Mereka yang Menari Sampai Mati

Mereka yang Menari Sampai Mati

Mereka yang Menari Sampai Mati

Oleh : Vianda Alshafaq

 

Juli, 1518

Angin berembus pelan, tetapi cukup menyejukkan. Langit cerah dengan awan-awan tipis yang berserakan begitu saja. Dan, matahari bersinar terik, seolah-olah memberikan semangat kepada mereka yang akan menjalani hari ini dengan penuh aktivitas.

Orang-orang berlalu-lalang di jalan. Anak-anak kecil berlarian, dan tertawa kegirangan setelah menghabiskan waktu untuk bermain dan berkejar-kejaran. Beberapa di antara mereka kadang duduk di tepi jalan, lalu tertawa dan sesekali bercanda dengan temannya.

Di sisi jalan sebelah kanan, beberapa orang tengah berkumpul. Mereka entah habis dari mana, tetapi, pada saat itu, mereka berkumpul di sana untuk sekadar bercerita.

“Ya, benar. Aku bahkan sudah hampir kehabisan bahan makanan di rumah.”

Salah satu dari mereka—laki-laki dengan rambut putih dan berkumis sedikit tebal—mengucapkan kalimat itu seperti orang yang sedang putus asa. Sementara laki-laki lain—di sana ada empat orang laki-laki—mengangguk membenarkan pernyataan laki-laki paruh usia itu.

“Seharusnya musim panas ini kita bersenang-senang, bukan memikirkan bahan pangan yang sebentar lagi habis.”

Itu kalimat laki-laki lain yang menggunakan baju biru gelap dengan topi yang menutup kepalanya. Dan, lagi-lagi, laki-laki lain hanya mengangguk membenarkan.

Tiba-tiba, dari seberang jalan, tepatnya dari sebuah rumah beratap jerami yang kedua jendelanya terbuka lebar, seorang perempuan keluar sembari menggerak-gerakkan tubuhnya seperti sedang menari. Tangannya bergerak asal, kakinya mengentak-entak, dan sesekali melompat-lompat setinggi yang ia bisa.

Sekelompok lelaki yang tadi berkumpul di sisi jalan sebelah kanan, menertawakan perempuan dengan baju lusuh itu. Mereka menonton tarian perempuan itu, tanpa berniat menghentikannya.

Seperti sekelompok laki-laki di sisi jalan, masyarakat lain juga turut menonton wanita itu. Mereka berbisik-bisik dan kemudian tertawa. Sementara perempuan itu tetap menari tanpa peduli pada keadaan di sekitarnya.

Sudah lima jam, perempuan itu tidak juga berhenti menggerak-gerakkan tubuhnya. Ia melompat-lompat, mengentak-entakkan kakinya ke tanah, dan tangannya bergerak-gerak di udara. Dari kaki perempuan itu, mulai keluar darah sedikit demi sedikit.

Orang-orang yang tadi menertawakan dan berbisik-bisik tentang perempuan itu, mulai merasa tertarik dengan tariannya. Satu-dua orang dari mereka, mulai ikut menari. Mereka menggerakkan tubuhnya secara acak dan merasa gembira.

Hari itu seperti tidak berakhir meskipun matahari sudah bersembunyi di balik malam. Mereka—perempuan dan belasan orang yang sudah ikut menari—tidak juga pulang ke rumah masing-masing. Meski sudah tampak lelah dan gerakan mereka mulai tidak lincah, mereka tidak juga berhenti.

Perempuan yang memulai tarian itu tiba-tiba terempas ke tanah. Matanya tertutup rapat seperti orang yang terlelap. Dari kakinya, darah mulai merembes dan melumuri jari-jarinya yang mulai lecet.

Meski perempuan itu pingsan dan tergeletak di tanah, tak satu orang pun yang membantu dan membopong tubuhnya ke rumah. Orang-orang di sekitar sana tetap menari. Mereka tidak peduli sedikit pun pada perempuan itu. Bahkan beberapa orang menghidupkan instrumen musik untuk memberi mereka semangat menari lebih lama.

Malam itu berlalu tanpa mimpi-mimpi indah dalam tidur yang lelap. Bahkan ketika matahari pagi mulai menyembul, mereka masih menari-nari seperti orang kesurupan. Beberapa dari mereka sudah tumbang dan terkapar di tanah. Meskipun begitu, mereka masih tak berhenti menari.

Pukul sembilan lewat seperempat, perempuan yang memulai tarian itu kembali bangun. Ia kembali menari seperti kemarin. Seperti orang kesurupan, tubuhnya ia gerakkan secara asal.

Seminggu berlalu seperti itu. Perempuan itu menari, pingsan, bangun, dan menari lagi. Begitu pun para penari lainnya. Orang-orang yang tidak ikut menari, hanya bersembunyi di rumah mereka seperti orang ketakutan. Mereka mulai kebingungan dan gemetaran melihat orang-orang itu menari yang terlihat seperti sedang melampiaskan kemarahannya.

Dari sebuah rumah beratap jerami, di samping rumah perempuan yang memulai tarian itu, beberapa orang—penghuni rumah itu—mengintip dari jendela.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Para penari itu semakin banyak. Bahkan, beberapa dari mereka sudah terkapar di tanah dan mati. Tidakkah menurutmu semua ini aneh?” tanya pria berjanggut tipis pada istrinya yang berdiri tepat di sebelah kanannya.

“Ya, kau benar. Mereka seperti marah dan kerasukan iblis. Tidakkah kita seharusnya memanggil pendeta untuk mengusir iblis-iblis itu?” Istrinya memegang tangannya, sementara tatapannya tetap ke arah para penari itu

“Ah, tidak. Kita tidak perlu ikut campur. Biarkan saja Tuhan yang bekerja.”

“Tapi, kalau begini terus, kita tidak akan bisa keluar untuk bekerja. Kau lihatlah, gandum kita hanya tersisa sedikit. Paling hanya cukup untuk minggu ini.”

“Tuhan yang akan membantu kita,” jawab laki-laki itu.

Di luar, para penari itu tetap menari. Jumlah mereka semakin bertambah. Dan, belasan dari mereka juga sudah terkapar di tanah, tanpa nyawa.

Sudah sebulan peristiwa itu dimulai, tetapi mereka tidak juga berhenti. Jasad-jasad penari yang meninggal itu sudah membusuk dan berulat-ulat. Baunya menguar ke udara dan terbawa angin ke tempat-tempat lain. Orang-orang yang masih bersembunyi di rumah mereka mulai kelaparan. Mereka bersembunyi di rumah dalam keadaan lemas, dan persediaan pangan yang sudah tandas. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan jika tak ingin keluar rumah adalah memenuhi perutnya yang kosong dengan air atau dengan apa saja yang bisa mereka makan, termasuk rumput-rumput liar yang tumbuh di depan pintu.

Perempuan yang memulai tarian itu, juga sudah terkapar di tanah. Tubuhnya sudah berlubang-lubang, ribuan belatung menggerogotinya. Kadang-kadang, tubuh berulat dan kaku itu terinjak oleh para penari yang jumlahnya sudah melampaui empat ratus orang. Tetapi, tetap saja, mereka tidak peduli dan tetap menari sekalipun belatung-belatung dari mayat-mayat itu berpindah ke tubuhnya.

Matahari masih terbit dan tenggelam seperti biasa. Cahayanya kadang terik dan sesekali berawan. Sebulan itu, berlalu begitu saja. Hanya dengan tarian, kelaparan, dan ketakutan. Tak ada aktivitas lainnya.

Tiba-tiba dari rumah beratap jerami sebelah rumah perempuan yang memulai tarian itu, sepasang suami istri keluar. Tubuhnya lemas, pakaian kotor dan lusuh. Dengan bergandengan tangan, mereka berjalan terseok-seok.

“Hanya Tuhan yang akan membantu kita,” ucap sang suami.

Mereka berjalanan ke tengah kerumunan penari itu, lalu mengentak-entakkan kakinya yang lemas ke tanah. [*]

 

Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.

Editor : Fitri Fatimah

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply