Mili, Masalah, dan Tuhannya

Mili, Masalah, dan Tuhannya

Mili, Masalah, dan Tuhannya

Oleh : Nining Kurniati

Ada berapa banyak teman atau keluarga yang kau punya? Ada berapa orang dari mereka yang paling tidak berdiri di sisimu, siap memegang tanganmu dan berkata. ayo kita cari jalan keluarnya, bila kau melakukan kesalahan?

Berbaring di kamar yang sempit, Mili mengingat-ingat perkataannya sendiri, yang dia ucapkan beberapa tahun silam, saat dia bersemangat menyambut pergantian hari. Dia lalu menghela napas berkali-kali, seolah-olah ada batu yang mengganjal dadanya. Ketika dia menoleh ke jendela, ternyata gelap sudah hampir menyelimuti bumi. Kembali dia mengedarkan pandangannya ke dalam kamar, ke sakelar putih di dinding dekat pintu. Mili bangkit. Dia memencet sakelar tersebut tetapi kamar itu masihlah tetap seperti semula. Dia terdiam sebentar lalu akhirnya berjalan mendekat ke jendela. Sebelum menarik daun jendela itu dengan penuh tenaga, dia mengedarkan pandangan sebentar. Bangunan tampak abu-abu seabu-abu hatinya, yang sebentar lagi akan menghitam—atau justru berubah cerah bila Tuhan sudah berkehendak meskipun dia merasa kemungkinan ini sangat kecil terjadi, entah kenapa.

Kamarnya benar-benar gelap sekarang. Dia pun meraba-raba sekitarnya, mengambil ponselnya untuk pencahayaan. Mungkin sekarang waktunya menunaikan salat Magrib. Dia hanya bisa menduga-duga. Dan keragu-raguan itu membuatnya duduk kembali di ranjang sambil memegang ponsel. Dia mengetik waktu salat Magrib diikuti nama kota tempatnya tinggal. Sedetik kemudian muncul jawaban dan dia segera menyimpan ponselnya di atas lemari agar cahaya yang dihasilkan meluas sampai ke kamar mandi.

Kini, wajahnya sudah penuh bekas aliran air. Ia pun sudah mengenakan mukena. Tapi bukannya salat, perempuan itu malah menangis tersedu-sedu sambil duduk di atas sajadah. Dia merasa sendiri. Dia merasa kosong. Padahal bila berdiri dan sujud, sungguh dia sudah dekat dengan Tuhan-nya.

Lama dia dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya bisa menenangkan diri dan bangkit melaksanakan salat. Di akhir sujudnya, tangisnya kembali pecah. Dia mengeluhkan takdir yang dia jalani. Namun di sela-sela tangisnya itu, dia teringat pada ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Allah sungguh tidak pernah menzalimi hambanya. Hamba sendirilah yang berlaku zalim terhadap dirinya. Dia teringat pada kalimat yang menyebutkan bahwa Allah sungguh Maha Pengampun. Dia teringat pada kalimat yang sepertinya sebuah hadis, bahwa rahmat Allah mendahului murkanya. Dan di akhir doa itu dia bertanya, apa aku benar-benar sudah melakukan kesalahan, Ya Allah? Hatiku ini kenapa? Aku ini kenapa? Apa?

Setelah salat farhunya itu, Mili kembali bangkit untuk salat rawatib. Tangisnya sudah berhenti, hanya hidungnya yang sesekali menarik-masuk ingus. Begitu selesai salam, di dalam hatinya dia berharap agar lampu segera menyala. Namun nyatanya tidak. Harapan tinggal harapan, manusia bisa apa bila Allah belum berkehendak?

“Tapi apa hubungannya lampu dengan masalah itu? Benar-benar bodoh.” Dia menghakimi dirinya sendiri sambil merapikan mukena ke gantungan.

Dalam cahaya yang redup itu, dia mengambil buku kecil di bawah Al-Qur’an—yang terletak di meja samping ranjangnya—yang bertuliskan zikir pagi-petang, kemudian membacanya, salah satu kebiasaan yang dia lakukan akhir-akhir ini, mengingat dia takut sekali tinggalkan. Dengan membaca ayat Al-Qur’an dan doa-doa itu, dia merasa seolah-olah memiliki kekuatan untuk bertahan. Dia merasa yakin, Allah tidak akan menyia-nyiakan hidupnya, penciptaan dirinya. Allah menghendaki sesuatu bukan tanpa maksud. Tugasnya adalah bersabar dan terus mencari solusi. Ada masalah, ada penyelesaian. Ada penyakit, ada obat. Ada kesulitan, ada kemudahan.

Setelah selesai membaca zikir petang, dalam jadwalnya dia harusnya melanjutkan bacaan surah Al-Baqarah. Namun, dia merasa tidak punya tenaga. Dia lelah. Kepalanya terasa dipenuhi tali-tali kusut yang sulit untuk diuraikan. Andai bisa, dia ingin menghilang dari dunia ini. Tapi bagaimana caranya? Bunuh diri, haram. Dengan melakukannya, sama saja dia telah terputus dari rahmat Allah. Sedang di sisi lain dia benar-benar berada di jalan yang buntu. Tak ada belokan. Di hadapannya hanya ada hutan yang gelap dan dia tidak mau ke sana. Dia ingin berada di tempat yang cerah. Di mana itu?

Sambil mendengar murrotal, perlahan-lahan Mili jatuh tertidur.

***

Mulutnya tak henti-henti beristigfar saat terbangun akibat kumandang azan Isya. Lampu sudah menyala. Kini kamarnya menjadi terang. Ah, andai masalahnya bisa selesai semudah ini. Mili tersenyum kecut. Seketika itu pula, tangisnya pecah. Dalam duduknya, dia mengeluh, menyatakan ketidaksanggupannya, kelemahannya, dan untuk kesekian kalinya dia berucap, “Hidup tidak ada artinya, Ya Allah. Aku … aku ingin mati.” ucapnya terbata-bata. (*)

15 Agustus 2021

Nining Kurniati, seorang perempuan yang hanya ingin menjadi baik.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply