Miliki Aku
Oleh: Dyah Diputri
Ada yang tidak biasa dengannya siang ini. Gadis yang panjang rambutnya sudah sepinggang itu tampak lesu tak bergairah. Ia berjalan acuh melewati beberapa temannya dan meletakkan asal ransel yang tadi hanya ditenteng dengan sebelah tangan, tanpa senyum dan sapa. Mata hitam yang biasanya berbinar pun kelihatan sayu.
“Ada PR apa, Na?” sapaku pada gadis bernama Naura itu.
Mulutnya terkunci rapat. Hanya tangan yang cekatan mengambil beberapa buku pelajaran dari dalam tas dan menyodorkan padaku untuk kulihat.
“Oh, kemaren sudah Bunda ajarkan, kan? Naura pasti bisa. Nanti kalau ada yang susah, Bunda betulkan, ya?”
Dia tak menghiraukan perkataanku. Matanya memandang entah. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Sebentar kemudian dia meraih kotak pensil, mengerjakan PR dengan baik, dan memintaku meneliti.
Menarik. Naura selalu cerdas menangkap pelajaran yang kuberikan di bimbingan belajar sehingga dengan cepat pula ia mengerjakan tugas dari sekolahnya tanpa cacat. Seulas senyum dan dua jempol kujadikan apresiasi untuknya. Namun, lagi-lagi ia tak bergeming. Ada beban berat yang seolah-olah ditanggungnya sendiri dalam dada. Gadis berusia tujuh tahun itu melamun. Tak menghiraukan canda tawa dari teman-teman les di dekatnya.
Saat les berakhir, anak-anak berhamburan keluar ruangan. Sedang Naura, dia berjalan pelan mendekat padaku.
“Bunda … bercerai itu apa?” lirih, dia bertanya.
Yang terlintas dalam otakku tentu saja mengarah pada semboyan ‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’, maka aku menjawab pertanyaannya, “Bercerai-berai, Na. Berpisah. Jadinya, Indonesia akan hancur kalau bercerai-berai.”
“Bukan itu, Bunda. Tadi malam Papa sama Mama bertengkar, teriak-teriak. Katanya mau bercerai.”
Dadaku terasa panas mendengarnya. Rupanya ini yang membuatnya melamun selama dua jam tadi. Atau mungkin, sejak semalam banyak pengaruh buruk yang mulai mendominasi pikirannya akibat pertengkaran orangtuanya.
Aku meraihnya dalam pangkuanku. Mengelus puncak kepalanya dan berbisik perlahan, “Jangan berpikir macam-macam, Na. Semua akan baik-baik saja.”
Naura bangkit. Menggelengkan kepala lalu terisak. Awalnya hanya sesenggukan kecil, lalu bertambahnya menjadi derai tangis yang menyayat hati. Puncak emosinya meletup dalam sekali waktu seolah selama ini suara hatinya tak pernah didengar oleh siapa pun.
“Papa bilang … mau pisah sama Mama. Papa bilang … Na harus pilih mau ikut Mama apa Papa. Ka—kalau Na ikut Mama … nanti Na dimarah-marahin. Na takut, Bundaaa …!”
Aku semakin terhenyak. Semakin banyak ia bicara, semakin bingung aku dibuatnya. Aku tak tahu harus bicara apa. Satu kalimat yang terus muncul dari mulutku hanyalah permintaan kesabarannya.
Setengah jam berlalu, akhirnya reda tangisan Naura. Dia melepas pelukanku sebelum akhirnya pergi. Di depan pintu dia melambai dan membingkai senyum lebarnya. “Bunda, kalau boleh … Na ingin ikut Bunda saja. Tapi, Bunda pasti nggak mau.”
Aku berjalan merengkuh tubuh Naura. “Sssstt!” ucapku sembari mengatupkan telunjuknya di bibirnya, “bukan tak mau, Na. Na itu milik papa dan mamanya Na. Bukan milik Bunda. Mana boleh Na ikut Bunda seterusnya.”
“Ya, sudah. Na pergi.”
Gadis kecil itu melangkah. Jauh, meninggalkan segores luka membekas di hatiku.
‘Seandainya boleh, Bunda ingin Na jadi anak Bunda.’
Waktu terus berlalu. Sejak sore itu, Naura tak pernah menampakkan wajahnya lagi di hadapanku. Aku mencari tahu tentangnya lewat teman les yang sekelas di sekolahnya, tetapi nihil. Tak ada kabar apa pun darinya.
Hingga suatu ketika kuberanikan diri mengetuk pintu rumahnya. Aku menunggu agak lama, tetapi tak seorang pun membukakan pintu.
Rumput di sekitar rumah Naura meninggi. Seakan-akan rumah ini tak berpenghuni. Sudah dua minggu lamanya gadis kecil itu tidak mengikuti les, dalam hatiku bertanya mungkinkah ia sudah tidak tinggal di sini.
Aku menghela napas, kecewa. Sampai ketika langkah kakiku akan berbalik arah, aku mendengar suara Naura.
“Bunda!” pekiknya.
Naura berdiri di samping pintu yang dibuka oleh seorang wanita tua berpenampilan lusuh. Setelah aku menarik garis bibirku ke atas, dia berlari menghambur ke pelukanku.
“Orangtua Na bertengkar hebat malam itu. Puncaknya, Gio menancapkan pisau itu di dada Asmi. Dia … Asmi meninggal.”
Hatiku menciut mendengar wanita tua yang disebut “Nenek” oleh Naura mengakhiri kisahnya.
Kupandang Naura yang mulai sibuk bermain dengan boneka barbie-nya. Muncul lagi perasaan ingin memilikinya—sama seperti keinginannya tempo hari, tetapi kata-kata seolah maju-mundur untuk terkatup di bibir.
“Maaf, Bu. Selama saya masih hidup, biar saya yang merawatnya,” ucap ibu tua itu atas permintaanku yang pada akhirnya terucap dengan sendirinya.
“Kasihan Naura, Bu. Maaf, bukannya meremehkan, tapi dia butuh sosok lengkap orangtuanya.”
“Saya bilang tidak … ya, tidak! Lebih baik Ibu pergi dari sini!”
Nenek itu membawa masuk Naura ke dalam rumah. Sejurus kemudian gadis kecil itu berteriak-teriak memanggil namaku. Ia menangis, meraung. Namun, pintu rumahnya tak kunjung terbuka.
Air mataku menitik setetes demi setetes. Merasa ketidakadilan sedang menaungi langkahku dan Naura. Dia butuh aku, aku pun membutuhkannya. Kenapa, keegoisan harus merampas kebahagiaannya?
Aku mengetuk lagi pintu rumahnya. Kali ini lebih keras, seiring jerit yang tertahan di hati. “Bukalah, Bu. Saya mohon, izinkan Naura bersama saya!”
Nenek Naura benar-benar acuh. Tak peduli walau aku berdiri cukup lama menanti di ambang pintu.
Mau bagaimana lagi, aku hanya wanita mandul yang selamanya tidak memiliki hak atas gadis kecil itu. Aku menyerah untuk memilikinya, walau kutahu besar harapannya untuk selalu memanggilku ‘Bunda’.
Malang, 28 Desember 2018.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Akun FB: Dyah Maya Diputri.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata