Menunggu
Oleh : Freky Mudjiono
Puntung rokok saya isap dalam-dalam sebelum sisanya saya lempar begitu saja ke dalam got. Dalam kegelapan, bara dari tembakau itu terlihat melayang, menukik, kemudian menghilang. Pasti ia telah menyentuh air comberan yang tergenang. Lumayan untuk mengalihkan pikiran sejenak dari kedongkolan.
“Kenapa lama sekali, sih!” Setelah beberapa saat kembali hening, akhirnya keluhan itu meluncur juga dari mulut. Rasanya sudah lebih dari satu jam, saya menunggu di pinggir jalan yang gelap ini.
Sudah sepekan ini, istri saya selalu mengeluh setiap pulang kerja dari shift malam sebagai seorang kasir sebuah supermarket. Wanita bahenol yang telah setia mendampingi selama lima tahun itu tidak henti mengomeli lampu jalan yang padam dan tidak kunjung diperbaiki. Gang menuju rumah kami, menjadi sangat gelap di malam hari. Ia mengeluh, sering ketakutan sendiri saat berjalan di sana, membayangkan seseorang menyergapnya dari balik rimbunan pohon pisang yang mengapit sisi kiri dan kanan jalan. Sebelumnya, saya tidak menghiraukan hal itu. Toh, ia sudah terbiasa pulang sendirian.
Namun, entah kenapa, malam ini saya dilanda romantisme berlebihan. Berniat memberi kejutan, saya berdiri di depan gang yang gelap, menyabarkan diri menanti ia tiba dengan angkutan kota yang mulai jarang seiring malam yang semakin larut. Iseng, saya merogoh ponsel dari saku, lalu mengetikkan sebuah pesan di aplikasi Whatsapp.
Kenapa belum pulang?
Pesan itu saya kirimkan dengan cuilan harapan untuk menemukan titik terang berapa lama harus menunggu.
Lagi di jalan, Mas. Tidur saja duluan, aku bawa kunci, kok.
Sebuah balasan akhirnya muncul.
Baiklah, ia akan segera tiba. Wanita tercinta itu pasti akan kaget, atau mungkin melotot bahagia bila melihat saya menjemputnya. Kejutan!
Namun, angan saya tidak pernah menjadi kenyataan.
Sudah beberapa hari ini saya mencari keberadaan wanita tercinta itu ke mana-mana. Terakhir kali, saat saya menjemput malam itu, ia tidak kunjung tiba hingga larut, bahkan hingga pagi dan hari kembali berlalu.
Hidup saya menjadi kacau, putus asa dan nyaris gila. Bagaimana tidak? Hampir ratusan panggilan dan pesan yang saya kirimkan padanya sama sekali tidak dibalas. Segenap pikiran dan tenaga saya pun terkuras habis, mencari keberadaannya yang bagai menghilang ditelan bumi. Terus terang, rasa takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada wanita yang saya cintai, lebih mendominasi daripada amarah dan lelah yang juga mendera.
Berkali-kali, mimpi buruk hadir dalam tidur saya. Mimpi yang hampir sama selalu berulang, seorang pria membekap istri saya dari belakang, dan close up darah yang menetes dari telapak tangan. Tidak salah lagi, ini pasti pertanda buruk.
Bapak dan ibu mertua saya sampai datang dari kampung. Perasaan saya menjadi semakin tidak keruan. Mereka pasti menyalahkan saya karena tidak menjaga anaknya dengan baik.
“Pak, ini … ini saya mau lapor ke polisi dulu.” Suara saya pastilah terdengar gugup.
“Dodi … tidak perlu ….” Bapak Mertua saya menjawab nyaris tanpa ekspresi.
“Kenapa tidak, Pak!” Saya heran bercampur kesal. Tanpa sadar, nada suara saya meninggi. Ah, akhir-akhir ini, emosi saya memang gampang meledak. Menyesal rasanya melihat Bapak yang tergugu setelah saya bentak. Kasihan orang tua itu. Bagi yatim piatu sejak kecil seperti saya ini, mertua yang baik dan penyayang menempati posisi selayaknya orangtua sendiri.
Air mata saya meluncur tanpa bisa ditahan. “Maaf, Pak. Maaf …,” ucap saya berulang-ulang, berharap ia mengerti bahwa saya sama sekali tidak ingin menyakiti mereka.
Bapak terlihat risi dan sedikit takut melihat saya. Apakah genggaman saya di lengannya terlalu keras? Namun, bila dilepaskan, saya takut Bapak pergi sebelum saya sempat menjelaskan.
Dua pria berpakaian putih tiba-tiba sudah ada di samping. Dengan sigap, mereka melepaskan cekalan saya, dan menarik saya menjauhi Bapak.
“Tidak mau! Tolong saya, Pak! Bapak!” Saya berteriak memohon, tapi sia-sia. Dua pria bertubuh besar itu tetap membawa saya pergi.
Malam itu, di dalam ruangan mirip sebuah sel, saya kembali bermimpi. Seorang pria membekap istri saya dalam kegelapan. Istri saya meronta, berbalik dengan pisau terhunus yang entah diperolehnya dari mana. Pria itu menangkis, membela diri. Dalam pergulatan yang cepat, istri saya roboh ke tanah. Sebuah pisau menancap di perutnya.
Namun kali ini, mimpi itu sedikit berbeda. Saya bisa melihat dengan jelas. Pria itu adalah saya.(*)
Medan, 7 Juni 2020
Freky Mudjiono. Penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran tahun 1980. Ia mulai serius menekuni hobinya di literasi pada pertengahan tahun 2019. Memiliki keinginan untuk tampil keren, dengan meninggalkan jejak kehidupannya melalui dunia literasi.
Facebook : Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata