Mima Minori
Oleh: Hassanah
Terbaik 3 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
”Mima? Namamu Mima Minori? Sungguh? Kau benar-benar keturunan keluarga Mima?”
”Benar. Kenapa kau seterkejut itu?”
”Bukan begitu, tapi apakah keluarga Mima benar-benar masih hidup? Kakekku bilang, keturunan Mima yang terakhir telah tewas saat perang dunia kedua. Oh, kakek buyutku adalah seorang tentara kala itu. Kebetulan, dia berteman dekat dengan satu-satunya garis keturunan Mima,” ucap gadis di depanku, Yurime.
Dia bilang, keluarga Mima telah punah bersamaan dengan usainya perang kala itu. Aku baru tahu. Dan baru menyadari mengapa Ayah selalu memperkenalkan aku dengan nama depan ”Tanaka”, bukan ”Mima”. Memang, baru kali ini aku jujur kepada seseorang tentang siapa aku sebenarnya. Karena kupikir, dia tidak seperti orang lain yang selama ini kutemui. Dan larangan-larangan Ayah pun mulai jelas alasannya setelah kulihat respon dan tatapan Yurime siang itu.
Seharusnya aku bertanya langsung kepada Ayah saja, saat dia melarangku dahulu, tapi entah mengapa aku tidak pernah melakukannya setelah kejadian di Desa Lino, sepuluh tahun lalu. Kejadian yang membuat kami terpaksa pindah ke desa lain dan Ayah tidak bicara kepadaku selama tiga hari.
Sial. Malam ini kantukku dibawa kabur lagi oleh pikiran-pikiran buruk yang terus mengoceh di dalam kepala. Pikiran-pikiran yang merayuku untuk menghilang dari peradaban. Pikiran-pikiran untuk menghapus ingatan Yurime tentang diriku, walau aku tidak bisa melakukannya. Dan pikiran-pikiran aneh lainnya.
Aku berganti posisi, yang semula menatap tembok, kini menatap jendela kamar yang sejajar dan seukuran pintu. Menatap lampu-lampu dari bangunan berlantai dua puluh di seberang apartemen lotengku, di balik dua tanaman dalam pot yang kubeli dua minggu lalu. Tanaman hijau yang hampir mati dan dijual murah. Tentu, pemiliknya tidak menyadari kalau tanaman itu sekarat. Aku membelinya pun karena tak tahan mendengar rintihan mereka.
Ayah sudah mewanti-wantiku untuk tidak ikut campur, tapi aku melanggarnya untuk yang entah ke berapa kali. Rintihan dua tanaman itu terus membututiku hingga ke dalam mimpi. Sampai-sampai, tiap kali aku pergi dan pulang bekerja, rasanya malas sekali setiap melewati gang tersebut. Namun, aku tidak memiliki jalan terdekat lain untuk pulang.
”Apa aku pindah saja?” tanyaku setelah terdengar derap langkah di loteng berhenti dan aroma bunga sakura menguar.
Tidak ada jawaban yang kudengar selain suara lompatan dan derap langkah kecil di teras dekat jemuran. Kuyakin itu Yuki, yang selalu datang tiap kali Daiki muncul.
Aku berbalik menatap tembok. Mencoba memejamkan mata sambil menghitung seratus tangkai daun sakura dalam hati. Membayangkan kenangan menangkap ikan di musim panas bersama Ayah. Juga kenangan memanen buah kesemek di awal musim dingin. Dan untuk ke sekian kalinya, ingatan saat memanggang kentang manis di halaman bersama Ayah kembali kuputar. Namun, semua gagal. Kantukku benar-benar lenyap tak bersisa, padahal besok aku harus berangkat kerja lebih awal, karena stok barang pasti sudah masuk malam ini ke gudang supermarket.
”Aku lelah,” bisikku. Tanpa terasa, air mataku meleleh. Dan lekas, kuseka alirannya agar tidak semakin deras. Aku tidak ingin Daiki memberondongku dengan nasihat-nasihat kunonya, walau kutahu aku tidak bisa membohonginya.
Setelah menatap langit-langit kamar sejenak, kuputuskan untuk bangkit dan membuat susu hangat. Dulu, Ayah selalu membuatkannya untukku saat terbangun dari mimpi buruk.
Udara malam yang dingin dan hangatnya susu kuharap mampu memanggil pulang rasa kantukku. Akhirnya, kuputuskan untuk meminum susu di teras kamar yang hanya berukuran 2 x 1 meter. Yuki pun melompat ke atas pagar pembatas dan duduk dengan mudah di sana.
”Kalau Ayah masih ada, bukankah aku akan kena marah?” Daiki masih tidak menjawab.
”Apakah aku kembali lagi saja ke desa? Tapi, desa yang mana? Apa aku pindah ke desa yang belum pernah kita tinggali saja?” Yuki mengeong. Kucing kecil itu menyerahkan keputusannya kepadaku.
Aku menyandarkan tubuhku pada pagar pembatas teras. Rasanya sangat lelah. Memiliki sebagian kemampuan leluhurku dalam memahami bahasa hewan dan tumbuhan membuat hari-hariku kadang kala seperti tak ada waktu istirahat. Mau tidak mau, aku harus mendengar obrolan-obrolan yang tidak semestinya.
Seperti minggu lalu, aku mendengar ada seorang pembunuh yang tinggal di apartemen gedung sebelah. Seekor burung merpati yang mengatakannya. Lalu bulan lalu, semut-semut di rumahku membawa informasi bahwa tetangga di lantai satu sudah meninggal seorang diri selama dua hari. Tanaman mawar di lantai bawahku juga bercerita bahwa istri tuannya berselingkuh dengan petugas keamanan apartemen. Belum lagi anjing jalanan dekat supermarket tempatku bekerja, dia mengatakan bahwa Yurime menjadi takut denganku karena cerita kakek buyutnya dulu.
”Apa aku lompat saja ke bawah?” Kulihat jalanan di sepanjang gang yang sangat sepi.
”Percuma, Daiki akan menyelamatkanmu dan memberimu hukuman.” Yuki menjawabku dengan santai. Kucing abu-abu gelap itu menggoyangkan ekornya dan kepalanya masih bertopang pada kaki depannya yang dilipat.
”Hei, Gendut! Kenapa kau diam saja?!” Kudengar Daiki mengerang kuat. Yuki terperanjat sampai bulu-bulu ekornya tegak saking terkejutnya. Dan kupastikan, Daiki sedang melotot ke arahku dengan bola matanya yang merah. Kucing gendut seukuran mobil mini itu selalu datang tiap kali aku kesulitan tidur. Kucing gaib yang mendampingi seluruh keturunan Mima. Kata Ayah, usianya sudah sangat tua, tapi tingkahnya seperti anak kucing yang manja dan gampang marah.
”Daiki, mengapa Yurime takut kepadaku? Apa yang sebenarnya terjadi pada kakek buyutku dulu?”
Daiki mengeluarkan suara seperti dengkuran halus sebelum menjawab. Setelah beberapa jenak, dia pun memberikan jawaban yang membuatku terdiam mendadak. Aku tak bisa memikirkan apa-apa.
”Dahulu, keluarga Mima hidup berdampingan dengan keluarga lain dan damai. Orang-orang berpikir bahwa keturunan Mima sangat berpengaruh karena dapat mengetahui apa yang alam butuhkan sehingga keseimbangan tetap terjaga. Sampai ketika peperangan mulai terjadi di sana-sini. Keturunan Mima mulai berpencar hingga ke kota-kota bahkan luar negara. Dan sebagian mereka menjadi bala tentara. Kemampuan keturunan Mima yang sesungguhnya tidak terbatas pada penguasaan bahasa hewan dan tumbuhan, melainkan mampu menghapus atau menukar ingatan manusia biasa membuat para petinggi sangat menyukai tentara berketurunan Mima. Termasuk petinggi para musuh.”
Tubuhku semakin lemas setelah mendengar penjelasan Daiki. Menurutnya, aku harus tahu hal yang selama ini disembunyikan Ayah karena akulah satu-satunya keturunan yang tersisa di negeri ini. Ada pun beberapa keturunan yang tersisa di negara lain, tidak memiliki kemampuan sepertiku yang sebenarnya bukanlah kemampuan yang sempurna. Karena sebagian darah yang mengalir dalam tubuhku berasal dari manusia biasa.
”Kalau begitu, aku tidak lagi bisa bekerja di supermarket.”
”Kenapa? Apa karena manusia berkacamata itu?” tanya Yuki yang masih setia di tempatnya.
Sebenarnya tebakan Yuki benar. Bagaimana jika Yurime menceritakan aku dan leluhurku kepada orang lain? Bagaimana jika dia menjebakku seperti yang terjadi pada Ayah? Dan kurasa, hidup di desa seperti sebelum-sebelumnya memang lebih baik daripada di kota seperti saat ini. Terlebih, di desa tidak ada banyak orang. Kebanyakan yang tersisa hanyalah para lansia dan pekerja imigran yang tak tahu menahu tentang leluhurku. Tapi, bagaimana jika setelah kepergianku, Yurime tetap menggosipkan aku dan leluhurku?
”Naiklah. Kita berkeliling malam ini.” Daiki menurunkan ekornya yang menjadi lebih panjang dan mudah dipanjat.
Yuki yang kegirangan sudah lebih dulu naik serta mengambil posisi, tepat di atas leher Daiki yang empuk. Sementara aku yang baru saja meletakkan gelas susu, ikut naik ke punggung Daiki. Dengan posisi seperti menunggang kuda, aku menoleh sejenak ke bagian belakangku yang sudah lama kosong itu. Lalu Daiki bergoyang-goyang dan mulai melompat dari atap yang satu ke atap yang lain. Sesekali, dia berjalan pelan di atap yang penghuninya masih terjaga. Kami berkeliling kota tanpa perlu membayar tiket. Dan aku menyukainya.
”Kau tidak perlu khawatir, Minori. Setelah kita pindah, Yurime akan melupakanmu dengan cepat. Karena begitulah manusia.”
Setelah mendengar ucapan Daiki barusan, ditambah semilir angin malam yang sejuk, rasa kantukku perlahan-lahan datang. Pikiran-pikiran buruk yang berisik pula mulai berterbangan. Dan aku pun memeluk punggung Daiki yang lembut dan empuk. Sambil menahan mataku yang terasa berat, kupeluk punggung Daiki lebih erat dan kubisikkan sesuatu padanya, ”Kau benar. Ayah juga pernah berkata begitu.”(*)
Pekanbaru, 26 Oktober 2024
Hassanah, gadis Jawa kelahiran luka Aceh yang besar di Riau. Pemimpi yang akan terus berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.
Komentar Juri, Lutfi:
Dari awal voting cerpen ini sudah mendapat poin dari tiga orang juri. Kami sepakat jika dari judulnya saja terasa sudah bernyawa. Narasinya yang mengalir, dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami, menjadi poin utama untuk cerpen ini dibanding naskah yang lain. Secara tata bahasa, sih, tidak banyak yang perlu dikoreksi.
Ide cerita tentang seorang gadis yang menjadi keturunan Mima, yang memiliki kemampuan memahami bahasa tumbuhan, binatang, dan beberapa kelebihan lain, menciptakan atmosfer fantasi terasa kental.
Dari berbagai pertimbangan itu, cerpen ini memang layak di posisi tiga besar.