Meraih Masa Lalu (Terbaik 11, TL 21)

Meraih Masa Lalu (Terbaik 11, TL 21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik ke-11

Meraih Masa Lalu

Oleh : Ika Mulyani

Aku mengetuk pintu di hadapanku dengan tak sabar, hingga irama ketukannya terdengar seperti rentetan senapan mesin. Aku tahu, Ditto dan Alfa ada di dalam meski tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Tanpa memedulikan etika dan kesopanan yang biasanya kujunjung tinggi, aku membuka pintu sebelum ada yang mempersilakan.

“Betulkah kalian sudah berhasil?” Campuran antara semangat dan rasa gugup membuat suaraku bergetar dan terdengar sedikit parau. Pesan suara yang dikirim Alfa setengah jam lalu masih terngiang, seolah laki-laki itu meneriakkannya di telingaku: “Kambingnya berhasil ditarik pulang. Tepat waktu.”

Mungkin aku menggeser daun pintu kaca itu terlalu keras. Tetapi aku tak peduli. Ditto dan Alfa yang sedang sama-sama menekuni salah satu layar komputer serentak menoleh.

“Eh, Zira. Hai.” Ditto tersenyum, menghentikan gerakan jemarinya di layar sentuh. “Apa kabar?” Ia berucap seolah tidak mendengar pertanyaanku.

“Betulkah?” Setengah berbisik, aku mengulangi pertanyaan, menghiraukan sapaan laki-laki teman dekat suamiku itu.

Ditto terlihat memandang Alfa dengan tatapan menuduh.

“Saya …. Maaf, saya cuma … terlalu senang, jadi saya ….” Alfa terlihat tidak sanggup menyatakan pembelaan diri. Mungkin ada kesepakatan untuk tidak membocorkan hasil pekerjaan besar mereka kepada siapa pun.

“Jangan menyalahkan Alfa.” Aku menyergah. “Aku yang paksa dia cerita.”

Ditto menghela napas panjang. Aku memberanikan diri untuk melangkah mendekatinya, sambil setengah melirik ke arah layar monitor komputer yang tengah ditekuninya.

“Tapi betul, ‘kan? Kalian sudah berhasil menarik tikusnya pulang? Kelincinya juga? Kambingnya juga, ‘kan? Aku lihat di luar ada kambing. Aku sudah tanya satpam. Tadi pagi dia lihat Alfa bawa kambing itu ke lab, terus enggak lama kambing itu sudah ada lagi di luar. Itu artinya kalian sudah berhasil, ‘kan?” Aku menyerocos, tak sabar.

Ditto meringis, sementara Alfa terlihat gelisah dan salah tingkah.

***

Aku tahu, sudah hampir empat tahun ini Ditto, dengan bantuan Alfa, sedang berusaha merakit kembali mesin waktu yang sebelumnya pernah berhasil dibuat oleh mendiang suamiku bersama kedua temannya, Ditto dan Ray. Mesin waktu itu pernah berhasil membawa Alfa, si kelinci percobaan, bertualang ke masa lalu.

Sebelum Alfa dijadikan objek penelitian, mereka mencoba mengirim puluhan tikus putih ke masa lalu dan menariknya kembali ke masa kini. Semua gagal, para tikus itu tersesat entah ke dimensi waktu dan ruang yang mana. Mereka terus melakukan penyempurnaan hingga kemudian tikus ketujuh puluh berhasil kembali pulang. Setelah itu, mereka masih terus bereksperimen dengan menggunakan binatang lain yang lebih besar, dan seluruhnya berhasil. Demikian pula kemudian dengan Alfa. Ia beberapa kali dikirim berkunjung ke berbagai dimensi waktu. Aku turut menyaksikan keberhasilan itu.

Aku tidak mengerti apa yang salah saat terakhir kali mesin waktu itu dioperasikan. Yang jelas, benda itu meledak hingga hancur berkeping-keping dan entah bagaimana persisnya, suamiku kehilangan kesadaran dengan tubuh mengalami kerusakan yang sangat parah. Beberapa jam kemudian, ia mengembuskan napasnya yang terakhir.

Sejak itu, Alfa tidak pernah absen berkunjung ke rumahku setiap sore sepulang dari tempatnya bekerja bersama Ditto. Ia tidak pernah lupa untuk membawakan salah satu makanan kesukaanku. Dalam setiap kedatangannya, Alfa selalu berusaha untuk memancing ocehanku tentang apa saja, sambil bermain bersama Alif, putraku semata wayang, yang telah jadi yatim sebelum dilahirkan ke dunia.

Meskipun kehadiran Alfa memang selalu memberikan penghiburan bagi kami dan diam-diam aku selalu menantikan kedatangannya, aku selalu dihantui oleh rasa bersalah.

Sejak lama aku berhasil mengetahui, bahwa aku adalah cinta pertama laki-laki itu sejak kami masih SMA. Kuakui aku pun dulu menyukainya dan sempat menaruh harap. Tetapi pertemuan kami dengan Mas Gio, kakak sepupu Alfa, mengubah segalanya. Kurasa kami sama-sama dibodohi perasaan masing-masing. Alfa tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintanya padaku, sementara akhirnya aku memutuskan untuk memilih Mas Gio yang lebih segala-galanya bila dibandingkan dengan Alfa. Mas Gio lebih dewasa dan terasa lebih bisa diandalkan. Makin aku mengenalnya, aku makin merasa jatuh cinta. Namun takdir memisahkan kami terlalu cepat, dan meski sudah terlambat, Alfa seakan menjelma menjadi pelampung penyelamat hidupku.

Kini aku merasa telah berkhianat pada tiga orang sekaligus: mendiang suamiku, istri Alfa, dan perasaanku sendiri.

Aku tidak ingin Alfa bertengkar lagi dengan istrinya. Sudah lelah rasanya aku melarang laki-laki itu untuk berkunjung. Namun, ia selalu menganggap laranganku sebagai angin lalu. Mungkin ia bisa merasakan bahwa aku tidak terlalu bersungguh-sungguh melarangnya; Alif bahkan selalu menangis setiap kali Alfa berpamitan untuk pulang.

Aku ingin sekali menebus rasa bersalahku. Aku yakin, hanya perjalanan ke masa lalu yang bisa dilakukan untuk itu. Aku akan bisa meminta suamiku untuk tidak berada dekat-dekat perangkat mesin waktu di hari benda itu meledak. Jika Gio hidup saat ini, aku dan Alif tidak akan membutuhkan penghiburan dari siapa pun. Alfa tidak akan berani berkunjung terlalu sering, hingga ia bisa mencurahkan lebih banyak waktu untuk istri dan anaknya. 

Aku berdoa sungguh-sungguh dan benar-benar berharap Ditto berhasil merakit kembali mesin waktu itu.

Kemarin sore, Alfa singgah dengan wajah berseri-seri, lalu aku bertanya apa yang membuatnya terlihat sangat senang.

“Saya enggak bisa cerita. Mas Ditto ….” Wajah Alfa memucat. “Eh, maksud saya ….”

Aku merasa tahu apa yang sedang terjadi. Aku pun tahu, Alfa akan selalu berusaha meloloskan apa pun permintaanku. Aku pun memohon, merajuk, hingga merayu, sampai akhirnya laki-laki itu luluh dan menyerah. Ia memberitahukan semua informasi yang diketahuinya terkait proyek mesin waktu mereka. Senyumku terkembang makin lebar seiring Alfa melantunkan ceritanya. 

***

Aku memandang Ditto, langsung menatap matanya. “Kalau memang kalian sudah berhasil, kalian bisa pakai aku sebagai bahan uji coba.” Aku menarik napas. “Aku mau coba naik ke mesin itu. Seperti yang dulu dilakukan Alfa.”

Kedua lelaki itu terpaku menatapku, terlihat heran sekaligus terkejut. Mulut Alfa bahkan ternganga.

Setelah beberapa saat yang terasa lama sekali, akhirnya tatapan Ditto melembut. Ia tersenyum dan berkata, “Duduk di sini, Ra,” katanya lembut seraya menepuk bantalan kursi di sampingnya.

Aku menurut, dengan pandangan tetap terpaku pada wajahnya. Aku nyaris bisa merasakan nyala dalam sorot mataku sendiri, yang aku yakin dirasakan pula oleh laki-laki itu.

Sementara itu, Alfa bergerak menarik kursi dan duduk di sisiku yang lain.

“Kenapa mau jadi kelinci percobaan?”

Aku bergeming. Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu sebelum berhasil meyakinkan Ditto.

“Kamu tahu resikonya sangat besar. Kami tidak pernah bisa menjamin setiap objek eksperimen kami bisa kembali.”

“Tapi dulu Alfa bisa. Berkali-kali, malah. Dan dia sekarang ada di sini dan baik-baik aja, ‘kan?” Suaraku kembali bergetar dan aku tahu Alfa memperhatikan.

Ditto menarik napas panjang, sementara aku bisa merasakan tatapan Alfa.

“Alfa melakukannya dengan–“

“Sukarela?” Aku menukas cepat. “Aku juga sukarela mengajukan diri. Aku tidak akan menyalahkan siapa pun kalau terjadi hal-hal yang ….” Aku menarik napas cepat. “Tidak apa-apa kalau misalnya ….” Aku mengerjap. Sosok Alif berkelebat di benakku.

Celakanya, Alfa selalu bisa menafsirkan bahasa tubuhku. “Gimana dengan Alif?” Ia berucap dengan tajam.

Ditto mengangguk setuju. “Ya. Itu harus jadi pertimbangan utama.”

Aku mencebik, berusaha menutupi perasaanku. “Aku yakin aku bisa kembali.” Kali ini aku tak berani menatap kedua lelaki itu, terutama Alfa. Aku mendengar keduanya mengembuskan napas dengan keras, nyaris mendengus.

“Kamu tahu pasti, dulu kami baru bisa cukup berhasil setelah mesin waktu sudah benar-benar teruji, dan waktu itu Gio masih …,” Mendengar nama suamiku disebut oleh Dito, aku mengangkat wajah dan menatap laki-laki itu, “ada,” lanjut Ditto dengan suara parau. Ia mengerjapkan mata, lalu menarik napas panjang. “Kita semua tahu, dia jauh lebih pintar dari aku dan Ray. Belum ada fisikawan di negeri ini yang bisa menandingi kejeniusannya. Dia bisa dengan jeli melihat kesalahan atau kekurangan dalam mesin waktu walau hanya setitik; karena itu kami bisa percaya diri. Tapi sekarang …. Aku masih belum yakin, Ra. Apalagi Ray benar-benar menolak untuk membantu. Dia masih merasa … trauma.”

Aku kembali menatap Ditto dengan tajam. “Aku yakin kali ini pun kamu berhasil. Kambing itu buktinya.”

“Tapi baru satu yang berhasil.”

Aku menegakkan tubuh. “Kita bisa coba satu atau dua kali lagi sampai kamu betul-betul yakin. Aku akan tunggu.”

Ditto dan Alfa saling bertukar pandang.

“Aku cuma pingin … ketemu Mas Gio.” Aku terdiam sejenak, membiarkan kalimat itu mengendap.

Kedua lelaki itu terpaku.

“Sekalii aja. Sebentar juga enggak apa-apa.” Aku menahan diri untuk tidak menunduk, meski air mataku mulai menetes menuruni pipi. “Aku janji enggak akan melakukan kekacauan.” Kali ini aku menunduk. Aku harus merahasiakan misiku. Lagipula, kalau rencanaku berhasil, Ditto dan Ray akan bisa kembali mendapatkan kawan jenius mereka, ‘kan? Bukankah bisa kembali bertemu Gio adalah hal utama yang mendorong Ditto untuk merakit ulang mesin waktu itu? Kami punya tujuan yang sama.

“Alfa bisa temani aku kalau kalian enggak percaya. Alfa bisa jaga aku supaya aku enggak tergoda untuk mengacau.” Aku mengangkat wajah tetapi tidak berani memandang Alfa. Ia selalu bisa tahu bila ada isyarat kebohongan di mataku, sekecil apa pun.

Ditto balas menatapku lekat-lekat, lalu mengerjap. Matanya basah. Perlahan, ia menganggukkan kepala. “Asal Alfa bersedia menanggung segala resikonya.”

“Terima kasih,” ucapku dengan sangat lirih. Aku sangat yakin, demi aku, Alfa akan mau dengan sukarela menghadapi resiko sebesar apa pun.

***

Entah mengapa, pada saat-saat terakhir, Alfa memutuskan untuk tidak ikut. “Saya yakin mesin ini akan berhasil. Saya juga percaya kamu tidak akan mengacaukan masa lalu. Lebih baik saya tinggal di sini buat jaga Alif.”

Seharusnya aku senang. Aku akan bisa bebas menjalankan misiku tanpa gangguan siapa pun. Namun, entah mengapa aku justru merasa tidak nyaman. Aku melangkah menuju tabung bilik teleportasi dengan hati gamang.

Aku mencoba menenangkan diri sendiri. Seperti yang sudah kuketahui sebelumnya, meskipun aku punya banyak waktu di masa yang akan kudatangi nanti, dalam hitungan masa kini, perjalanan ini hanya akan memakan waktu lima detik. Alif nyaris tidak akan kehilangan waktunya bersamaku. Aku tidak mengerti dan tidak ingin mencari tahu, mengapa keanehan itu bisa terjadi. Yang penting, aku bisa sampai di tempat dan waktu yang ingin kutuju.

Jantungku berdebar kencang saat menyampaikan data tanggal “pendaratan” yang kupilih. Aku tidak tahu, apakah Ditto dan Alfa menyadari tanggal itu, karena mereka tidak berkomentar apa-apa.

Aku menghela napas dan memandang berkeliling. Ya, kami berhasil. Aku bisa melihat bagian gedung yang akan meledak itu masih utuh. Hatiku mencelus ketika sosok Gio terlihat melangkah melintasi halaman gedung.

Titik pendaratanku tersembunyi di balik gerumbul semak dekat pintu gerbang. Kami hanya terpisah jarak sekitar lima belas meter. Jantungku bertalu-talu.

“Mas Gio!” Tanpa sadar, aku berseru sekeras yang kubisa. Tetapi mulutku kering, suaraku menjadi parau, terlalu lemah untuk bisa didengar oleh suamiku.

Gio terus melangkah, tidak menyadari kehadiran istrinya yang datang dari masa depan.

Aku menghela napas panjang. Tiba-tiba saja, aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama sekali lain dari yang sudah kurencanakan.

Aku menarik penutup kepala yang kukenakan hingga menutupi keningku, lalu meraih kamera yang kubawa. Aku membidikkannya ke arah Gio, mengintip melalui lubang lensa, memperbesar gambarnya hingga aku bisa melihat dengan jelas garis wajah laki-laki itu, seakan kami tengah berdiri berhadapan. Kurekam semua gerakan ayah anakku itu, hingga sosoknya menghilang dari pandangan, memasuki gedung yang tak sampai dua jam lagi akan meledak.

Aku kembali menghela napas panjang, lalu menekan tombol biru pada arloji khusus yang kukenakan, memulai perjalanan … kembali pada Alif yang tengah menungguku, mungkin sedang bermain ditemani Alfa. []

Ciawi, 5 Agustus 2025

Ika Mulyani, emak-emak yang sangat ingin kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan yang telanjur dilakukan.