Minggu Pagi
Oleh: Rinanda Tesniana
Aku menyesap kopi yang masih mengepulkan asap. Tak ada yang bisa menandingi kopi buatan Marni, istriku. Pernah ibuku membuatkan kopi dengan takaran yang persis sama dengan buatan Marni, tetap saja itu tidak sama dengan buatannya.
Minggu pagi selalu menyenangkan. Aku bisa istirahat seharian setelah seminggu penuh disibukkan dengan kegiatan kantor yang menguras emosi dan pikiran. Makin sempurna sebab kedua anakku sedang menginap di rumah Ibu. Jadi tidak ada suara-suara bising yang membuat jantungku bekerja lebih keras setiap saat.
Belum kalau mereka bertengkar, rasanya dadaku ikut terbakar saat salah satu dari mereka menangis. Padahal aku hanya memiliki satu hari! Hanya satu hari untuk istirahat.
Jadi, Minggu yang sangat tenang ini akan aku manfaatkan untuk santai-santai. Menunggu Marni selesai masak semur ayam kesukaanku, dan makan siang. Kemudian, aku tidur hingga sore.
“Pagi, Mbak Dwi,” sapaku pada tetangga yang kebetulan lewat.
“Pagi, Mas,” jawabnya dengan napas terengah.
Ternyata dia sedang membawa tabung gas melon. Kasihan sekali. Ke mana suaminya? Tergopoh aku menghampiri wanita muda itu, dan mengambil alih tabung berat tersebut dari tangannya. Kasihan, wajahnya penuh peluh.
“Kok dibawa sendiri, Mbak? Mas Heru mana?”
“Mancing, Mas.”
Aku mengumpat dalam hati. Aku selalu benci dengan lelaki seperti ini. Bersikap egois dan menomorduakan istri. Apalagi untuk alasan mancing. Pekerjaan bodoh yang hanya dilakukan oleh orang malas menurutku.
Sesampainya di rumah Mbak Dwi, aku bergegas masuk dan memasangkan tabung gasnya sekalian. Kasihan, kan, jika dia memasang sendiri? Kalau meledak bagaimana? Aku ini lelaki! Sebagai lelaki sejati, aku tak akan membiarkan seorang perempuan mengerjakan pekerjaan lelaki.
“Maaf, Mas, boleh sekalian angkatin galon gak?”
Wajah Mbak Dwi bersemu merah, mungkin dia malu karena banyak merepotkanku, dan membuat suaminya tampak tak berharga di mataku.
“Boleh, Mbak.”
Dengan cekatan aku menaikkan galon itu ke atas dispenser. Tidak sulit.
“Terima kasih banyak, Mas Asep.”
Aku hanya mengangguk dan melangkah kembali ke rumah.
Di tengah jalan, kembali aku terusik saat melihat Mega–tetangga lain–menaiki tangga dengan wajah takut.
“Ngapain, Meg?” pekikku dari bawah.
Mega melihat ke arahku dan langsung tersenyum.
“Torennya bocor, Mas. Mau aku tambal.” Dia menjawab dengan suara penuh harap bahwa aku akan membantunya.
Aku mengerutkan kening. Haruskan pekerjaan seperti ini juga dikerjakan oleh perempuan? Mana si Tian?
“Bojo-mu mana?” tanyaku.
“Lembur.”
Aku mengangkat bahu dan meminta Mega untuk turun. Menambal toren yang bocor bukan pekerjaan sulit. Tak sampai sejam semua sudah selesai aku kerjakan.
“Makasih loh, Mas. Yuk, ngopi dulu.” Mega menghidangkan segelas kopi. Namun, aku menggeleng.
“Makasih, Meg. Tapi aku baru abis ngopi.”
Perempuan itu mengangguk.
Sepanjang jalan pulang, aku menggerutu dalam hati. Mengapa ada suami yang tega pada istrinya? Perempuan itu makhluk lemah, tak sepantasnya mereka “dipaksa” mengerjakan hal-hal sulit yang sudah sepantasnya menjadi tanggung jawab lelaki.
Mengangkat galon, memasang gas, membetulkan toren memang tidak mutlak milik lelaki saja, tapi apakah pantas jika wanita yang tenaganya terbatas mengerjakan semua itu?
Aku menghirup udara kuat-kuat, kemudian membuangnya kembali dengan kasar. Berharap rasa kesalku pada suami Mega dan Mbak Dwi menguap.
Ketika melewati rumah tetangga sebelah, pemandangan tak lazim lagi-lagi aku tangkap. Hani sedang sibuk mencabuti rumput di halaman, sedangkan suaminya duduk sambil membaca koran.
Aku istigfar dalam hati. Kasihan para istri jika sikap suami mereka egois seperti itu.
Aku mengembuskan napas lega saat tiba kembali di rumah mungilku. Rumah mungil ini bercat hijau, sesuai kesukaan Marni. Awalnya, rumah kami bercat putih, tapi Marni bersikeras ingin dinding berwarna hijau sesuai warna kesukaannya. Jadi, aku biarkan dia mengecat seluruh dinding rumah ini sendiri. Adil, bukan? Ini kan keinginannya, bukan keinginanku. Wajar saja dia mengerjakan semuanya sendiri.
Aku duduk di teras, menghabiskan sisa kopi dan tempe goreng yang sudah dingin. Tak apalah, toh rasanya masih enak. Baru saja aku hendak membaca koran, Marni muncul dari dalam.
“Bang, tolong belikan gas di warung Uni May,” pintanya.
Duh, aku baru saja beristirahat setelah membantu Mega dan Mbak Dwi. Sebagai perempuan, bukankah dia harus mandiri? Jangan sedikit-sedikit minta tolong suami!
“Beli sendiri gak bisa?” tanyaku kesal.
“Berat, Bang. Motor, kan, udah Abang masukin garasi. Gak boleh dipakai karena baru dicuci.”
“Kamu harus mandiri, dong. Masa dikit-dikit Abang. Sana beli sendiri. Cuma jarak sekilo, Mar. Sekalian kamu olahraga.”
Marni mencibir dan akhirnya pergi membawa tabung melon itu seorang diri. Aku rasa, sebagai suami aku harus mendidik istri. Bagaimana kalau gas habis saat aku tidak di rumah? Mau minta tolong kepada siapa?
Cukup lama Marni pergi, saat tiba di rumah, tubuhnya sudah mandi keringat. Wajahnya memerah, dengan dada naik turun.
“Lumayan juga lemak yang terbakar, kan?” godaku.
“Nih, tolong pasangin, ya?” pintanya sekali lagi.
“Loh, masa beli sendiri minta pasang sama Abang? Yang masak kamu, jadi kamu harus bisa pasang gas sendiri, Marni. Ayolah, udah cukup Abang manjain kamu selama ini.”
“Kalau meledak gimana?” rengeknya.
“Jadi menurut kamu, Abang tahan api? Udahlah! Jangan manja!” bentakku.
Marni mengentakkan kakinya dengan wajah kesal. Aku mengangkat bahu. Sikapku sudah benar, memaksa Marni untuk mandiri. Jangan sampai dia tak bisa apa-apa tanpa aku. Aku tersenyum dan kembali melanjutkan kegiatanku membaca koran. (*)
Padang, 30.11.2020
Rinanda Tesniana, ambiver yang senang membaca.
Editor: Fitri Fatimah