—hari Minggu pertama di bulan kesembilan—mereka harus siap-siap menyaksikan hal paling menyedihkan: kematian-kematian yang tragis. Tak jarang, mereka berteriak ketika menyaksikan penyembelihan salah seorang di antara mereka. Kadang, para perempuan menangis tersedu-sedan, ada yang tumbang karena tak kuat menyaksikan hal tersebut, dan ada juga yang memilih mati lebih dulu daripada menyaksikan orang yang dikasihinya dibunuh dengan keji.
Dan, hari ini adalah hari itu. Mentari baru saja menyembul dari arah timur. Di sebuah rumah yang terbuat dari bambu, seorang wanita menatap matahari dari jendela. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk bandul, seperti menghitung detik-detik agar cepat berlalu. Hanya sembilan detik lagi, sembilan nama akan diumumkan dari balai desa menggunakan pengeras suara yang akan menyebarkan berita itu dengan cepat.
“Lima, empat, tiga, dua, satu,” ucap gadis itu menghitung mundur tanpa bersuara.
Tepat setelah gadis itu menyebutkan “satu”, sebuah sapaan terdengar dari pengeras suara yang ada di balai desa. Tak lama, sembilan nama disebutkan. Kesembilan nama itu adalah nama-nama yang akan dibantai petang nanti, untuk memenuhi salah satu tradisi di Desa Senturi.
“Dan, berbahagialah. Kalian akan menetap di surga,” ucap seseorang dari pengeras suara itu mengakhiri pengumumannya.
Di Desa Senturi, ada sebuah kepercayaan bahwa menyembelih sembilan orang di hari Minggu pertama di bulan sembilan ketika petang menjelang akan membuat mereka hidup makmur dan penuh keberkahan. Nyawa-nyawa yang direnggut waktu itu akan menjelma malaikat yang akan menebarkan rezeki berlimpah. Dalam kepercayaan mereka, setiap darah yang menetes ke tanah saat itu, akan memberikan kesuburan sehingga tanaman-tanaman yang mereka tanam akan tumbuh dengan baik.
Gadis itu mengepalkan tangannya setelah mendengar kesembilan nama itu. Wajahnya menjadi merah padam, penuh dengan amarah dan kebencian. Sebuah pukulan ia daratkan di dinding bambu yang sudah reyot. Dalam hatinya, ia memikirkan cara-cara untuk melarikan diri bersama Gale, kekasihnya yang namanya masuk dalam daftar orang-orang yang akan mati petang nanti.
Dengan langkah cepat, ia keluar rumah. Satu-satunya yang ingin ia temui saat ini adalah Gale. Bagaimanapun caranya, ia harus membawa Gale pergi dari desa neraka itu. Saat gadis itu sampai di depan rumah Gale, ia berdiri sebentar. Ia menengadah ke langit, mengirimkan sebuah harapan agar Tuhan memberikan pertolongan-Nya. Jika Tuhan tidak bersedia menolongnya, setidaknya Tuhan harus bersedia menolong Gale yang setiap waktu memuja-Nya.
“Eve,” panggil Gale dari pintu rumah.
Merasa dipanggil, Eve beralih menatap Gale. Wajah laki-laki itu terlihat sangat sendu, matanya sayu. Tak ada Gale yang biasanya bersemangat setiap hari. Di sana, hanya terlihat Gale yang pasrah menghadapi kematian petang nanti.
“Apa kau sudah mati, Gale?”
Gale menggeleng lemah. Dengan langkah pelan, ia mendekati Eve kemudian memeluk kekasihnya itu. Pelukannya begitu erat, seperti sebuah pelukan perpisahan.
“Kau sudah mati, Gale.”
Eve melepaskan pelukan mereka. Hatinya ngilu, dan terasa sangat perih. Tadi, ia berlari begitu kencang dengan harapan bahwa Gale sudah siap melarikan diri bersamanya. Tetapi, kenyataannya tidak begitu. Eve hanya melihat Gale pasrah begitu saja. Baginya, Gale yang seperti itu menandakan kalau Gale sudah mati meskipun nyawanya belum melayang.
“Kau tahu betul kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa. Tradisi dan kepercayaan ini sudah berlangsung sejak dulu. Apa lagi yang bisa diharapkan, Eve? Sekalipun satu desa ini menangis setiap Minggu petang ketika pembantaian itu terjadi, tetap saja tradisi itu tidak bisa diubah. Mereka menangis, tapi mereka juga percaya bahwa kepercayaan itu memang benar.”
“Kita harus menghancurkan tradisi itu. Ini bukan tradisi, Gale. Ini pembasmian manusia.”
Eve selalu mengatakan kalimat seperti itu di hari pembantaian setiap tahunnya. Setelah sembilan nama diumumkan, Eve selalu mengatakan bahwa ia ingin menghancurkan tradisi tersebut. Eve selalu berkata bahwa darah-darah petang itu tidak akan pernah membuat tanahnya subur. Tetapi, darah-darah itu akan menjadi dosa-dosa yang akan mereka—semua orang yang menyaksikan—tanggung seumur hidup.
“Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghancurkan tradisi itu, Eve.”
“Setidaknya ikutlah bersamaku. Kita bisa pergi ke tempat lain. Dengan begitu, kau tidak perlu mati hari ini, Gale.”
Gale menggeleng. Ia tidak bisa pergi. Bagi Gale, semua ini harus diikuti. Sebuah tradisi pada akhirnya mengikat semua kalangan di tempat itu. Tidak ada yang bisa melanggar ataupun menghilangkan tradisi tersebut selagi penguasa desa memercayainya.
“Eve, apa yang bisa kau lakukan? Kau hanya seorang gadis miskin dari Desa Senturi yang bahkan tidak memiliki hak atas hidupnya sendiri.”
Mata Eve memancarkan kemarahan luar biasa. Ia menatap Gale dengan tajam, sementara tangannya kembali dikepal kuat-kuat.
“Aku akan menghentikannya petang ini, Gale,” ujar Eve yakin.
“Kau tidak bisa melakukan apa-apa, Eve.”
“Hanya orang mati yang tidak bisa melakukan apa-apa, seperti dirimu.” Eve membalikkan badannya, ia berjalan meninggalkan Gale.
***
Eve ingat, di suatu Minggu pagi, ketika nama ibunya disebut dalam daftar orang-orang yang akan mati, ia bersikeras membawa ibunya lari dari desa itu. Tapi seperti yang Gale lakukan, ibunya pasrah begitu saja. Ibunya mengatakan pada Eve bahwa mereka hanya orang-orang awam yang tak bisa berbuat banyak.
“Kematian adalah hal yang indah, Eve,” ujar ibunya.
“Tidak untuk kematian seperti ini, Bu.”
Ibu Eve hanya tersenyum. Tangannya mengelus rambut putri kecilnya. Wanita paruh baya yang rambutnya digulung itu tak banyak berkata. Ia paham betul bahwa putrinya akan tetap bersikeras membawanya pergi dari desa. Eve sangat membenci tradisi itu. Karena tradisi itu, Eve sudah kehilangan ayahnya ketika ia berusia lima tahun dan kakaknya ketika ia berusia tujuh tahun.
“Kita hanya bisa hidup selama masanya. Tetapi, ketika masa itu habis, kita akan mendapatkan hadiah berupa kematian.” Wanita tua itu masih mengelus kepala Eve.
“Ada hal-hal yang tak bisa dipaksakan, Eve. Dan, ada hal-hal yang hanya perlu kau terima. Sebab, kau hanya manusia. Dan, kau tak bisa berbuat banyak,” lanjutnya.
“Kenapa kau menerimanya begitu saja, Bu?”
“Karena aku ingin menetap di surga.”
Eve bungkam. Ia tidak lagi memaksa ibunya meninggalkan desa. Entah benar atau tidak, tapi menurut Eve, surga yang dijanjikan penguasa desa itu hanya bualan semata.
“Entah hari ini atau nanti, aku akan menghancurkan tradisi itu.”
***
Petang sudah hampir datang. Seluruh warga sudah bersiap-siap. Perempuan-perempuan mengenakan gaun selutut berwarna hitam dengan rambut yang wajib digerai. Sementara para lelaki menggunakan baju berwarna hitam juga, entah kemeja ataupun kaus. Mereka berbondong-bondong menuju permakaman di selatan desa. Hanya terlihat kepiluan dari wajah-wajah mereka. Tak ada satu pun senyuman ataupun harapan.
Eve juga ikut dalam barisan itu. Ia masih memikirkan bagaimana ia bisa menghentikan pembantaian petang ini. Ia sudah muak kehilangan orang-orang yang dikasihinya karena tradisi dan kepercayaan bodoh itu. Bagi Eve, kematian seperti itu adalah kematian paling buruk. Sebab, mereka mati dalam kepasrahan tanpa sedikit pun niat untuk bertahan.
Kesembilan orang yang akan mati sudah berada di depan, berjarak sekitar sepuluh meter dari para warga. Mereka sudah berbaris rapi. Kepalanya menunduk menatap tanah.
Seseorang dari para penguasa desa berpidato di depan sana. Laki-laki itu mengulang-ulang bahwa kesembilan orang itu akan sampai ke surga. Dan, mereka akan menjadi malaikat yang akan memberikan rezeki yang berlimpah.
Tak lama setelah itu, pembantaian dimulai. Seorang pria berjanggut tipis memegang sebuah pedang yang sangat tajam. Setelah membacakan doa-doa, pedang itu melayang memenggal kepala orang pertama. Kepala itu tergeletak di tanah, darah-darahnya muncrat, bahkan mengenai pria berjanggut tipis itu. Sebagian warga menjerit dan meraung-raung. Mereka adalah keluarga gadis yang kepalanya sudah terpenggal dan orang-orang yang mengasihaninya.
Meskipun teriakan dan tangisan sudah menggema di permakaman, tetapi mereka—para penguasa desa—tetap melanjutkannya. Sudah tiga kepala tergolek di tanah. Tanah memerah dan berbau anyir.
Pria berjanggut tipis berdiri di depan Gale. Sudah saatnya ia memenggal kepala Gale. Ketika ia mengayunkan pedangnya, Eve berteriak, memintanya berhenti. Dengan kening berkerut, pria itu menurunkan pedang.
Eve melangkah ke depan dengan tangan terkepal. Meskipun ia sedikit gentar, ia tetap maju. Sudah sepuluh tahun sejak ia berjanji pada ibunya untuk menghancurkan tradisi itu, tapi baru kali ini ia berani maju dan berniat memenuhi janjinya.
“Kau tidak boleh memenggal kepalanya. Ini bukan tradisi. Ini hal yang menjijikkan!”
Ucapan Eve membuat para penguasa desa tercengang.
“Mundurlah atau kepalamu akan kupenggal lebih dulu.”
Eve menatap pria berjanggut tipis itu dengan mata nyalang. Kemudian melangkah pelan-pelan mendekati pria itu. Karena merasa terancam, pria itu mengangkat pedangnya kembali ke udara.
“Tidakkah kau lelah mengumpulkan dosa setiap tahunnya?” tanya Eve dengan mata yang masih menatap pria berjanggut tipis dengan tajam.
“Aku melakukan pengabdian, aku tidak berdosa tetapi berpahala.”
Meskipun mereka—Eve dan pria berjanggut tipis itu—terlihat “berperang”, namun tak ada satu orang pun yang mengambil tindakan. Mereka hanya diam, dan mengamati apa yang dilakukan sepasang manusia itu.
“Kalau begitu, sudah saatnya kau menikmati pahalamu itu.”
Dengan cepat, Eve menancapkan besi kecil runcing sekitar 10 sentimeter yang sangat tajam ke jantung pria berjanggut tipis. Besi itu tadi ia simpan di sakunya—kebetulan gaun Eve memiliki satu saku di samping kanan. Selagi menanyai laki-laki itu, Eve mengeluarkan besi itu pelan-pelan sehingga tak ada yang menyadarinya.
Darah laki-laki itu mengalir dengan deras. Pedang yang tadi ia pegang jatuh ke tanah. Tak lama setelah itu, laki-laki itu tersungkur di tanah sembari memegangi dadanya yang sangat perih. Besi yang Eve tusukkan tadu masih di sana, terbenam sangat dalam.
“Berbahagialah. Semoga kau sampai ke surga,” ujar Eve mengucapkan kalimat yang biasanya diucapkan oleh pria berjanggut tipis itu setelah memenggal kepala seseorang.
Eve membalikkan badannya dan menatap Gale.
“Aku melakukannya untukmu. Pergilah bersamaku, Gale.”
“Kau tidak bisa melakukan apa-apa, Eve. Berhentilah!”
Mendengar ucapan Gale, Eve mundur beberapa langkah. Ia tidak menyangka bahwa Gale tetap pada pendiriannya meskipun Eve sudah memberanikan diri untuk maju ke depan sebagai pemberontak.
“Kenapa kau ingin melakukannya?”
“Karena aku ingin menetap di surga.”
Sebuah pedang melayang di udara. Tak lama setelah itu, kepala dan tubuh Eve tergolek di tanah. Sementara darahnya yang anyir muncrat ke wajah Gale.
“Berbahagialah. Kau akan sampai di surga,” ucap kepala desa melihat tubuh Eve tergeletak di depannya. [*]
Agam, September 2020
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata