Menunggu

Menunggu

Menunggu
Oleh: Cahaya Fadillah

Sudah lima kali aku bolak-balik melewati pintu depan, halaman dan berhenti di pagar rumah. Sudah berkali-kali pula aku perhatikan detik dan menit berjalan sangat cepat dari layar ponsel yang kugenggam. Beberapa panggilan sudah kulakukan untuk mengetahui kabarnya, tetapi tidak pernah dijawab.

Mas, sudah di mana?

Pesan ke sekian dengan kata-kata yang hampir sama, selalu menanyakan keberadaannya. Tidak seperti biasa, hari ini ia pulang terlalu lama, tidak meninggalkan pesan dan parahnya tidak menjawab telepon dan pesan-pesan yang kukirimkan.

Es teh manis dengan gelas super besar sudah kusajikan di meja makan, biasanya kami berbuka cukup dengan minuman dingin itu, berbagi dan lepaslah dahaga. Tidak ada apa-apa lagi di kulkas untuk camilan teman minum teh dingin itu, setidaknya sebuah gorengan atau roti. Namun tidak kali ini, karena suami berpesan dia yang akan belanja, jadi aku tidak perlu susah-susah mengendong si kecil sambil membawa keranjang belanja di antara pembeli di pasar yang tidak pernah lengang. Kembali kulirik detik jarum yang berganti di ponsel, tidak ada tanda-tanda panggilan atau pesanku akan dibalas. Mungkin saja suamiku sibuk memilih lauk pauk di antara kerumunan ibu-ibu, memilih cabai di antara tangan gesit para wanita atau sedang bernegosiasi masalah pengurangan harga, sehingga tidak mendengar panggilan dari ponselnya.

“Ma, lama kali Ayah, ya,” ucap lelaki kecil yang sedari tadi sibuk mengikutiku berbolak-balik antara dapur, ruang tengah, ruang tamu dan halaman rumah.

“Iya, mungkin Ayah beli es cendol dulu, beli ayam bumbu buat Dedek atau mungkin lagi ngantre beli donat,” jawabku sambil tersenyum menatap mata bulat si kecil yang tampak serius menanyakan keberadaan ayahnya.

Si kecil tidak bisa diam, dari mulutnya terdengar pertanyaan yang sama: Ke mana Ayah? Lama kali Ayah. Ilang Ayah, Ma. Ucapan-ucapan itu selalu terdengar mengikutiku.

Mungkin rasa khawatirnya sama juga dengan rasa khawatir yang aku rasakan sehingga pertanyaannya selalu saja tentang ayahnya.

“Bukan hilang, Nak. Ayah kan kerja, mungkin sedang di jalan mau pulang, beli ikan buat Mama masak besok, terus Dedek makan,” ucapku menjelaskan.

“Iya, lama kali Ayah kerja ya, Ma,” ucapnya lagi sambil mengerutkan bibir mungil seperti sedang berpikir keras.

Ucapan-ucapan dari mulut anakku akhirnya membuat hatiku semakin bertanya-tanya. Ke manakah suamiku  yang belum juga pulang, padahal tidak lama lagi Magrib datang.

***

Allahu Akbar … Allahu Akbar ….

Azan berkumandang, kutatap es teh manis yang kubuat untuk suamiku, ingin rasanya es itu dibagi berdua dan kami berbuka bersama-sama, tetapi kali ini sepertinya hanya aku yang harus meminum air teh ini. Kembali langkahku terhenti sebelum berbuka dengan membasahi tenggorokan dengan teh yang tersaji. Aku masih penasaran, di mana suamiku. Kutekan nomor teleponnya sekali lagi, tersambung untuk beberapa saat, lalu tidak adanya jawaban membuat panggilan itu berhenti kemudian.

Kulangkahkan kaki menuju pintu depan, masih penasaran sedikit mempercepat langkah kubuka pagar rumah, berjalan pelan menyusuri halaman depan, kutatap sudut jalan dengan hati yang mulai berdebar. Ke mana suamiku?

“Magrib, Ma. Kata Ayah kalau Magrib tidak boleh di luar.” Si kecil memanggilku yang terlihat seperti orang bingung di depan rumah. Anak usia tiga tahun ini cukup pintar mengingat perkataan orangtuanya, baik itu nasihat atau larangan. Hal apa saja yang disampaikan akan disampaikan balik olehnya jika melihat hal yang terjadi tidak sama dengan apa yang dinasihati.

Kulepaskan sesak di dada, kuembuskan napas dengan berat. Berjalan menuju rumah dengan perlahan, menutup pagar, masuk dan mengunci pintu depan. Langkahku dipercepat menuju dapur, mengingat belum juga berbuka, es teh manis yang sudah kehilangan es batu itu akhirnya kuseruput perlahan setelah membaca doa.

“Alhamdulillah, segar, Dek. Mau?” tanyaku kepada si kecil.

Ia mengangguk dan dengan polosnya menunggu suapan dariku. Kini aku dan si kecil mulai fokus pada buah semangka, kusuapi si kecil lalu kusuap juga ke mulutku walaupun rasanya sedikit asing. Ya, ada yang kurang hari ini, yang ditunggu tidak juga menampakkan batang hidungnya.

Beberapa potong semangka dan segelas es teh manis sudah cukup membuat dahaga karena berpuasa seharian berkurang.

“Mama salat dulu ya, Dek. Dedek duduk makan semangka sambil nonton TV, ya,” ucapku memberi perintah pada si kecil dan ia mengiyakan.

Perasaanku mulai tidak tenang, ada rasa khawatir yang berlebihan, ingin rasanya menangis, tetapi takut perasaan itu merusak kesadaran. Kulangkahkan kaki secepatnya menuju kamar mandi, mengambil air wudu dan segera salat Magrib.

Tiga rakaat kulakukan dengan mencoba khusyuk, walaupun hati dan pikiranku mulai goyah karena rasa khawatir yang berlebihan. Selepas salat, dengan berurai air mata, kuminta agar suamiku selalu dijaga oleh-Nya, memohon agar perasaan takut dan khawatir ini hilang sampai aku bisa melihat suamiku pulang seperti biasa: memelukku dan anak kami, makan bersama dan tertawa bersama.

Bunyi ambulans terdengar nyaring di telinga, suara ketukan pintu terdengar memaksa. Seseorang berteriak memanggil-manggil namaku, dengan cepat kubuka pintu.

“Ada apa?” tanyaku kurang nyaman.

“Suami Ibu, dilarikan ke rumah sakit, kecelakaan di depan tadi. Ayo, Bu, cepat! Darahnya banyak, mungkin Bapak butuh tambahan darah.”

Bagai disambar petir, tubuhku tidak merespons. Kaku, tapi air mata malah jatuh semaunya. Kesadaranku perlahan pulih, kugendong si kecil, berlari ke kamar mengambil barang yang kuperlukan dan pergi tanpa melepas mukena yang kupakai salat Magrib tadi. Motor berjalan entah dengan kecepatan berapa, yang pasti dalam sekejap aku sudah sampai di depan rumah sakit, mengendong si kecil sambil menangis, lalu masuk mencari keberadaan suamiku.

Darah segar menutupi seluruh tubuhnya, beberapa luka terlihat jelas di sekujur tubuhnya. Lemas, aku berteriak memanggil-manggil namanya, tetapi tidak ada jawaban dari suamiku. Si kecil di gendongan pun ikut memanggil ayahnya yang tidak sadarkan diri. Rasanya, kaki ini tidak menginjak tanah, terapung-apung dalam lautan yang entah kapan sampai ke daratan.

“Ma, udah makan?” tanya suamiku dengan suara khasnya yang berat.

“Gimana bisa makan, Yah. Kalau Ayah begini,” ucapku sambil menangisi atas apa yang kualami.

“Ee, kok malah nangis, makan dulu, kalau lapar nanti pasti air matanya berhenti,” ucap suamiku sambil tersenyum.

Perlahan kubuka mata, merasakan sakit di kepala dan mata yang panas. Kulihat si kecil sudah berpindah ke pangkuan suamiku.

“Mama mimpi?” tanya suamiku sambil menghapus air mataku berkali-kali.

“Astagfirullah, Mama mimpi, Yah. Sedih.”

“Ia mungkin karena lapar. Yuk, makan, Ayah belikan rendang. Tadi ngantre lama buat dapetin ini.” (*)

 

Cahaya Fadillah. Lahir di Bukittinggi-Sumatra Barat tahun 1988. Seorang ibu rumah tangga keturunan Minang ini menyukai dunia menulis sejak kecil. Namanya sudah tercatat dibeberapa antologi khususnya puisi, juga aktif di blog dengan nama pena yang berbeda. Ia berharap setiap karya yang dihasilkan dapat berbagi pelajaran untuk pembaca. Ingin mengenal penulis lebih dekat silakan di Facebook : Cahaya Fadillah, Instagram : @catatancahayafadillah atau Email : caahaayaa.faadillaah@gmail.com.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply