Menunggu UFO
Penulis: Lintang Ayu
Bel tanda jam pelajaran terakhir berbunyi. Saya segera membereskan peralatan menulis yang tercecer di meja dan laci.
“Cia, pulang sekolah mau ikut main ke tempat Glo, nggak?” bisik Martha teman sebangku saya.
“Tidak, ah, saya mau ke museum sepulang sekolah nanti.”
“Ih, apa sih enaknya pergi ke museum. Cuma liat barang-barang aneh. Mending ke rumah Glo. Katanya, ayahnya bawain oleh-oleh mainan dari Jepang.”
Saya menggeleng. Saya tidak tertarik sama sekali, lebih baik pergi ke museum Pak Kronos. Menanyakan sinar apa yang semalam saya lihat di langit. Apakah itu ada hubungannya dengan UFO?
“Ah, kamu enggak asyik,” ucap Martha kesal. Lalu ia lebih dahulu meninggalkan ruang kelas lima, meninggalkan saya.
Setelah memastikan peralatan menulis dan juga wadah Tupperware masuk ke dalam tas semua, saya pun bergegas meninggalkan kelas.
Di depan pintu gerbang, Pak Supri, sopir pribadi Mama sudah berdiri di samping mobil hitam metalik. Senyum laki-laki 45 tahun itu mengembang setelah melihat keberadaan saya.
“Silakan, Nona Cia,” sapa Pak Supri sembari membukakan pintu mobil.
“Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Non Cia,” balas Pak Supri, lalu ia segera masuk dan menyalakan mesin mobil.
“Pak, boleh tidak Cia turun di Museum area 15 saja?”
“Pulang dulu, ya, Non? Bapak takut jika Non Cia tidak langsung pulang Nyonya Clara akan marah.”
Mendengar nama Mama, membuat saya sedikit kesal. Mengapa saya harus memiliki mama yang pemarah. Mama yang selalu memarahi saya, jika saya berbuat kesalahan, meski itu sebuah kesalahan kecil. Sejak Papa pergi, Mama berubah menjadi seperti monster saat marah.
Saya kangen Papa. Papa pergi entah ke mana, beliau pergi tanpa berpamitan. Setiap saya bertanya kepada Mama perihal kepergian Papa, saya selalu dibentak. Kata-kata kotor dan jorok yang justru keluar sebagai jawaban.
Saya ingin bertemu Papa. Saya kangen dibacakan dongeng, bermain catur bersamanya. Saya harus cepat-cepat menemui Pak Kronos. Saya ingin bertanya kepada Pak Kronos, di mana saya bisa menemukan pesawat UFO. Kata Papa, jika suatu saat nanti Papa pergi, saya harus menjadi anak baik, anak yang pintar, nanti akan ada pesawat UFO yang datang dan membawa saya pergi menemui Papa.
Papa bohong. Sekarang saya sudah menjadi anak yang baik, saya juga menjadi juara di sekolah. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada pesawat UFO yang datang menjemput saya.
Saya ingin bertemu Papa. Saya kangen. Saya sudah tidak betah tinggal di rumah. Setiap saya bangun tidur di pagi hari, Mama masih tertidur dengan pulas. Saat saya pulang sekolah, terkadang Mama juga masih tertidur. Jika saya memintanya menemani saya tidur, Mama marah. Lalu beliau pergi, dan pulang sampai larut malam, terkadang malah sampai pagi. Kata Mbok Darmi–pembantu di rumah kami–Mama sedang bekerja. Namun, setahu saya bekerja itu dilakukan pada siang hari, bukan malam hari seperti Mama. Saat saya menanyakan hal itu pada Mama, beliau akan berkata bahwa itu bukan urusan anak kecil. Menjawab dengan suara keras, hingga memekakkan telinga saya.
Tanpa terasa mobil yang saya tumpangi telah sampai di depan rumah. Saya segera keluar dari mobil.
“Terima kasih, Pak Supri,” ucap saya sembari berlari kecil memasuki rumah.
Di depan pintu, saya melihat Om Jojo–tetangga sebelah–tengah duduk sembari melamun di teras. Sejak kematian Tante Marni, Om Jojo, sosok laki-laki periang, kini berubah menjadi pemurung. Mama juga seperti itu, setelah kepergian Papa, Mama jadi suka marah-marah. Apa orang dewasa memang seperti itu? Sikapnya akan berubah jika ditinggalkan oleh orang yang disayanginya?
Om Jojo menatap saya lekat-lekat. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Saya tidak tahu. Saya membalas tatapan Om Jojo dengan senyuman. Setelah itu, saya memasuki rumah.
Setelah berganti baju, saya segera keluar kamar. Pergi ke kamar samping. Melihat keberadaan Mama. Setelah memastikan bahwa Mama masih tertidur pulas, saya pun berlari kecil menuju garasi, mencari sepeda lipat berwarna ungu.
“Non, mau ke mana?” tanya Pak Supri yang tengah menikmati secangkir kopi.
“Cia mau ke museum. Tapi, Pak, jika Mama bertanya, bilang Cia main ke tempat Joni, ya?”
“Sip, Non. Hati-hati.”
Saya mengangguk. Lalu menaiki sepeda menuju Museum area 15. Saya hanya perlu melewati taman depan rumah yang ditanami beberapa pohon akasia, lalu berbelok ke kiri, maka museum mini itu sudah terlihat. Saat melewati rumah nomor 6, terdengar teriakan seseorang memanggil saya.
Saya mengabaikan panggilan itu. Saya tahu siapa pemilik suara itu. Saya tidak suka dengannya. Bocah itu terlalu banyak tanya tentang apa saja yang saya lakukan.
“Ciaaa, tunggu!” seru Joni sembari mempercepat laju sepedanya.
Saya tidak mengindahkan ucapan Joni. Saya justru mempercepat laju sepeda. Tidak lama kemudian, saya sudah sampai di depan museum. Setelah memarkirkan sepeda, saya segera memasuki museum.
“Kamu budek ya? Dipanggil-panggil tidak menyahut?” tanya Joni terlihat kesal.
“Kamu sudah tahu, kan, saya mau pergi ke mana?” Saya balik bertanya.
“Tahulah, ke mana lagi kalau bukan ke sini. Tiap hari melihat-lihat barang yang sama. Kamu tidak bosan?”
Saya menggeleng. Seperti biasa, saya selalu mencari album foto yang berisi penampakan gambar-gambar pesawat UFO.
“Sebenarnya apa yang sedang kamu cari di sini?”
Saya diam, malas sekali rasanya menjawab pertanyaannya. Saya tidak mau bocah itu tahu bahwa saya sedang mencari keberadaan pesawat UFO. Saya takut Joni juga akan menertawakan saya seperti Glory dan Martha. Kata mereka, saya gila. Tidak mungkin ada UFO. Pesawat UFO hanya ada di film-film saja. Lalu mereka akan menertawakan saya sampai mereka puas.
“Cia, apa yang kamu cari?” tanya Joni lagi.
“Tidak ada.”
Setelah menemukan apa yang saya cari, saya segera mencari Pak Kronos–pemilik museum–hendak menanyakan sinar terang yang melintas di atas kompleks kami, semalam.
Senyum saya mengembang saat melihat Pak Kronos dan Pak Korris tengah terlibat obrolan sembari membersihkan lemari kaca yang berisi batu hijau. Batu dengan unsur kimia kr (Krypto). Di samping kotak kaca berisi batu hijau itu, terdapat beberapa potong meteorit (batu meteor) berjajar rapi.
“Selamat datang, Cia, Joni. Ada yang bisa Bapak bantu?” sapa laki-laki 50 tahun di hadapan saya.
Sebenarnya, saya ingin bertanya, tetapi masih ada Joni di sini. Akhirnya, saya lebih memilih diam. Berharap bocah tengil itu segera pergi dari sini. Doa saya langsung terkabul. Terdengar suara seseorang memanggil Joni dari luar museum. Syukurlah, Bu Andi segera memanggil anaknya yang menyebalkan itu. Mendengar teriakan ibunya, Joni segera berpamitan dengan Pak Kronos dan Korris, juga pada saya.
Setelah memastikan bahwa Joni benar-benar sudah pulang, saya pun mendekat Pak Kronos.
“Pak.”
“Iya, Cia?”
“Cia mau tanya.”
“Tanya apa? Silakan tanya saja.”
“Semalam Cia lihat ada cahaya terang yang melewati langit. Apakah itu pesawat UFO?” tanya saya.
Pak Kronis diam. Sepertinya beliau tidak tahu maksud ucapan saya.
“Pak Kronos tahu di mana tempat pesawat UFO berada?” tanya saya sembari menunjukkan salah satu gambar yang menyerupai piring terbang di buku yang saya pegang.
Pak Kronos mengerutkan keningnya.
“Cia ingin ke sana.”
“Mau ke sana?”
“Cia ingin menemui Papa.”
“Menemui Papa Cia?” tanya Pak Kronos yang terlihat semakin tidak paham dengan ucapan saya.
“Kata Papa, kalau Cia udah jadi anak baik, anak yang pintar, nanti akan ada pesawat UFO yang akan menjemput Cia untuk menemui Papa. Makanya Cia bertanya sama Pak Kronos. Kalau Bapak tahu di mana pesawat UFO berada. Kasih tahu Cia. Cia mau ke sana.”
Pak Kronos tidak menjawab pertanyaan saya. Laki-laki di hadapan saya itu mengelus rambut panjang saya dengan lembut. Laki-laki itu sepertinya tengah merangkai kata-kata untuk menjawab pertanyaan saya.
“Cia, Sayang. Papa Cia sudah di surga. Pesawat UFO tidak bisa pergi sampai ke sana. Yang bisa membuat Cia bisa bertemu Papa yaitu dengan berdoa.”
Mendengar jawaban Pak Kronos, saya segera menaruh album di tangan saya, lalu pergi meninggalkan museum dengan perasaan sedih. Tidak ada yang percaya dengan ucapan saya. Tidak Mama, teman-teman, bahkan Pak Kronos.
Yogyakarta, 23 Februari 2021
Lintang Ayu, pencinta fiksimini