Merah
Oleh : Fathia Rizkiah
Tak! Kim Dae-hee membanting seloki alkohol terakhir dengan kasar ke atas meja. Tujuh botol hijau sudah habis ditenggak, tapi belum juga menghilangkan kepenatan yang justru semakin lekat dalam tempurung kepala. Reka kejadian siang tadi berputar-putar lagi, seakan tidak puas hanya sebentar menggerayangi pikiran. Ini pertama kalinya dalam seminggu, Presdir Jang mengamuk hingga dua kali berturut-turut. Kekesalan yang biasa hanya berupa sindiran kini dengan gamblang dilontarkan. Presdir Jang kesal karena hari ini perwakilan perusahaannya tidak menang lagi, padahal tahun lalu kedainya selalu menduduki peringkat pertama dalam kategori kedai terbaik.
Sudah lima tahun Dae-hee bekerja di Jang Food, perusahaan pengelola kedai terlaris di Korea Selatan, sekaligus perusahaan yang sering disorot media karena banyaknya jumlah investor yang menginvestasikan uang di perusahaan mereka. Selain kepiawaian Presdir Jang dalam mengelola bisnis—Presdir Jang tidak pernah membuat para investor kecewa—kelezatan rasa makanan yang mereka sajikan di setiap kedai selalu menjadi alasan para pelanggan kembali berkunjung lagi dan lagi. Rekomendasi beruntun dari mulut ke mulut pun menyebar luas, hingga menarik para pembuat konten mukbang berbondong-bondong datang.
Di balik semua makanan lezat itu, Dae-hee adalah salah satu orang yang berhasil membuat para pelanggan terkesima, hingga akhirnya ia dipercaya mewakili perusahaan dalam acara TV “Kontes Koki Hebat”. Namun entah kenapa, ia justru tidak bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya di ajang bergengsi tersebut.
“Besok babak terakhir, kalau besok kau tidak menang juga, aku tidak akan segan menendangmu dari perusahaan. Perusahaan kami tidak butuh orang tidak berguna sepertimu!” hardik Presdir Jang mengakhiri sumpah serapah yang sebelumnya disampaikan dengan panjang lebar.
Dae-hee menekan pelipis, rasanya sangat sakit, seperti ada sesuatu menendang-nendang keras dari dalam. Ah, mungkin ini efek dari terlalu banyaknya beban yang ia pikirkan, sekaligus alkohol yang diminum.
Dae-hee melirik ketujuh botol hijau di atas meja, kepalanya menggeleng. Pikirnya, jumlah alkohol yang diteguk baru sedikit, tidak mungkin hanya karena ini ia mabuk. Dae-hee mengacungkan tangan, berniat memesan satu botol alkohol lagi.
“Tolong berikan sebotol soju lagi!”
Gadis yang bertugas menjadi pelayan hanya diam, menatap Dae-hee tanpa ekspresi, sama sekali tidak tertarik untuk melayani permintaannya.
“Bagaimana? Sudah bilang ke anak muda di sana kalau kita mau tutup?” tanya wanita paruh baya dari dalam dapur kedai.
“Ia meminta sebotol soju lagi,” jawab gadis itu, masih dengan ekspresi datar tanpa menatap sang lawan bicara. Tatapannya tetap tertuju pada Dae-hee.
Wanita paruh baya yang merupakan ibu sang gadis beranjak keluar dapur sambil melepas celemek di pinggang. Ia ikut menatap Dae-hee. “Meminta sebotol lagi? Memangnya kau tidak bilang sebentar lagi kita akan tutup?”
Gadis bernama Jang Soo-ah itu menggeleng, sekali lagi tanpa menatap ibunya. “Percuma aku bicara kalau yang diajak berbicara mabuk.”
Sang Ibu melirik sinis, lidahnya berdecak. “Ck, alasan saja!” Ibu memberi celemek yang sudah dilepas dan dilipat seadanya. “Simpan, biar Ibu yang bicara!”
Soo-ah tak mau ambil pusing, ia hanya menatap punggung Ibu yang berjalan mendekati Dae-hee, kemudian beranjak menuju lemari penyimpanan barang-barang kedai.
Pandangan Dae-hee buram, tapi ia masih bisa menangkap sosok wanita paruh baya yang berjalan mendekatinya. Sambil tertawa konyol, Dae-hee berkata lagi, “Ahjumma[1], tolong berikan aku sebotol lagi!”
Belum sempat mendengar jawaban wanita paruh baya itu, semakin lama pandangan Dae-hee semakin tidak jelas, diikuti kepala yang terasa sangat berat ditegakkan. Terakhir yang Dae-hee rasakan, kepalanya membentur meja dengan keras. Rasanya tidak sakit, justru nyaman. Semua pusing yang membendung seakan pecah berhamburan di atas meja.
Dae-hee berpikir, Ah, kenapa tidak kupraktikkan dari tadi?
“Ya’, anak muda! Jangan mabuk di kedaiku! Kau boleh minum di sini tapi tidak boleh sampai mabuk begini! Aigoo[2], bagaimana ini?” tanya Ibu kesal.
“Biarkan saja, Bu. Besok saat sadar ia pasti pulang sendiri,” jawab Soo-ah.
“Biarkan? Kalau tengah malam ia mengacau, bagaimana?”
“Tidak, Bu. Akan kupastikan ia tidak berbuat begitu. Sudah, Ibu pulang saja. Sementara aku akan di sini mengawasi pria ini.”
Ibu tak menjawab, ia menatap manik mata Soo-ah beberapa saat. Khawatir.
Soo-ahmendengkus malas. “Aku tidak apa-apa, Bu. Sudah, Ibu segera pulang saja.”
Soo-ah mendorong punggung ibunya ke luar kedai.
“Aku akan pulang setelah memastikan pria ini aman,” ujar Soo-ah sambil menutup pintu masuk kedai dan menguncinya.
Sejak melihat kedatangan Dae-hee, Soo-ah sudah menahan-nahan emosinya agar tidak meledak. Dan, sekaranglah waktu yang tepat untuk menuntaskan dendam. Tidak ada siapa-siapa selain ia dan Dae-hee, pria jahat yang menewaskan sahabatnya dua bulan lalu.
Malam itu, Soo-ah berjalan terseret memapah Ye-ri, sahabatnya, yang sedang mabuk berat. Ye-ri tidak bisa meminum banyak alkohol, tetapi karena pesona laki-laki dalam bar, Ye-ri menurut saja setiap dituangkan segelas bir lagi dan lagi. Soo-ah mendengkus sebal sekaligus bersyukur, untung saja ia tidak tergoda dengan minuman itu, karena kalau sampai ia mabuk juga, bagaimana nasib mereka? Soo-ah tidak bisa membayangkan keduanya terbangun dalam sebuah kamar hotel dengan keadaan … ah, Soo-ah mewanti-wanti agar hal itu tidak akan pernah terjadi.
Sekian meter berjalan, sebentar lagi keduanya sampai rumah, tinggal menyeberang jalan dan memasuki gang-gang yang dipadati perumahan. Tapi belum sampai ujung jalan, sebuah mobil melaju kencang, membanting tubuh keduanya hingga Ye-ri meninggal, sedangkan Soo-ah mengalami trauma berat hingga sekarang.
Soo-ah mendekat, duduk di salah satu kursi yang ada di meja Dae-hee. “Lihat, apa yang harus kulakukan pada pembunuh tak bertanggung jawab ini? Menusuk pisau di punggungmu berkali-kali? Ah, itu sudah terlalu biasa. Bagaimana kalau kita pakai cara lain? Membunuh mentalmu melalui mimpi misalnya? Sepertinya bagus.”
***
Perlahan, mata Dae-hee terbuka. Ia merasa badannya jauh lebih ringan, meski bayang-bayang cacimaki Presdir Jang masih terus berputar. Setidaknya, ia tidak lagi merasa sepusing semalam.
Dae-hee bangun, perutnya meronta-ronta minta diisi. Ia bangkit bergegas menuju dapur.
“Sudah bangun?” sapa seseorang.
Dae-hee melompat, terkejut melihat wanita bertudung kain di dalam dapurnya, sedang memasak sesuatu.
“Siapa kau! Sedang apa kau di rumahku!”
Wanita yang ditanyai menoleh. Sebentar, ia meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukan.
“Aku Syella, kamu Dae-hee, kan?”
Dae-hee tak menggubris pertanyaan wanita tak dikenal itu, dan justru fokus menanyakan, bagaimana wanita itu bisa ada di rumahnya?
“Tadinya aku tak mengenalmu, tidak tertarik juga berlama-lama di mimpimu. Tapi seseorang mengutusku.”
Kening Dae-hee mengernyit. “Maksudmu?”
“Panjang kalau dijelaskan, belum tentu juga kau akan paham dan mengakui semuanya. Sekarang begini …,” wanita di hadapan Dae-hee memainkan ujung kain tudung kepalanya, “warna apa kerudungku ini?”
Dae-hee masih mengernyit tidak mengerti. Namun, pertanyaan ini sepertinya dapat menjawab kebingungannya. Dae-hee menjawab, “Merah.”
“Betul, merah. Seperti?” tanya wanita misterius itu lagi.
Dae-hee melirik benda berwarna serupa dalam dapurnya. “Teflon.”
Wanita itu mengangguk. “Kalau darahmu, warna apa?”
“Ne[3]?”
Wanita itu meraih pisau besar yang biasa digunakan untuk memotong ikan. “Ternyata kau lambat, ya. Seperti siput! Baik, kalau kau tidak menjawab aku akan lihat sendiri warna darahmu.” Tanpa aba-aba, wanita berkerudung itu melayangkan pisaunya ke Dae-hee.
Dengan terkejut, Dae-hee terbangun, mimik wajahnya ketakutan. Beberapa tetes keringat sudah turun di pelipisnya.
Soo-ah masih di sana, sedang duduk menonton sesuatu dari ponselnya. Sesekali ujung bibirnya tertarik, membentuk sebuah senyum miring. Melihat Dae-hee terbangun dengan terkejut, Soo-ah hanya melayangkan tatapan tidak tertarik, meski akhirnya ia bertanya, “Ada apa, Pak? Anda begitu terkejut hingga terbangun.”
Dae-hee mengatur napas. Ia menggeleng. “Tidak apa-apa, saya hanya mengalami mimpi buruk.”
“Oh begitu, mau kuambilkan minum, Pak? Untuk menenangkan ketakutan Anda.”
Dae-hee menolak, “Tidak, terima kasih.”
Ia bangkit dan pergi ke luar. “Maaf merepotkanmu,” ujarnya sebelum menutup pintu kedai.
***
Presdir Jang dan lima karyawan tinggi di perusahaan, melambungkan tubuh Dae-hee ke udara. Tawa bahagia menghiasi wajah mereka setelah mengetahui bahwa di babak terakhir, perusahaan mereka akhirnya menang.
“Sudah, sudah. Turunkan Koki Kim,” titah Presdir Jang.
Seluruh karyawan andalan Presdir Jang menurut, mereka menurunkan Dae-hee yang langsung merapikan baju dan rambutnya. Sebagai hadiah merayakan kemenangan perusahaan, Presdir Jang mengajak mereka bermain golf di tempat langganannya. Tempat yang tidak bisa dimasuki siapa pun selain orang-orang berkelas.
“Silakan bermain sepuasnya, aku ke sana dulu,” ujar Presdir Jang menunjuk salah satu kursi di kafe mini. Beberapa orang sedang menunggunya.
Seluruh karyawan yang ia ajak mengangguk. “Baik, Presdir.”
Mereka mulai berpencar, sebagian menuju lapangan berbaur dengan pemain golf yang lain, sebagian lagi menghampiri stan kecil untuk mengambil camilan gratis. Hanya Dae-hee yang bingung hendak ke mana dan melakukan apa. Ia mengamati sekitar, mencoba mencari sesuatu yang mungkin diminati.
Tuk! Satu bola golf melayang empuk menghantam tulang pipi Dae-hee. Dae-hee melamun sebentar, menikmati rasa ngilu di bagian tulang pipi. Tak lama kepalanya terasa berat, diiringi penglihatan yang memburam dan tubuhnya yang berakhir ambruk.
Semuanya gelap.
***
“Bagaimana? Sudah tahu warna darahmu?”
Dae-hee membuka mata lebih lebar. Ia terkejut, wanita bertudung kemarin sudah ada di sebelah kasurnya. Dae-hee menjauh. “Mau apa kau!? Sedang apa kau di sini?”
Wanita bertudung itu tertawa. “Mau apa? Mau melihat darahmu. Habis, kau tidak menjawab saat kutanya warna darah.”
“Merah, warna darahku merah!”
“Merah apa? Merah segar? Merah bata? Merah delima? Atau merah muda?”
Dae-hee mendorong tubuhnya hingga ke ujung kasur. “Po-pokoknya merah!”
“Kau tidak tahu warna darahmu? Baiklah mari kita periksa.”
Wanita itu mendekat, tangannya meraih cutter di saku kardigan, kemudian diacungkan dan didekatkan ke kulit Dae-hee. Siap memainkan benda tajam itu layaknya pensil di atas kertas.
Dae-hee mengambil bantal untuk melindungi diri, sesekali digunakan untuk memukul wanita seram di hadapannya. “Mau apa, kau? Menjauh! Kubilang MENJAUH!” teriaknya.
***
Dae-hee terbangun. Ia menatap pergelangan tangannya dengan panik. Saat melihat permukaan kulitnya tak terluka sedikit pun, ia tertawa, “Kau tak akan bisa membunuhku, wanita gila!”
Melihat tingkah aneh Dae-hee, sekretaris Presdir Jang kebingungan.
“Koki Kim, Anda sudah sadar?”
Bukannya menjawab, Dae-hee menatap sekitar dengan mata membelalak. Suara tawa wanita bertudung dalam mimpinya bergema dalam ruangan, sambil memberi kabar bahwa ia akan datang lima belas detik lagi.
“Ia belum ada, aku harus segera pergi. Aku tidak ingin mati!” Dae-hee bangkit, dengan cepat ia bergegas keluar ruangan.
“Koki Kim, tenanglah. Anda tidak boleh pergi sebelum Presdir Jang datang,” ujar sekretaris pribadi Presdir Jang.
Dae-hee menggeleng. “Tidak! Aku harus pergi sebelum lima belas detik. Kalau terlambat, wanita itu akan membunuhku, Sekretaris Kim! Jadi, kumohon jangan halangi aku.”
Terlambat, pintu sudah terbuka. Wanita bertudung dalam mimpinya masuk ke dalam ruangan. Ia mengajak orang lain, yang juga membawa benda tajam. Dae-hee mundur, menyudutkan diri hingga ke ujung ruangan. Tangannya mengacak rambut frustrasi. “Mau apa kau di sini, Wanita Gila! Enyah, ini bukan duniamu!”
Sekretaris Kim hanya menunduk. Presdir Jang dan suster, yang baru saja datang, kebingungan.
“Maaf, Suster. Semoga Anda tidak tersinggung,” ujar sekretaris Kim.
“Ah, iya tidak apa. Sepertinya rumah sakit harus memeriksa mentalnya juga,” ujar suster yang hendak memberikan kapas tambahan untuk mengobati luka memar di tulang pipi Dae-hee. (*)
Catatan Kaki :
[1] Bibi
[2] Ya ampun
[3] Hah
Fathia Rizkiah, gadis kelahiran 1999, tinggal di Tangerang. Sejak di bangku madrasah ibtidaiyah, Fathia sudah menyukai semua hal berbau literasi, seringnya membuat buku komik untuk dibaca adiknya sendiri. Fathia baru memperdalam ilmunya dua tahun terakhir, mari bimbing ia dengan cara memberi komentar membangun di setiap karyanya. Intip karya Fathia di Wattpad @fath_vhat dan blog fathiamengulas.wordpress.com.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata