Mereka yang Mampu Melakukan Apa-Apa (Terbaik ke-16 LCL)

Mereka yang Mampu Melakukan Apa-Apa (Terbaik ke-16 LCL)

Mereka yang Mampu Melakukan Apa-Apa

Oleh: Win

Terbaik ke-16 Lomba Cermin Lokit

Pilihan Gambar: Gambar 1

#Menerjemahkan_Gambar

 

Satu jam telah berlalu sejak Tuan Rob Justice angkat kaki dari toko bunga milik Mary. Namun, kekesalan Mary tidak ikut menghilang bersama sosok itu. Omelan panjang lebar yang usai bersama kepergian Tuan Rob masih terngiang di telinga Mary, lalu menusuk-nusuk hati gadis itu.

“Keluarga kita, semua keluarga Justice, punya tradisi, Mary. Dimulai dari orang tua kakek dan nenek buyutmu, semua anggota keluarga kita adalah orang-orang yang terjun di bidang medis.”

Sebenarnya ini bukan kali pertama Mary mendapat ocehan dari sang ayah. Jika lalu-lalu, Mary akan berdiri dan berkata, “Saya punya mimpi sendiri, sebuah impian yang ingin saya wujudkan. Saya akan buktikan kepada Ayah, jika dengan impian ini, saya juga bisa membanggakan Ayah.”

Akan tetapi, kali ini berbeda, Mary hanya bisa mematung dan terdiam.

Sebelum masuk ke taksi yang diberhentikannya, Tuan Rob memandangi Mary dengan sengit, lalu dengan nada tajam berkata, “Jangan akui dirimu sebagai Mary Justice, jika kamu tidak segera kembali ke universitas dan segera menyelesaikan pendidikan kedokteranmu! Keluarga Justice hanya akan merasa malu saat mendengar itu!”

Di dalam hati kecilnya yang terdalam, Mary selalu yakin jika ayahnya akan mendukung impiannya suatu waktu. Dia pun berpikir, kedatangan Tuan Rob tadi siang untuk memberikannya selamat atas pembukaan toko bunga putrinya—walau sudah sebulan berlalu sejak grand opening. Namun, mendengar kalimat itu terucap, seolah-olah menyadarkan gadis berkata cokelat hazel itu, bahwa keyakinan dan prasangkanya hanya bualan semata. Dia juga menjadi ragu akan pilihan yang telah diambilnya, membuka toko bunga ini dengan tabungannya.

“Permisi, Nona Mary.”

Sebuah suara berhasil membuyarkan lamunan Mary yang tengah kalut dalam benang-benang kusut di kepalanya. Mendapati seorang pelanggan memasuki tokonya, Mary segera mengumpulkan kesadaran. Dia memasang senyum ramah, lalu menyambut wanita paruh baya yang hampir semua rambutnya telah memutih. “Selamat datang, Nyonya Marple. Apa yang bisa saya bantu kali ini?” tanyanya saat mengenali si pengunjung.

“Putriku sangat menyukai buket bunga yang terakhir kali kamu buat, Nona Mary. Dia bilang itu membuatnya lebih segar. Hari ini, saya akan mengunjunginya di rumah sakit. Jadi, bisakah Nona membuatkan buket yang sama?” Nyonya Marple, pemilik penatu di seberang jalan itu tersenyum ramah.

Mendengar itu, sedikit kelegaan muncul di hati Mary. Bermimpi jadi seorang tukang bunga bukanlah hal buruk, ‘kan? Saya bisa berbagi kebahagian dengan orang-orang, pikirnya.

“Saya akan membuatkan buket yang cantik untuk Nyonya Marple,” ucap Mary. Lalu, gadis itu mulai mengambil beberapa tangkai jenis-jenis bunga, membungkusnya dengan kertas cellophane, terakhir mengikatkan sebuah pita merah muda di sana.

“Semoga putrimu cepat sehat, Nyonya Marple.” Mary menyerahkan buket yang telah selesai dia buat.

“Terima kasih, Nona Mary.”

Mary mengantar Nyonya Marple sampai ke depan, memberikan senyuman hangat sebagai tanda perpisahan. Lantas, saat hendak kembali ke dalam, beberapa puntung rokok yang tersebar di muka toko berhasil menghentikan langkah Mary. Gadis berhidung bangir itu menghela napas, lalu mulai memunguti benda itu.

Setelah membuang sampah-sampah itu, Mary menyandarkan tubuhnya ke tembok. Lalu, mulai bertanya-tanya tentang fungsi tanda larangan merokok beserta ancaman denda yang tertempel di dinding bangunan jika orang-orang bahkan tak acuh. Namun, beberapa saat kemudian, justru muncul perasaan iri di hati Mary. Pembuang sampah-sampah itu memang salah. Tapi setidaknya mereka tak gentar. Saya bahkan tak punya keberanian untuk bilang jika saya yakin dengan pilihan saya kepada Ayah, batinnya.

Tak berapa lama, suara kucing yang mengeong terdengar. Mary menoleh, mendapati Carol, kucing berbulu putih dan oranye miliknya yang sudah beberapa hari ini menghilang. Binatang itu terus mengitari mangkuk makannya sembari menatap Mary.

Mary sontak tersenyum, kala matanya bertemu tatap dengan makhluk kecil itu. Dia bergumam pelan, “Satu lagi yang punya kebebasan untuk bisa melakukan apa yang dia mau.”

Mary berjongkok, mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala kucing itu. Dia kemudian bangkit, masuk ke toko dan mengambil makanan kucing di atas lemari. Sembari menuangkannya ke tempat makan kucing, Mary berkata, “Menjadi kucing itu pasti menyenangkan, ‘kan?”

Kucing belang itu mengeong, seolah-olah mengiyakan pertanyaan Mary. Lalu, kembali membuang keacuhannya dan menikmati makanan di mangkuknya.

Jakarta, 21 September 2022

Erwin atau Win, pria kelahiran 2001 yang terkadang mengisi waktu luang dengan kegiatan menulis. Selain menulis, dia juga senang menonton film.

Komentar juri, Berry:

Dengan memberikan gambar yang begitu sederhana dan seolah tidak menawarkan konflik, sesungguhnya kami ingin menguji kejelian penulis untuk menemukan “benang merah” cerita. Tentu, konflik yang terlalu serius akan mengurangi kekuatan genre (slice of life). Win, pada cerita ini, berhasil membuat keputusan yang seimbang, memberi ketegangan dalam cerita (melalui konflik) tetapi tetap bisa setia dengan genre. Kegelisahan tokoh utama sesungguhnya hanyalah metafora dari kegelisahan kaum muda yang selalu berhadapan dengan masalah dilematis: idealisme atau kenyamanan.

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Leave a Reply