Menjaga Wasiat Bapak

Menjaga Wasiat Bapak

Menjaga Wasiat Bapak

Oleh: Ray Eurus

 

Dia berlari tergesa dari arah kamar menuju dapur saat saya menutup jendela di samping pintu kamar, pada bagian timur bangunan yang terbuat dari perpaduan antara kayu ulin dan meranti. Saya merasa heran, apa yang sudah membuatnya sangat terburu-buru seperti itu, persis seperti keadaannya saat sedang terlambat melaksanakan salat. Saya segera menyusulnya ke sana untuk menjemput jawaban.

“Ah, dah renes[1].” Dia menggeser sedikit gorden tipis dari jendela dapur yang tak jauh dari meja makan, untuk memastikan keadaan di luar.

“Dah dari tadi geluduk sahut-sahutan, Bang. Ndik[2] dengar rupanya, ya?” timpal saya seraya berjalan menuju ke lemari perkakas dapur. “Adek kira, memang ndik nyiapkan.”

“Abang ketiduran. Harusnya tadi kitta[3] bangunkan. Selama Abang sehat, wasiat Bapak harus terus dijalankan,” terangnya, sambil menyambut sepaket teko dan gelas berbahan seng dengan motif lurik berwarna hijau dan putih dari tangan saya.

Saya jadi merasa tak enak karena membiarkannya tidur lebih lama sore ini. Sebenarnya, tak biasanya dia tidur pada waktu asar seperti ini. Jika bukan karena tampak jelas di mata saya, dia begitu rengsa sepulang dari kantor tadi, sudahlah saya cegah dia agar tak tidur sore. Persoalan kantor yang belakangan ini dikeluhkannya membuat saya jadi tak tega.

“Biar Adek je yang siapkan.”

Dia melirik sekilas ke arah saya, setelah menata teko dan gelas di atas nampan yang sudah tersedia di meja makan. “Biarkan Abang berbakti ke Bapak, ya? Jangan pula kitta ambil pahala bakti Abang,” ujarnya setelah tersenyum pada saya.

Ketika semua telah siap, dia mengenakan seraung[4] yang selalu tergantung di pintu keluar dapur. Kemudian, dia mengangkat nampan, lalu meminta saya membukakan pintu keluar. Dia menolak saya secara halus, saat saya menawarkan diri untuk menyertai dengan memayunginya. Padahal, hujan sudah makin deras.

“Tolong jagakan pintu dan tunggu sebentar di sini je, ya?” Hanya itu tugas yang dia amanahkan pada saya.

Saya sedikit menjenguk ke luar rumah, mengawasi langkahnya menuju gubuk—yang lebih seperti pendopo berukuran kecil—yang sengaja dibangun olehnya di depan rumah kami, tepatnya pada bahu jalan raya itu. Saya sempat heran saat dia membangun gubuk tersebut, kenapa tak membuat gazebo di dalam pekarangan saja, lalu membangun pagar agar rumah ini lebih aman.

“Tak perlulah, Dek. Kalo membuat gazebo di dalam pekarangan, orang-orang yang lewat akan segan jika hendak duduk-duduk.”

Begitu katanya, menimpali alasan kenapa memilih membeli tanah di pinggir jalan besar, menuju desa kecil ke hilir, alih-alih di tengah kota biar lebih dekat dengan kantor atau di perumahan-perumahan yang sedang digandrungi orang banyak.

“Menjaga wasiat Bapak.” Demikian penjelasan lainnya yang saya anggap sebagai alasan utama darinya, kenapa memilih tempat ini.

***

“Memberi itu jangan tunggu sudah jadi orang dulu, lalu dikasih ke orang tertentu pula. Memang benarlah, sedekah paling afdol kalo disalurkan pada keluarga terdekat atau anak yatim. Tapi, kalo diberikan ke orang yang tepat, lebihlah baik. Intinya … apa yang ada, selalu kita bagi untuk orang lain, meskipun nilainya tak seberapa. Baik saat lapang, ataupun tidak.” Begitu terangnya, mengenang Bapak saat saya tanyakan kenapa selalu menyiapkan teh panas saat hujan dan meletakkan begitu saja di gubuk pinggir jalan situ.

“Dulu, kami orang ndik punya, Dek,” ujarnya sedikit mengenang masa lalu, “kami bergantung hidup dengan hasil behuma[5] di sepetak lahan kecil, pemberian Kaik[6].”

Saya terkesima saat dia menceritakan betapa almarhum mertua saya mengajarkan hal yang sangat luar biasa kepadanya. Beliau selalu menjerang air saat langit mulai kelabu. Sesekali beliau juga menjerang ubi kayu atau keladi, jika persediaan ada. Saat titik-titik hujan mulai jatuh ke muka bumi, beliau segera menyeduh teh tanpa gula ke dalam teko seng. Kemudian sajian itu beliau letakkan di atas meja kecil di teras gubuk mereka, lengkap dengan tulisan; Halal. Silakan dinikmati.

“Biarpun tak manis, setidaknya segelas teh hambar ini, bisa menghangatkan siapa saja yang berteduh di sini.” Begitu dia mengulang kata-kata Bapak.

“Tapi, keadaan kitta sekarang ni dah nyaman, Bang, kenapa pula masih sibuk-sibuk menyediakan teh panas di pinggir jalan seperti ini? Kalo hendak bederma, sumbang ke masjid atau panti asuhan ajalah. Lagian, belum tentu pula ada yang berteduh,” sanggah saya, “apalagi, kendaraan yang lewat jalan sini sudah makin sedikit.”

“Justru itulah alasannya, Dek.”

“Adek ndik paham pun.” Saya mengernyit.

“Memang lebih banyak orang yang menggunakan jalan hulu, sebab dah terhubung Jembatan Kutai Kartanegara tu. Yang lewat sana sudah pasti sebagian besar para pelancong, ‘kan? Nah, jadi sudah bisa dipastikan yang lewat depan jalan sini adalah warga sekitar sini jua. Biarlah mereka yang lewat bisa berteduh dan menghangatkan diri sejenak sampai hujan reda, sebelum kembali ke tempat tujuan mereka. Kalo tak ada yang minum … ya, yang penting niatnya sudah tercatat satu ke dalam amal kebaikan kita. Dan sudah pasti, jadi jariah buat Bapak.” Dia berhasil membuat saya malu karena telah mempersoalkan hal tersebut.

“Kalo begitu, bolehlah Adek bantu sebagai bentuk patuh kepada almarhum Bapak jua.” Saya mencoba menawarkan diri.

Dia berterima kasih atas perhatian saya, lalu berkata, “Cukup bantu ingatkan Abang je, ya?” Setelah itu, dia membelai puncak kepala saya.

***

Dia meletakkan nampan ke dalam bak cuci piring, sepulang dari surau. Dia bilang, tehnya masih hangat saat dia menyesap sedikit sembari mengobrol sebentar dengan tetangga yang sama-sama pulang dari surau–magrib barusan–di gubuk depan. Saya pikir, isi teko itu habis karena diminum para musafir yang berteduh saat hujan tadi sore. Rupa-rupanya tidak.

“Biarpun ndik ada yang berteduh sore tadi, tapi tehnya tetap habis, ndik mubazir,” ujarmu. “Oh ya, menantunya Busu[7] Saleh, sore tadi melahirkan, loh, Dek. Bayinya perempuan,” lanjutnya menyampaikan kabar yang jadi topik pembicaraan bersama para tetangga tadi, sembari membasuh bersih teko dan gelas teh yang baru saja dia bawa.

Alhamdulillah, Bang. Adek jadi ndik sabar nunggu bulan depan.” Saya menunduk sambil mengelus perut.

Dia mendekat dan ikut mengelus perut saya. “Anak Bapak semoga sehat dan dalam perlindungan Allah sampai kapan pun. Nanti kalo dah lahir, Bapak beri wasiat jua buat melanjutkan wasiat dari Kaik, ya, Nak.” Dia berbicara pada perut saya seolah-olah anak kami ada di depan matanya saja. Dia lalu mengecup perut saya, takzim. Saya mengulas senyum sambil mengamini kata-katanya.

“Sesedikit apa pun yang kita berikan pada orang lain, bernilai pahala. Ndik ada alasan untuk menunda sedekah.” Dia mendongak dan menekuni wajah saya.

Saya jadi teringat pada pemuda yang lari tergopoh-gopoh menembus hujan mengenakan seraung dan memeluk termos kecil, di jalan setapak pinggir sawah yang kini telah berubah menjadi jalan tol. Pemuda tersebut menyerahkan termos kecil yang dibawanya kepada bapak saya. Kebetulan saat itu bapak saya sedang menjemput saya sepulang dari kota seberang, di persimpangan jalan tempat pemberhentian angkot.

“Agaknya bentar lagi hujan deras. Gegaslah!” perintah bapak saya, kala itu.

Bapak saya sengaja mengambil jalan pintas, jalan setapak pinggir sawah untuk memangkas waktu biar segera sampai ke rumah sebelum hujan runtuh. Akan tetapi, apalah daya upaya manusia jika berhadapan langsung dengan kuasa alam milik Sang Pencipta. Bapak saya mengajak berteduh ke gubuk terdekat, sebab bapak saya tidak membawa mantel.

Di sanalah saya pertama kali bertemu dengannya, sebelum akhirnya dia datang ke rumah dengan mengantongi selembar alamat yang akunya adalah pemberian bapak saya, sebelum berpamitan dengannya hari itu.

“Bapak kitta meminta Abang untuk menuntun anak dan cucunya kelak agar menjadi orang yang murah hati, saat beliau menyerahkan secarik kertas itu,” akumu saat malam pengantin kita.[*]

Balikpapan, 2 April 2021.

 

Catatan kaki:

  1. Renes, artinya gerimis (Bahasa Kutai)
  2. Ndik, artinya tidak.
  3. Kitta, artinya kamu (halus).
  4. Seraung, caping yang biasa dikenakan oleh suku Dayak dan Kutai, dianyam dari daun biru atau daun
  5. Behuma, artinya berladang.
  6. Kaik, artinya Kakek.
  7. Busu, artinya paman.

 

 

Bionarasi:

Ray Eurus, nama pena dari seorang penulis kelahiran Kota Tepian yang sudah dikaruniai lima orang putra-putri yang luar biasa. Silakan sapa penulis pada akun Facebook: Ray Eurus.

 

Editor: Inu Yana

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply