Menjalin Kita
Oleh: Wardah T.
Kita menjalin: kamu dengan ambisi, aku dengan delusi. Kita bertemu, memelihara keinginan bercumbu, tetapi tidak bertuju.
Hotel yang sama, di kamar dengan pintu bernomor 208, kamu memintaku ke sana menjelang malam tiba melalui panggilan di pagi yang menghancurkan selera sarapan. Kata-katamu menawarkan harapan. Aku menduga, barangkali kamu telah menginginkan aku sebagai orang yang tepat memangku kepulangan, sebab itu aku patuh dan senang.
“Sampai jumpa nanti malam. Aku merindukanmu.”
Aku datang pada tempat yang menggemakan sempilan dialog terakhir kita. Dengung konversasi itu terdengar jelas di antara bunyi ketukan tungkak sepatuku. Ini pertanda, segala tentangmu di tempurung kepalaku tak pernah lekang.
“Bagaimana rasanya menikah?” tanyamu saat itu.
“Bagi yang lain mungkin menyenangkan.” Itulah awal aku dan kamu terangkum dalam ‘kita’. “Bagiku hanya syarat melahirkan keturunan.”
“Kenapa begitu?”
Aku mengangkat bahu. Tak ada penjelasan lebih konkret selain hubungan palsu. Pria pilihan orang tuaku butuh ahli waris sebagai penimbun rupiah, sedangkan aku wanita sial karena pasrah. Tak ada ‘saling’ padaku dan suamiku yang masing-masing.
“Anakmu?”
“Bersama bapaknya yang mendamba keturunan, dan aku sendiri dengan kebebasan.”
Kamu terbahak-bahak untuk beberapa jenak. Mentertawakan nasibku barangkali. Padahal, kamu tak jauh beda. Mungkin kalau mau, saat itu kamu sudah punya anak.
Dari ceritamu yang panjang, sudah kamu arungi puluhan gadis lajang. Persis profesimu sepuluh tahun terakhir, mengarungi lautan sebagai pelayaran yang tak kenal pesisir. Bergonta-ganti pasangan ranjang bukan hal tabu bagimu.
“Apa yang kamu mau dari pasangan?” Seperti negosiator, kamu bertanya tanpa tedeng aling-aling.
“Pertanyaan sinis.” Benar-benar tak ingin kujawab, walau hatiku sempat berkata: kehangatan.
“Hahaha … Bukan begitu. Mantan suamimu mapan, kamu sudah jadi nyonya terpandang, kenapa masih memilih pisah?”
“Terus bagaimana denganmu? Kenapa belum menikah di usia setua ini?”
Kamu memalingkan fokus dari wajahku yang mungkin sudah seperti puncak Everest. Berbeda dengan satu jam sebelumnya. Kamu bergelora, aku terbakar.
Pertengahan 30 bagiku usia lambat dalam membangun rumah tangga, tetapi bagimu terlalu muda. Hal ini terbukti dari kamu yang menjalani hubungan kita dengan santai.
“Aku cari perawan,” jawabmu setelah bernapas tenang.
Kalimat itu seharusnya menandaskan, hubungan ini sebatas badan. Bukan hati yang selama ini aku inginkan. Minatmu padaku sebatas teman ranjang.
Lalu malam ini aku kembali, pada situasi tanpa dimengerti. Sama dengan kemarin. Kamu sibuk sendiri, dan aku masih menanti. Kapan akhirnya ada sepakat ‘kita’.
Kamu datang tanpa diundang, membawaku pada masa lalu di tempat yang sama. Bermesraan dalam kamar di bawah cahaya samar. Bedanya, aktivitas dua tahun silam yang terulang menjadi pengantar pernyataanmu yang sukar.
“Bagaimana kalau kamu jadi istri keduaku?”
Ternyata ‘kita’ dalam pengertianmu hanya untuk satu desah, selebihnya tinggal aku yang meresah. Dua tahun penantianku terangkum dalam satu kesimpulan. Waktu tidak selalu mengubah. Kelak dan nanti itu sama arti. Seperti kemarin, hari ini, dan esok hari, kealpaanmu sudah tak bisa dielak lagi, mengakar dan jadi tradisi. Tak perlu mengomentari bagaimana aku menunggu pintu ruang ini terbuka kembali, melebarkan jalan untuk kamu datangi.
“Aku menikah ….”
Kamu sudah mencapai ambisi, perawan yang jadi obsesi, sudah berhasil kamu nikahi.
“… dengan seorang gadis.”
Kegiatan mengancingkan kemeja aku hentikan, menoleh kepadamu yang berada satu meter di belakangku. Tatapanku seperti laras panjang yang membidik tepat pada matamu yang kelam.
“Sensasi perawan hanya di malam pertama saja. Bukan jaminan kebahagiaan. Kurasa, aku mengerti perasaanmu di malam terakhir kita dua tahun lalu.”
Kamu menatapku dengan mata nelangsa. Seperti ingin menerjemahkan ayat-ayat penyesalan yang kamu timbun dalam pasal-pasal kerinduan. Aku bergeming meski menerima rangkulan dan cumbuanmu di sebidang wajahku.
“Jadilah istri keduaku. Aku ingin punya rumah senyaman hatimu.”
“Istrimu?”
Rangkulanmu mengencang. Seperti sandi yang ingin menjelaskan betapa kamu tak ingin kehilanganku.
“Sebagaimana katamu dulu. Pernikahanku dengannya sebatas alat menghasilkan keturunan, bukan mendapat dan memberi kehangatan.”
Dalam percakapan omong kosong ini, kamu mengabari, seminggu lalu istrimu melahirkan anak laki-laki. Karena itulah kamu di sini merajut ‘kita’ dalam berahi.
“Tinggalkan!” kataku dengan intonasi jelas dan tegas.
Semburan hawa hangat kurasakan menyapu riap-riap anak rambut di tepi dahi saat kamu mendesah. Seperti membenturkan kerumitan pada udara kamar yang terasa kian pengap. Sebab hati kita tidak memiliki sirkulasi.
“Aku tidak bisa. Dia pilihan orang tua.”
Rumus hubungan kita seperti rangkuman matematika: tambahan yang perlu dikali kemudian dibagi sama dengan pengurangan yang hasilnya nol. Meski begitu, kamu menarikku. Mengajakku menenggelamkan rumus-rumus itu untuk menghasilkan pecahan sempurna dalam ritme percintaan. Padahal, pecahan tidak akan pernah sempurna. Sebatas bagian. Seperti kita. Kamu dan aku bagian dari kita.
Oleh sebab itu, di bawah selimut ini kita menjalin etape bermil-mil. Sebab kamu tak bernyali, dan aku kadung kerdil.
Madura, 27 Januari 2022
Wardah T. Editor lepas yang belajar menulis. Bisa ditemui di Facebook dengan nama akun Wardah Toyibah.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Devianart