Merpati tak Pernah Ingkar Janji
Oleh: Arya Kusuma Mayangkara
Pada ilalang yang pasrah dipermainkan oleh angin, kau seperti menemukan teman senasib sepenanggungan. Kau berbagi cerita dengannya, membiarkan anak rambut yang menjuntai di keningmu dipermainkan oleh angin yang sama. Matamu yang kini tak lagi bercahaya, merekam peristiwa demi peristiwa sejak pertama janji itu kau dengar di kedua telinga.
“Kekasihku telah ingkar janji,” keluhmu pada ilalang, sambil mengukir tanah dengan sebatang ranting kering. Kau menorehkan sebuah nama yang selalu kau sebut dalam doa.
Ilalang tak menjawab, hanya desau angin yang semakin kencang. Angin itu mengguncangkan pokok-pokok daun hijau, seolah mengejekmu yang sedang meratapi kebohongan klasik yang keluar dari bibir seorang pria.
Terik matahari membuat kulitmu semakin kecoklatan, kontras dengan sebaris gigi putih yang rajin kau sikat dengan bubuk arang. Senyummu yang dulu sering terkembang, kini sudah lama menghilang. Jejak air mata yang kau tumpahkan tadi pagi, meninggalkan lelehan celak mata yang telah mengering di pipi. Tangis terakhir yang kau berikan untuknya, sebagai pengganti amarahmu yang tak sanggup bersuara.
“Pulanglah,” lirihmu sambil mengelus lembut gundukan perut yang kini tak cuma berisi sisa makanan yang kau santap semalam.
Dua ekor burung merpati hinggap di sampingmu, mematuki beras jagung yang kau tebarkan dengan rasa sayang. Konon, merpati tak pernah ingkar janji. Tak seperti kekasihmu yang menghilang berbulan-bulan lamanya, meninggalkan luka dan cinderamata yang membuat namamu menjadi tercela karena melanggar norma.
Bulan berwarna stroberi yang menemanimu merajut semalam, mengingatkanmu pada kenangan sekian purnama silam. Ketika itu kekasihmu membisikkan sebuah janji di hadapan cahaya lentera yang tergolek di atas meja. Sebelum cahaya itu sirna tertiup angin, bersama terpetiknya sebuah bunga. Bunga yang sekian lama kau jaga hingga mekar sempurna.
Lalu, ketika dua purnama tak lagi mengunjungimu seperti biasa. Berganti rasa pening dan mual yang mengganggumu sepanjang hari. Kau mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda. Kekasihmulah yang jadi penyebabnya.
Air mata yang kau tumpahkan karena ingatan tentang kebodohan yang telah kau lakukan, kini sia-sia belaka. Tak ada yang bisa menolongmu selain dirimu sendiri. Pada hamparan permadani kecil yang menopang tubuhmu saat bersujud, kau bisikkan sejuta kata permohonan ampun ke bumi. Kau berharap rintihanmu sanggup mengguncang Arsy, sehingga pemilik langit sudi mendengar dan menurunkan kasih-Nya.
“Jika bertemu denganmu adalah sebuah ketidakmungkinan yang bisa kuharapkan, maka melupakanmu kini adalah sebuah keharusan.”
Kau merobek satu-satunya foto hitam putih dirinya yang masih kau simpan. Hidupmu tak bisa lagi bersandar pada sebuah kenangan. Boneka kecil bernyawa yang sebentar lagi kau timang, tak butuh pengakuan dari manusia yang mengingkarinya. Mungkin kisah kasihmu dengannya terpaksa diakhiri terlalu dini, tetapi ceritamu dengan si buah hati, baru saja akan dimulai.[*]
Surabaya, 15 Juni 2022
Bionarasi:
Arya Kusuma Mayangkara adalah nakes yang sedang menyamar menjadi penulis. Aries April yang meledak-ledak, narsis, tetapi humoris. Pecinta buku, traveling dan wisata kuliner. Ia menulis untuk mengisi waktu di sela-sela kesibukannya sebagai nakes, untuk mengusir kejenuhan dan mencegah kepikunan.
Editor: Nuke Soeprijono
Sumber gambar: Google