Menunggu Ayah

Menunggu Ayah

Menunggu Ayah

Oleh : Indhira Syah

“Bu, kenapa ayah belum pulang juga?” tanya Salsa kesekian kalinya. Mata gadis kecil itu terus saja memandang ke jendela kamar. Sesekali ia berdiri di dekat jendela seraya tangannya menyibak gorden yang menutupinya. Jika lelah berdiri, ia kembali duduk di kasur dan mengambil buku cerita kesayangannya.

“Sabar, ya, Sayang.” Entah sampai kapan aku membohonginya. Rasanya masih belum sanggup untukku mengatakan hal sebenarnya. Aku tidak sampai hati melihat putri kecilku bersedih.

Salsa sangat suka mendengarkan cerita dari buku yang dibacakan ayahnya. Mas Wahyu–Ayah Salsa–sangat pandai dalam bercerita. Ia seringkali bercerita atau mendongeng sebelum Salsa tidur. Awalnya atas inisiatif Mas Wahyu, lama kelamaan Salsa ketagihan. Tiap malam sebelum tidur, Salsa pasti meminta Mas Wahyu bercerita untuknya.

“Sayang, sini Ibu saja yang bercerita.” Lagi, aku coba membujuknya.

Ia hanya menggeleng, tangan mungilnya menggenggam erat buku cerita kesayangannya.

“Ibu juga bisa bercerita seperti ayah.” Aku meyakinkannya sekali lagi.

“Gak mau, Salsa cuma mau sama ayah. Suara ayah bisa buat salsa tidur.” Ia merebahkan tubuhnya, menyimpan buku cerita di balik selimut. Ia lalu meraih boneka di sisi ranjang untuk kemudian dipeluk. Detik berikutnya, ia mulai memejamkan mata.

Tidur yang nyenyak, ya, Sayang. Semoga ayahmu datang dalam mimpi yang indah. Maafkan ibu, tidak bisa bercerita seperti ayah. Aku mengecup keningnya, matanya sedikit bergerak. Sepertinya ia masih terjaga.

“Jangan lupa baca doa, ya, Sayang.” Kukecup keningnya sekali lagi. Aku pandangi wajah Salsa. Ia begitu mirip dengan ayahnya.

Tiba-tiba saja ingatanku melayang pada malam itu. Seminggu yang lalu, Mas Wahyu pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Setelah salat magrib dan makan malam, ia menghabiskan waktu menemani Salsa di kamarnya. Aku juga ikut menemani sambil mengerjakan pesanan, merajut sepatu bayi. Ya, aku menerima pesanan sepatu rajut.

“Ayah, coba lanjut cerita yang kemarin.”

“Oke, Tuan Puteri.”

Mas Wahyu mulai bercerita tentang kancil, kerbau dan buaya. Ia menikmati setiap cerita yang dibacakan. Kadang Mas Wahyu mempraktekkan beberapa adegan yang membuat Salsa tertawa. Setelah hampir selesai bercerita, Salsa tampak mengantuk. Ia akan meminta ayahnya berhenti cerita, jika matanya sudah tak kuat menahan kantuk.

Kalau diingat kembali, malam itu memang berbeda. Selesai bercerita, Mas Wahyu tidak langsung keluar kamar seperti biasanya. Setelah mengecup kening Salsa, ia memandangi wajah putrinya cukup lama. Sesekali tangannya membelai rambut gadis yang belum genap enam tahun itu. Bibirnya bergerak-gerak seperti sedang merapalkan doa.

Ketukan pintu mengagetkanku. Mama masuk membawa segelas air di tangannya.

“Nina, kamu belum minum obat, kan?” Mama mengeluarkan bungkus obat dari saku dasternya.

Aku sampai lupa belum minum obat malam ini. Sejak wafatnya Mas Wahyu enam hari yang lalu, aku hampir depresi sampai harus ke dokter. Kalau tidak ingat Salsa, mungkin aku sudah gila. Baru sejak pagi tadi, aku bisa berinteraksi dan beraktifitas seperti biasa setelah sebelumnya mengurung diri selama lebih dari tiga hari di kamar. Beruntung ada Mama yang mengurus Salsa.

*

“Ibu, ayah mana? Semalam ayah datang, terus bercerita tentang burung hantu.” Wajah Salsa tampak ceria pagi ini.

“Bu, kok diam? Ayah sudah berangkat kerja lagi? Salsa bangunnya kesiangan, ya?”

“Nggak, Sayang. Salsa kan selalu bangun pagi. Coba sini duduk di samping ibu.”

Salsa duduk di sampingku. Matanya langsung fokus pada tayangan di TV. Aku sengaja memindahkan channel ke kartun favoritnya.

“Coba Salsa ceritakan tentang burung hantu yang ayah ceritakan.”

Salsa mulai bercerita tentang burung hantu. Ia juga menceritakan kalau ayahnya semalam pulang kerja hanya untuk bercerita, dan tidak bisa bercerita setiap malam karena harus ke luar kota. Salsa bicara, seolah ia mengerti dengan apa yang ia ceritakan tentang mimpinya. Ya, ia hanya bermimpi tentang ayahnya. Namun, baginya itu merupakan kenyataan.

Dua hari kemudian

“Bu, kenapa ayah belum pulang? Apa masih lama menginapnya?”

Malam ini aku harus bilang yang sebenarnya. Cepat atau lambat Salsa akan mengetahui kebenarannya. Lebih baik, ia tahu dari aku, ibunya.

“Sayang, kalau ayah nggak pulang selamanya, bagaimana? Apa Salsa akan marah?” Aku membelai lembut wajahnya, merapikan anak rambut yang mulai menutupi matanya.

“Salsa nggak marah, memang ayah ke mana, Bu?”

Ya Tuhan, kuatkan hatiku. Ini semua salahku karena telah membohongi Salsa sejak awal. Setelah menerima kabar atas wafatnya Mas Wahyu, aku membawa Salsa ke rumah Septi, adikku. Pada saat itu aku belum sepenuhnya yakin dengan kabar dari kepolisian yang mengatakan bahwa Mas Wahyu mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal di tempat.

Aku meminta Septi untuk menjaga Salsa seharian, baru kemudian malam harinya usai tahlil pengajian, Septi membawa Salsa kembali pulang. Sementara aku mengurus kepulangan jasad Mas Wahyu sambil berurai air mata. Bahkan, aku sempat tidak sadarkan diri. Beruntung, banyak keluarga dan warga yang membantu mengurus pemakamannya hingga dilakukan pengajian malam itu juga.

“Ayahmu sudah meninggal, Sayang.”

Salsa bergeming. Matanya menatapku seolah ingin meminta penjelasan.

“Meninggal seperti kakek?”

Aku mengangguk, sepertinya mataku mulai basah. Aku tak boleh menangis di depan Salsa.

“Berarti ayah tidur di kuburan, Bu?”

“Iya, Sayang. Jadi, mulai sekarang ibu yang akan bercerita sebelum tidur.”

“Kenapa ayah meninggal, Bu? Semalam ayah baru aja pulang.”

Aku tak tahu bagaimana menjawabnya. Dada ini sudah sesak menahan air mata yang hendak keluar.

*

Salsa sedang berdiri di dekat jendela, matanya terus memandang ke arah jalan. Setelah lelah berdiri, ia lalu duduk kembali di sofa. Beberapa menit kemudian, Salsa kembali berdiri dekat jendela dan memandang ke luar.

“Bu, motor ayah belum kelihatan juga? Semalam ayah bilang, hari ini akan pulang dan membawa buku cerita baru untuk Salsa.”

Ya Tuhan, apa ia semalam bermimpi lagi?

“Ibu bohong, ayah belum meninggal. Semalam ayah bilang mau bercerita tentang burung hantu lagi.”

Air mata tak bisa kutahan. Aku merasa jadi ibu paling bodoh sedunia. Ibu menyesal telah membohongimu, Nak. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?

Depok, 19 Januari 2022

Indira Syah. Seorang wanita berdarah Sunda Betawi. Ia pecinta kucing dan penyuka nasi goreng. Penulis novel ‘Jodoh Sang Penulis’ dan beberapa antologi ini menyukai dunia menulis sejak SMP. Namun, baru menggelutinya sejak akhir 2019 lalu. Dengan menulis, ia berharap dapat menebar kebaikan.

Leave a Reply