Menjahit Hati

Menjahit Hati

Menjahit Hati
Oleh: Lutfi Rose

Kau tahu, bertemu denganmu membuat luka yang telah lama mengering kembali terburai. Hati yang sempat koyak menjadi serpihan kecil lalu dijahit agar tersambung, kini kembali koyak lagi. Sakitnya masih, bahkan kini makin sakit. Dulu aku harus memunguti potongan hati yang berserakan di sepanjang trotoar jalan menuju rumahmu. Kau bisa membayangkan bagaimana sulitnya, mengambil satu demi satu potongan kecil, bahkan ada yang hampir dilahap seekor anjing liar di beberapa langkah di depanku. Susah payah aku menghardiknya agar enyah dari potongan kecil itu. Aku berlari dan terus berlari dengan menahan agar detak jantungku tetap bertahan. Hingga aku sampai di depan rumah, terhuyung dan hampir tersungkur. Beruntung Kakak sedang memegang jarum dan sehelai benang di teras rumah. Aku merebutnya, tak peduli dia yang termangu menatap penuh kekhawatiran. Aku menjahitnya segera, menyatukan potongan demi potongan meski dengan bentuk yang tak sempurna, memasangkan kembali pada bagian dadaku yang kosong, tempatnya semula.

Berhari-hari aku terus berusaha merapikan jahitan di hatiku, beberapa kali aku harus menggunakan gunting kuku untuk memotong beberapa benang yang mencuat keluar. Sedikit saja potongan benang terlalu pendek, maka jahitan kembali terlepas, sakit sekali. Setiap tusukan jarum berbanding lurus dengan rasa pilu yang mendera. Aku menerawang jauh ke masa lampau dengan sesekali menatap bingkai foto kita berdua, sambil menggenggam sebuah jarum yang baru saja menusuki hatiku. Setiap kali melihat senyummu di dalam bingkai, hatiku kembali akan meledak, aku menekannya kuat. Mempertahankan hatiku tetap di tempatnya, agar tak koyak dan merusak lagi hasil jahitanku. Keseharianku seperti de javu yang terus berulang setiap hari : meyatukan hati yang berserakan, menjahitnya, berserakan lagi dan kusatukan lagi. Hingga pada suatu saat tanpa sepengetahuanku, Ibu membuang semua fotomu dari kamar, menukar ponsel yang selalu kupeluk sebelum tidur—menunggu jika sewaktu-waktu kau menghubungiku—dengan yang baru saat aku sedang tertidur lelap. Mungkin, ibu ingin hatiku berhamburan lagi.

Ketika aku terbangun, aku meraung-raung. Serigala kesepian di dalam tubuhku keluar di tengah malam, saat tak mendapati semua elok wajahmu dalam ruang persegi seluas 3 x 4 meter ini. Berhari-hari aku marah pada Ibu, tak makan, tak tidur dan tak melakukan apa pun. Duduk di pojok kamar sambil memeluk kedua lututku, dengan air mata yang terus saja terurai.

Perlahan aku benahi jahitan hatiku. Sedikit demi sedikit mulai tampak rapi. Usaha ibu yang pantang lelah, membelaiku setia waktu, mengganti perban di dadaku, dan sesekali membantu memeriksa benang yang mungkin terlepas simpulnya. Ibu mampu membuatku merasa tak sendiri, segala perhatian dia kumpulkan dalam sebuah kantong kain yang memiliki serutan di atasnya. Satu biji perhatian setiap hari. Biji yang belakangan baru aku tahu, bisa bersinar di kegelapan. Setiap resah itu mulai melanda, aku ambil satu biji perhatian, lalu kutelan bulat-bulat, maka kemuraman berbaur dengan sinar perhatian dan lenyap. Semua seolah berjalan begitu lamban, seiring hatiku yang mengering perlahan.

Hari ini hatiku sudah hampir sempurna, meski bekas jahitannya masih terlihat jelas, aku sudah mulai bisa hidup normal.

Lalu mengapa kau datang lagi? Menawarkan sebuah hati pengganti dengan bentuk yang begitu sempurna. Kau membungkusnya dengan begitu indah, dengan kotak kristal putih bening dan sebuah pita berwarna merah jambu yang disimpul rapi.

Apa maumu?

Aku meraba dadaku, terasa ada sebuah benang mencuat keluar dari dalam dadaku. Kau bisa lihat, bukan? Apakah ini yang kau mau? Tak membiarkan hatiku kembali utuh dan memulai kehidupan baru dengan orang lain.

“Aku ingin kembali menautkan hati kita, Seira,” ucapmu, menampilkan wajah paling sempurna dari koleksi wajahmu.

“Cukup! Aku sudah sangat lelah. Hanya orang bodoh yang mau melewati jalan yang sama, setelah dia terperosok di sana,” jawabku dengan nada yang mulai meninggi.

Bukan pergi, kau malah mendekatiku. Debar jantungku mulai makin menderu. Hatiku lantas mengucurkan nanah yang tak mampu kutahan. Mulut boleh bohong, tetapi hati tak pernah bisa berdusta. Hatiku seakan hendak meloncat mendekati hati yang kau bawa. Satu per satu simpul benang terlepas dari hatiku.

Aku tak tahan lagi, tangan kiriku menarik mukamu yang memelas. “Cukup! Buang rupamu yang ini, kau tak pantas mengenakannya,” teriakku sambil mengeluarkan seluruh tenaga yang kupunya.

Aku berhasil menarik ujung dagumu, kuperkuat tarikanku, dan kulit mukamu mengelupas hingga bagian dahi. Puas rasanya, aku dapatkan topeng memelasmu. Kau tak akan pernah bisa menampilkan wajah penuh kepolosan itu. Namun alangkah kaget diriku tatkala kudapati kau kembali tersenyum dengan wajah yang sama. Senyummu membuat hatiku makin bergejolak, nanah yang keluar dari dadaku makin banyak seiring jahitan meretas.

Apakah ini berarti kau sungguh-sungguh? Atau kau memang memiliki lebih dari satu wajah tulus? Aku masih belum bisa memercayai apa yang ada di hadapanku. Kutarik lagi wajah tulus keduamu. Kali ini lebih kuat dari yang pertama, sekali tarik semua bagian wajahmu terkelupas. Segera kulihat rupamu yang baru dan masih sama. Kuulang lagi dan lagi, menarik kulit wajahmu, hingga tanganku lunglai tak sanggup lagi, sedangkan kakiku mulai basah dengan nanah bercampur darah yang terus keluar.

“KAU LIHAT!” teriakku memaksamu menatapku dengan mata terbelalak. Aku tak kan sanggup lagi. Detak jantungku akan segera berhenti. “KAU PUAS?” tanyaku dengan nada makin meninggi.

Tanganku sibuk mengambil benang dan jarum dari dalam saku. Barang yang wajib aku bawa sejak peristiwa itu. Gemetar tanganku memasukkan benang ke lubang jarum, tergesa aku ingin segera membenahi jahitan hatiku yang hampir semua terlepas.

Bukannya pergi kau malah mendekatiku, menyentuh dadaku dengan tangan kananmu. Sekali sibak, kau ambil hatiku yang terburai tak berbentuk, kau masukkan hati yang baru menggantikannya.

“Ini akan lebih baik, Seira. Ini hatiku, untukmu.”

Seiring kata terakhirmu, baru kusadari dadamu kosong tanpa hati. Lalu tubuhmu mulai terhempas tak berdaya. Sebuah cahaya putih penuh kerlip serupa bintang mengelilingi tubuhmu, perlahan mengangkatnya. Sigap kuraih tanganmu, kutahan agar tak makin melayang menjauh, kupungut hatiku yang kau ambil, kupasang di dadamu yang bolong. Sayang, cahaya itu memagutmu lebih cepat. Dia menyelimuti ragamu makin erat, bergulung-gulung dan lebih cepat mengangkat tubuhmu makin ke atas, lenyap, menguap bagai asap. Aku tersungkur, memegang dadaku yang secara ajaib tak sakit lagi.

 

Lutfi Rose, seorang ibu yang menghapus kata menyerah dalam aksaranya. Akun fb, Lutfi Rosidah. Akun instagram, Lutfi_Rosidah. Akun wp Lutfi Rose.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata