Mimpi Orang Kecil
Oleh: Yuliawanti Dewi
Kami hanya ingin tidur nyenyak
Tak perlu diatas kasur empuk,
Cukup kapuk dan selimut. Itu sudah cukup.
Kami bersyukur tinggal di Indonesia yang hanya memiliki dua musim. Kemarau dan penghujan. Tak terbayang bila kami tinggal di negara yang memiliki empat musim. Bila musim salju datang, mungkin kami telah membeku dan menjadi mainan boneka salju. Atau musim panas yang akan membakar badan kami.
Tuhan Maha Adil. Namun, Pemimpin belum tentu adil!
Tak pernah ada kata kesal yang menginap dalam nurani. Kami bangga menjadi bangsa Indonesia. Kami bangga lahir di bumi pertiwi. Sebab kami menghormati perjuangan para pahlawan bangsa demi sebuah kata “merdeka”!
Kemerdekaan bukanlah suatu hal mustahil. Kami tahu, Indonesia telah merdeka. Kami mengakuinya. Sayang, para penghuni bangsa belum sepenuhnya merdeka. Masih ada saja rezim yang menindas rakyat kecil seperti kami. Kami yang kecil semakin kecil, sedangkan mereka yang besar, semakin besar hingga membuncit saja.
Aku geram! Mereka tertawa terbahak-bahak mengeluarkan suara tanpa beban, sedangkan kami di sini kelaparan, kehujanan, kepanasan, kedinginan, kesakitan, tak ada yang peduli. Berteriak? Hah! Mustahil. Takkan dengar mereka. Kupingnya sudah tertutup oleh benda-benda persegi empat itu. Ingin kubakar gedung pencakar langit tempat mereka berkumpul, tapi itu sebuah tindakan kriminal, katanya. Kami yang lemah, takkan ada yang membela. Kami korban tapi pandangan mereka berkata lain. Kami akan dicap sebagai “pelaku”. Titik.
Sampah masyarakat. Itulah panggilan kami. Bila memang peduli, kenapa tak mengamalkan ilmu sains? Sampah bagi orang yang peduli masih bisa didaur ulang sehingga menjadi sebuah barang yang berguna. Tapi kau! Kalian! Hanya menumpuk kami di tempat kumuh tanpa solusi apa pun.
Tubuh kami bau, sebab jarang mandi. Jikalau mandi, hanya di sungai cokelat tempat kalian membuang sampah dapur. Baju kami lusuh dan bermotif bolong-bolong. Sebab kami tak punya baju lagi. Punya satu menempel pada badan. Kami tetap bersyukur.
Berbeda dengan kalian, Tuan dan Nyonya. Badan kalian mengeluarkan harum parfum dengan nominal tak terhingga. Baju kalian rapi dan cantik. Namun tak beda dengan kami, mata kami melihat kalian lebih busuk dari bangkai tikus!
Ketika uang berkuasa, kau beli jabatan tanpa kendala. Kau rampas hak orang kecil tanpa berdosa. Air liurmu berceceran menodai para bunga. Kau bilang itu hal biasa, sebab ini permainan kasta. Yang besar berkuasa, yang kecil menderita.
Bedebah!
“Rin, ayo pulang. Sudah sore.”
Seorang bocah laki-laki berusia lima belas tahun berteriak tiga meter dari arahku. Dia tersenyum. Tangan kanannya menuntun seorang bocah perempuan berambut ikal sepertiku. Dia adalah adikku. Usianya masih lima tahun. Sedangkan bocah laki-laki tersebut adalah abangku.
“Baik, Bang!” teriakku dan segera berlari kearahnya.
Berangkat pagi, pulang sore. Begitulah kegiatan kami. Berprofesi sebagai pemulung, tugas kami yaitu pergi ke kota menyusuri setiap tong sampah demi mendapatkan barang-barang yang masih bisa untuk dijual. Kalau tidak, maka tak makan kami. Kalau tak makan, maka lagu keroncong akan berdendang dalam perut. Mau tak mau, lagu tersebut menjadi pengantar tidur kami.
“Rin, tadi kau sedang apa?” ucap abangku memulai pembicaraan.
“Bicara dengan bangunan gagah yang ada di seberang, Bang,” jawabku santai.
“Kenapa kau melakukan itu?”
“Aku punya alasan sendiri,” tegasku dan tersenyum. Abang kembali diam. Ia tak bertanya lagi. Sebentar lagi kami sampai di pinggiran kota. Di sana tinggal banyak pemulung yang bernasib sama.
“Rinjani. Jangan berurusan dengan orang-orang yang tinggal di sana. Kau tahu sendiri kan, apa yang mereka lakukan kepada orang tua kita?” tanya Abang dengan khawatir.
Aku tahu. Aku sungguh tahu. Mereka memangsa orang tua kita tanpa ampun layaknya binatang buas yang kelaparan. Bahkan aku menyaksikannya sendiri.
“Baik, bang,” ucapku getir.
Tibalah kami di sebuah rumah kayu yang mulai reyot. Tanpa listrik. Hanya menggunakan satu lilin di ruang tengah. Abang pergi ke belakang untuk mengambil wudu dan sembahyang. Aku mengikutinya dari belakang bersama adik kecilku. Kami sembahyang bersama dalam sinar lilin yang redup. Berdoa dengan khusyuk. Mendambakan seribu harapan kepada Sang Maha Kuasa. Menceritakan mimpi kami yang serupa cahaya lilin. Dan bersyukur atas nikmat hidup yang masih diberikan oleh-Nya. Selesai sembahyang kami berkumpul di ruang tengah. Menunggu Abang angkat bicara.
“Maafkan Abang, hari ini Abang gak dapat jatah makan. Tapi, besok Abang janji kita bakalan makan!’ ucapnya dengan suara seolah dibuat ceria. Aku tersenyum getir. Tak makan sampai tiga hari sudah biasa bagiku dan Abang. Tapi buat adik kecilku itu merupakan suatu hal yang berat. Usus kecilnya takkan mampu bertahan. Untungnya, tadi siang aku memungut roti bekas yang masih layak konsumsi di tong sampah. Segera kuambil di tas kresekku dan kuberikan kepadanya.
“Dik, makanlah.”
Mata redupnya seketika berbinar. Ia mengambil roti tersebut dan memakannya dengan lahap.
“Kakak mau?” tanyanya kemudian.
Aku dan Abang menggeleng cepat. “Kami tidak lapar. Habiskan saja,” ucap Abang yang sebenarnya itu bohong. Aku tak kuat ingin menangis. Tangan Abang begitu erat menggenggam perutnya. Berusaha menimbun bunyi lagu keroncong. Begitu pula denganku. Aku melakukan hal sama seperti Abang.
Di luar hujan turun dengan deras. Lagi, tidur kami terganggu oleh suara jatuhnya air dalam ruangan. Bocor di mana-mana. Sudah biasa. Selesai Adik makan, lekas kami berbaring di atas tikar yang dingin. Dengan sarung lusuh peninggalan Bapak. Itu pula hanya satu. Maka kami putuskan biar Adik saja yang menggunakannya. Sedang kami menggigil kedinginan. Tak apa. Sudah biasa.
Kami ingin makanan sehat, biar tak bunyi perut ini. Biar tak sakit perut ini.
Kami ingin kenyang, biar bisa berjalan tegap. Biar tak mengais makanan di tong sampah!
Pihak kebersihan telah mendahului kami. Alhasil, tak ada tong sampah yang menyimpan jatahnya satu pun. Semuanya ludes. Aku hampir saja menyerah, jikalau tong sampah di depan gedung gagah itu tak memanggil.
Rupanya, ada sisa roti di sini! Aku kegirangan. Kucicipi sedikit. Masih lezat. Segera kumasukan ke dalam tas kresek dan berdiri sendiri menatap sang gedung gagah. Mengajaknya mengobrol tentang bagaimana sikap dan sifat para penghuninya. Apakah gedung itu bahagia atau tidak?
Orang-orang itu berjalan tegap memasuki gedung. Pakaian berdasi rapi dan wangi. Para wanitanya memakai perhiasan yang sangat indah serta gaun bermerk mahal.
Aku bergumam, apakah aku mampu merasakan juga? Bahkan dalam mimpi pun tak pernah muncul. Tapi, tidak tahu bila mimpi nanti malam. Tak ada salahnya untuk berharap, kan?
Berilah kami kehidupan yang layak!
Terkadang, kami bosan dengan bau busuk yang menempel dalam tubuh kami.
Kami juga ingin memakai wangi-wangian dan pakaian tanpa tambalan.
Janji manis itu ternyata busuk. Kami adalah korban. Mereka, penguasa. Mengatakan akan memberikan kami kehidupan layak. Nyatanya semua hanya ekspektasi. Telah berapa kali pergantian pemimpin, hidup kami tak ada perubahan. Sempatku tergelak tatkala sedang berjalan di kota, menyusuri setiap tong sampah. Kulihat seorang wanita cantik berjalan anggun memakai celana jeans sobek-sobek beserta baju kurang bahan.Yap, seperti yang sering kami pakai. Katanya itu tren fashion sekarang. Tapi aku mengira bahwa dia adalah gadis dari keturunan kami, bedanya dia memiliki badan harum.
Hari ini aku dan abangku pergi kembali ke kota. Mencari barang rongsokan demi mendapatkan sesuap nasi. Adik tidak ikut hari ini. Katanya, dia tak enak badan. Sampai di kota, kami pergi ke arah berbeda dan berjanji akan bertemu kembali pukul empat sore di sini. Depan gedung gagah yang selalu kukagumi. Aku mengagumi pembuat gedungnya. Dia pasti orang hebat. Aku mengagumi setiap arsitekturnya. Bukan para penghuninya. Sebab penghuninya tak pernah memandang kami.
Bayangkan saja, aku berjalan dengan pakaian lusuh pun, salah satu dari mereka tak ada yang empati. Perut kami bernyanyi, mereka tak peduli. Malah asyik bergurau dengan kawan-kawan. Walaupun terlihat, pandangan jijik dan sinislah yang kami dapatkan. Apakah mereka masih bisa disebut manusia? Ke mana hati mereka? Mereka serupa pohon pisang, punya jantung tapi tak punya hati!
Kami ingin diperhatikan!
Katanya, ini negeri adil. Tapi, keadilan hanya wacana. Tak sampai kepada kami.
Hidup di negeri dengan seribu janji palsu. Bukan negerinya, tapi orang-orangnya. Aku selalu yakin, masih banyak orang yang peduli kepada kami. Tetapi, rezim lebih licik! Dengan seribu wajah palsunya mereka memanfaatkan kebaikan orang-orang demi melampiaskan nafsu pribadi.
Mati saja rezim yang menindas!
Geram. Kami penghuni pinggiran sangat geram! Aku pernah ikut dalam sebuah aksi yang diselenggarakan oleh pihak yang peduli terhadap keadaan kami. Tetapi, sia-sia. Gedung itu terlalu tinggi. Kuping penghuninya sudah tuli.
Kruyuuuk … suara perutku kembali berbunyi. Padahal aku sudah mengganjalnya dengan batu. Ah aku lupa, ternyata gedung ini yang membangkitkannya kembali. Gedung dengan banyak makanan. Semua orang menikmati hidangan di atas meja. Aku hanya mampu menelan ludah sambil melihat berbagai makanan mewah di balik kaca.
Tuan, Nyonya, kami lapar.
Rasa sakit di perut semakin gila. Kugenggam erat perutku. Aku duduk sambil menyandarkan punggungku di kaca gedung ini. Ya Tuhan, aku ingin makan. Apakah nasibku akan seperti gadis penjual korek api? Yang meninggal karena kelaparan. Apakah malaikat akan menjemputku sekarang? Apakah aku akan bertemu orang tuaku? Apakah di sana akan banyak makanan?
Indahnya. Jika begitu, jemput saja aku sekarang. Aku tak peduli jasadku ada yang mengubur atau tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan orangtuaku dan makan bersama di ruangan yang hangat. Bersama abang dan adikku. Tertawa gembira, tidur di atas kasur empuk. Selamanya seperti itu. Ah, tubuhku semakin lemas. Tenggorokanku kering. Pandanganku mulai kabur. Suara bising perlahan menghilang seiring hilangnya cahaya dalam pandanganku. Sampai akhirnya aku mendengar seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku dengan suara khawatir.
“A-abang ….” Aku tak ingat apa pun. Semuanya gelap. Tak ada suara. Tak ada derita. Hanya ketenangan. Bahkan suara angin pun tak terdengar. Apakah aku benar-benar mati? Jika aku mati, bagaimana nasib abang dan adikku. Apakah akan baik-baik saja?
Tuan, jangan panggil kami sampah. Kami bukan sampah!!
Jikalau benar kami sampah, berikan kami kesempatan untuk di daur ulang.
Aku terbangun tiba-tiba. Di mana ini? Ruangan ini begitu asing. Bukannya ini kasur empuk? Kenapa aku ada di sini? Ruangan ini dipenuhi berbagai hiasan dinding unik.
Aku ada di mana?
“Kau sudah sadar,” suara seorang lelaki membuatku tersadar. Lelaki yang sedang membaca buku di kursi yang besar dengan kacamata bulat di wajahnya.
Dia bukan abangku!
Aku mulai waspada. Wajahnya begitu asing dalam pandanganku. Lelaki itu menyimpan bukunya dengan gerakan santai. Lalu berjalan tenang ke arahku.
“Jangan takut. Aku bukan orang jahat. Kau pingsan tadi di sebuah restoran Perancis. Aku khawatir lalu membawamu ke sini. Sepertinya kau lapar. Makanlah sampai perutmu kenyang,” jelasnya dengan senyuman ramah.
Aku menatap hidangan yang kini berada di hadapanku. Aku ingin sekali memakannya .Tapi, seketika bayangan wajah abang dan adikku lewat dalam kepala.
“Tuan, bolehkah aku membungkus semua makanan ini?”
“Kenapa?”
“Abang dan adikku belum makan.”
Lelaki itu mengangguk mengerti.
“Baiklah, kau boleh membungkusnya. Jikalau masih kurang, kau boleh membawanya lagi. Aku akan menyediakannya.”
Aku tersenyum. Begini saja sudah cukup. Lelaki itu lalu memberikanku beberapa kantong kresek. Aku memasukannya dengan gembira. Abang dan adikku pasti bahagia. Kali ini kami akan makan besar. Makanan ini pasti memiliki nutrisi tinggi. Aku sudah tidak sabar ingin pulang.
“Terima kasih Tuan atas kebaikanmu ini. Aku percaya hati Tuan sungguh mulia. Bolehkah aku pulang hari ini? Aku takut Abang khawatir.”
“Baiklah. Oh iya, siapa namamu?”
“Rinjani. Orang kecil yang memiliki banyak impian,” jawabku cepat.
Lelaki itu sedikit terkejut. Namun kembali tersenyum.
“Rinjani. Kamu sepertinya bukan anak biasa. Aku melihat auramu begitu menyala. Apakah ada sesuatu yang kau pikirkan atau ada yang ingin kau sampaikan?”
Seketika aku terdiam. Bukannya ini kesempatanku untuk berkata. Ada lelaki berjiwa malaikat di sini. Mungkin saja dia bisa membantuku. Mungkin saja dia adalah orang baik itu. Yang empati terhadap kehidupan kami. Aku harus berani. Aku harus mengatakannya.
“Benar. Aku ingin mengatakan sesuatu. Sudah lama ini mengganjal atmaku,” tegasku menatap tajam matanya.
“Katakanlah.”
Aku kembali terdiam. Mengatur napas sejenak kemudian berdiri dengan tegap. Semangatku membara. Tanganku terkepal keduanya.
Salam teruntuk Tuan Muda
Yang terhormat, Tuan di Kota Metropolitan.
Sebuah kota surga bagi pemakai jas berdasi.
Betapa nikmat hidupmu tuan
Apa yang kau inginkan, menghampirimu tanpa tersesat.
Tak seperti kami penghuni pinggiran
Tuk memiliki lentera saja, meski susah payah
Makan pun seadanya hasil mengorek dari tong sampah.
Kami tak tahu bagaimana rasa susu, sebab mahal harganya
Uang receh yang kami punya. Cuma bisa mengganjal perut.
Air bersih tak didapat. Air kumuh surga kami.
Terlelap tak nyenyak, bunga tidur menghantui.
Lagu keroncong lagu penghantar tidur
Yang terhormat, Tuan di Kota Metropolitan
Ada baiknya Tuan dengar kata kami.
Sebab Tuan ada di atas singgasana itu berkat kami.
Tanpa kami, Tuan tak ada.
“Baiklah, akan saya sampaikan.”
“Terima kasih,” ucapku senang.
Akhirnya lentera harapanku menyala satu. Lelaki ini, semoga bisa mengantar ucapan kami kepada penguasa itu. Supaya kami diperhatikan. Tapi, aku tak terlalu berharap. Sebab Tuhan adalah tempat mengharap yang paling abadi. Aku percaya kepada kuasa-Nya.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita