Mi Goreng

Mi Goreng

Mi Goreng

Oleh: Yuhesti Mora

Pada sore hari yang hangat di bulan April, dari luar kamar aku mendengar langkah kaki menaiki tangga. Itu pastilah adik, pikirku.

Tetapi tidak hanya dia, aku juga melihatmu memasuki kamarku.

“Kenapa kau ke sini?” godaku.

“Disuruh Bunda,” balasmu sambil terus merengut.

Dan melihatmu seperti itu aku jadi semakin ingin menggodamu.

“Hei, tahu tidak. Aku sedang menulis sebuah cerita lagi tentangmu.”

Kau menghela napas panjang dan setelahnya berkata, “Mengapa aku, tulis saja tentang dia,” sambil menunjuk adik yang saat itu sedang sibuk memegangi ponsel.

“Kau sudah tahu jawabannya kan.”

Kau menggaruk-garuk kepalamu, kebiasaanmu jika sedang tidak punya jawaban apa pun.

“Kau baru potong rambut ya?” tanyaku.

“Ganteng kan?” jawabmu. Senyummu tiba-tiba merekah, aku lantas membayangkan mawar di bibirmu. Entah kenapa. Tetapi pikiranku memang sedang rada miring saat itu. Hal-hal demikian terkadang kuanggap wajar jika sedang kumat.

“Tidak juga sih.”

Jawaban dingin yang memang disengaja.

Mendengarku menjawab demikian kau kembali merengut. Bunga mawar yang kubayangkan di bibirmu tadi tiba-tiba lenyap entah ke mana.

“Jadi, judulnya adalah Mi Goreng.”

“Kenapa Mi Goreng?” tanyamu.

“Jika memikirkanmu aku pasti ingat makanan,” jawabku sekenanya.

Kau lantas membenamkan kepalamu di bantal lumba-lumba berwarna biru kepunyaanku.

“Kau tahu, aku membunuh diriku sendiri di cerita itu.”

“Tunggu! Apa hubungannya mi goreng dengan bunuh diri?”

Tiba-tiba kau tampak bersemangat mendengarkan.

Jadi aku jelaskan padamu bahwa cerita itu akan dibuka dengan sebuah surat yang sedang kutulis yang kira-kira isinya menceritakan tentang apa yang akan aku sampaikan kepada orang-orang di sekelilingku tepat sebelum mati. Namun sialnya seisi kepalaku ternyata hanya dipenuhi dengan perihal kebosanan hidup dan hal-hal yang hambar. Menepis semua itu, aku berusaha memikirkan beberapa kata—sekali lagi—jika ini adalah untuk yang terakhir kalinya.

Namun lagi-lagi yang kupikirkan justru adalah bagaimana jika aku mati nanti. Kuhentikan menulis dan terus membayangkan kalian satu demi satu.

Barangkali Adik pagi-pagi sekali akan bangun dan mendapati sisi yang biasanya ia tempati dalam keadaan kosong. Ia barangkali akan berpikir tidak biasanya aku bangun lebih dahulu sebab aku memang selalu tidur lebih telat. Ketika ia membuka pintu  kamar dan hendak melangkah menuju dapur, di ruang tamu ia akan menemukanku telah menggantung diriku sendiri dengan menggunakan tali tambang yang ia tidak tahu aku dapatkan dari mana. Saat itu, ia barangkali ingin berteriak tetapi lidahnya terlalu kelu dan kedua lututnya begitu lemas dan ia terjatuh, lalu kepalanya tiba-tiba pusing dan semuanya menjadi gelap. Wajar saja, itu pertama kalinya ia mengalami kejadian yang seperti itu.

Ayah dan ibu pun mestilah punya reaksi yang serupa dengan adik. Terkejut sampai tidak tahu hendak mengucapkan apa. Orang-orang di sekitar rumah akan melakukan hal yang memang selalu dilakukan ketika ada seseorang yang meninggal—memandikan jenazah, mengafaninya, menyolatinya hingga menguburkannya. Dan selain isak tangis, di sela-sela proses itu pastilah juga terselip beberapa gunjingan di sana-sini tentang kematian yang kupilih sendiri itu.

Lalu, teman-temanku …. Ah, yang ini jangan ditanya. Kau tahu aku tak punya banyak teman.

Dan kau—di rumahmu yang tidak jauh dari rumahku—saat itu baru saja hendak berangkat ke sekolah. Ponsel bundamu bergetar. Seorang kerabat—yang adalah ayah atau ibuku atau mungkin juga tante yang tinggal di sebelah rumahku—menelepon dan hendak mengabarkan bundamu bahwa aku … meninggal dunia pagi itu.

Agar tidak salah dengar, kau yang mengangkat telepon saat itu, menanyakan hingga tiga kali. Karena mendapatkan jawaban yang sama seketika kau merasa begitu lunglai. Ponsel yang kau genggam tadi sudah jatuh entah ke mana.

Kau bertahan cukup lama dalam posisi bersandar di daun pintu kamar. Berkali-kali kau mencoba memanggil bundamu, tetapi sekeras apa pun mencoba kau tetap tidak dapat mendengar suara apa pun yang keluar dari tenggorokanmu. Sampai bundamu sendiri yang menghampirimu dan menanyakan mengapa kau mendadak pucat dan lemas seolah habis melihat hantu, tetapi tak juga bisa kau mengatakan barang sepatah dua kata.

Ponsel lalu berdering kembali. Bundamu meraihnya, ia jatuh tidak jauh dari kedua kakimu. Saat itu raut wajah Bunda berubah menjadi sangat serius sementara kau tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain bertanya-tanya sendiri tentang mengapa aku melakukan itu.

“Awas saja jika bertemu nanti, akan kuomeli kau, Kkak…,“ barangkali inilah yang akan terbersit dalam pikiranmu kala itu.

Namun tepat setelah memikirkan itu kau merasa begitu pilu. Pilu yang tidak akan dapat kau jelaskan dengan kata-kata sebanyak apa pun.

Di proses pemakamanku, kau lalu teringat peristiwa sehari sebelumnya. Saat itu aku mengajakmu pergi berjalan-jalan ke sebuah taman olahraga. Kau sebenarnya merasa malas pergi denganku hari itu. Ya, aku tahu itu. Kau merengut padaku akan sesuatu hal. Tetapi aku bersikukuh mengajakmu dan kau tidak dapat menolaknya. Ya, kau memang selalu seperti itu.

Sesampainya di taman olahraga kau menghindari kontak mata denganku dan aku pun sebenarnya tidak sedang ingin berdebat soal apa pun denganmu hari itu. Sejujurnya aku memang hanya ingin keluar entah ke mana saja—kebetulan yang terpikirkan ketika kau bertanya hendak ke mana adalah taman olahraga itu. Dan pergi sendirian akan teramat menyedihkan rasanya.

Sebenarnya semua tempat kecuali rumahku akan sama saja. Tetapi di sana kukatakan padamu, “Ya, aku ingin melihat orang-orang yang sedang bermain sepak bola itu.” Dan barangkali kau jadi merasa lega karena jawabanku itu.

Baru beberapa menit kita duduk di pinggir lapangan sepak bola itu, hujan turun. Untung saja tempat duduk itu beratap, jika tidak kita pasti sudah basah kuyup. Tetapi kau bilang akan sangat menyenangkan jika bisa bermain sepak bola di bawah guyuran hujan seperti para atlet itu. Saat itu aku mengejekmu, apakah kau benar-benar bisa bermain sepak bola. Lalu kau bercerita tentang bagaimana pengalamanmu bermain sepak bola sebelumnya dan seterusnya sampai-sampai aku ingin mengejekmu lagi untuk yang kedua kalinya, tentang betapa cerewetnya kau dan memamerkan betapa pendiamnya aku di hari itu. Dan kau tampaknya memang lebih menyukai suasana yang seperti itu. Ya, aku paham sekarang. Maafkanlah.

Lalu setelah hujan reda, kita pulang dan aku menahanmu sejenak di rumah. Kukatakan padamu bahwa aku hendak membuatkanmu mi goreng. Kau tampak enggan menerimanya, tetapi aku sedikit memaksa dan lagi-lagi kau tidak dapat menolaknya. Sambil menungguku merebus mi dan menyiapkan bumbu, kulihat kau bersantai di ayunan di belakang rumah—tampak dari dapur tempatku memasak. Kau sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang entah apa.

Lalu kau menanyakan kepadaku berulang kali tentang apakah mi gorengnya sudah siap atau belum. Berkali-kali juga kujawab belum dan kau mengutuk sendirian—masih di ayunan itu.

Barangkali karena sudah tidak sabar lagi menunggu, kau akhirnya berdiri di sampingku dan sudah menyodorkan piring. Kubilang belum dan kau tampak kecewa. Kau kembali murung di sudut dapur dan tak lama kubilang bahwa mi gorengnya sudah siap. Kau cepat-cepat memberiku piring kosong yang kau pegangi sedari tadi. Kuletakkan mi dalam porsi yang cukup banyak ke dalam piringmu itu dan sambil menyerahkannya padamu, aku mengucapkan kata maaf—yang kau pun paham alasannya.

Lalu kulihat kau menghabiskan mi itu tanpa menghiraukan adik yang baru saja tiba. Setelah memuji mi gorengku itu kau pamit pulang—entah dengan perasaan yang seperti apa. Dan kau pastilah tidak tahu akan hal ini—aku juga yakin sekali bahwa pernah terlintas di pikiranmu saja tidak pernah—bahwa setelah itu aku kembali ke dalam penjaraku sendiri, merenungi betapa membosankannya hidupku ini dan bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa aku masih hidup di hari itu. Bahwa aku … ingin mengakhiri saja semuanya.

Kau akan mengingat mi goreng itu dengan perasaan yang getir. Tidak kau sangka-sangka itu adalah makanan pertama dan terakhir yang aku masakkan untukmu, dan pada akhirnya menjadi satu-satunya hal yang paling kau ingat tentang aku.

Sambil mendengar ceritaku itu kau melihat langit-langit entah sambil memikirkan apa. Dan setelah aku mengucapkan kalimat terakhir pun kau tidak mengubah posisimu dan tidak juga tampak seperti akan memberikan reaksi. Oleh karena itu aku melanjutkannya dengan bertanya padamu, “Kau tahu kehilangan apa yang paling menyedihkan di dunia ini?”

Kau tidak menjawab pertanyaanku—yang memang tidak perlu dijawab sebenarnya.

“Ketika kehilangan itu tidak didahului dengan tanda-tanda,” lanjutku.

Kau mengubah posisi berbaringmu dan menatapku—yang saat itu sedang bersila—lamat-lamat.

“Ya, aku ingin memunculkan perasaan yang semacam itu.”

Kau diam saja sambil terus menatapku.

“Oh iya, tampaknya ini akan jadi cerita terakhir yang kubuat dengan meminjam karaktermu. Maaf telah membuatmu repot ya. Tetapi aku senang sekali bisa melakukannya. Bagaimana menurutmu cerita-ceritaku yang sebelumnya? Bagus tidak?”

“Jelek! Aku tidak peduli. Aku tidak membacanya.”

“Terus tahu darimana jeleknya?”

“Pokoknya jelek!”

Kau menjawabnya dengan terburu-buru sekali dengan wajah yang masam—yang tampak manis pula. Saking manisnya hingga ingin kugoda puluhan kali lagi tetapi kutahan untuk saat itu. Karena sepertinya kau benar-benar marah.

Tenang saja. Besok kubuatkan mi goreng lagi ya ….(*)

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita