Menjaga Surga
Oleh: Ray Eurus
Editor: Nur Khotimah
Sore ini si Bujang terlambat. Harusnya, dari sebelum asar dia sudah di sini. Akan tetapi, sampai pukul 17:23 dia belum juga menunjukkan batang hidungnya. Ibu, sih, tak ambil pusing. Semua pekerjaan yang harusnya anak itu bereskan, hampir separuhnya ditangani beliau.
Oh, ya, si Bujang itu bernama Adul. Lengkapnya: Abdul Ghofur. Namanya bagus sekali, bukan? Sayangnya, masa kecil anak itu tak sebagus namanya. Memang tak ada sangkut paut mengenai nama dengan nasib bocah sebelas tahun ini. Akan tetapi, yang aku pahami, nama seorang anak itu adalah doa. Setidaknya, dia menjelma menjadi anak berhati emas dalam usia belianya itu. Mungkin itulah karimah dari namanya.
“Maafkan Adul, Bu,” ucapnya penuh penyesalan, setelah mengucapkan salam.
Ibu berkacak pinggang, menyambut kedatangan si Bujang. Padahal, beliau bukan marah atau seorang pemarah. Biasanya, beliau sengaja bersikap begitu agar si bujang merasa nyaman. Iya, benar. Merasa nyaman.
Kalian mengerti, ’kan, bagaimana caranya memanusiakan manusia? Sikap seperti itu justru akan membuat orang lain merasa nyaman. Saat kita salah, kita tahu kesalahan kita. Seperti itulah yang aku maksudkan. Asal tidak merendahkan orang lain saja.
“Ya, udah. Cepat bereskan sampahnya, ya? Syukur, Ibu gak sentuh sampahnya dari tadi. Masih Ibu sisakan kerjaan buat kamu, karena Ibu tau kamu bakal muncul.” Ibu mengangsurkan sapu dan pengki kepada si Bujang.
Tanpa pikir panjang, dia secepatnya menyelesaikan sisa pekerjaan yang sudah separuh jalan. Menyapu dapur sampai ke halaman belakang dan depan, mengumpulkan sampah-sampah, serta menyusun loyang-loyang yang sudah dicuci Ibu tadi. Seharusnya, mencuci perkakas kotor juga bagian dari pekerjaan si Bujang.
Ibuku memiliki usaha rumah tangga membuat kue kering. Pada bulan puasa dan atau hari-hari besar seperti menjelang hari raya kurban seperti saat ini, biasanya beliau membutuhkan pekerja tambahan. Ibu sebenarnya membutuhkan pekerja wanita dewasa, paling tidak anak gadis yang bisa disuruh membentuk kue-kue kering yang beraneka ragam di loyang-loyang sebelum di panggang.
Lantas, bagaimana Ibu justru memperkerjakan si Bujang, bocah sebelas tahun itu? Ah, ceritanya panjang.
Singkat cerita, tanpa sengaja si Bujang menolong Ibu membawa bahan-bahan kuenya dalam jumlah besar dari gerbang masuk kompleks perumahan kami, dua hari sebelum Ramadan lalu. Hari itu, Ibu bersikeras akan menyewa kendaraan umum saja saat belanja. Padahal, abang iparku menawarkan akan mengantar-jemput, karena sudah dapat dipastikan bahan-bahan kue yang dibeli Ibu dalam jumlah besar. Ah, tapi memang seperti itulah ibuku, tidak ingin berpangku tangan.
Nyatanya, mobil si sopir angkot mogok di sana. Ya, itulah jalan hidup. Sebenarnya tidak ada yang serba kebetulan. Semenjak saat itulah si Bujang bekerja membantu usaha Ibu di rumah, walau hanya urusan beres-beres saja. Makanya, dia baru akan muncul saat sore menjelang.
***
“Abang, upahku minggu ini, pegangkan lagi, ya? Nanti, seperti janjimu … temani aku.” Si bujang memainkan alisnya naik-turun saat menyerahkan amplop putih kecil pemberian Ibu tadi. Ibu sengaja memberikan upahnya di awal pekan, agar tak ada alasan dia mangkir.
“Nih, udah kupegang!” Aku menyentuh sekenanya, lalu pura-pura hendak berlalu.
Dia merengek, “Ih, Abang! Jangan gitu, nah.”
Aku jadi bingung, sejak kapan aku punya adik seperti si Bujang ini? Kenapa sikapnya tiba-tiba seperti anak bungsu Ibu saja? Padahal, kan, aku tak punya adik. Ck!
***
“Mamakku sekarang jarang marahi aku, Bang,” lapornya saat selesai salat Magrib di musala kompleks.
Aku melihat sekilas ke arahnya, lalu merundukkan sedikit kepala. “Apa kubilang. Manjur, ’kan?” ucapku setengah berbisik, karena orang-orang masih sibuk berzikir. Tak patut rasanya bercakap-cakap di saat seperti itu.
Si Bujang berkata, “Terima kasih, ya, Bang.”
Aku manggut-manggut sambil menepuk-nepuk dada sendiri. Sempat tertangkap oleh ekor mataku, dia nyengir kuda karena tingkahku barusan.
Sejak hari pertama dia membantu Ibu di rumah, kami sudah mulai akrab. Mungkin itu karena aku tak punya adik, dan dia anak pertama. Jadi, kami bisa merasakan hal yang tak mungkin kami rasakan.
Belum lagi, si Bujang ini tanpa kuminta menceritakan alasannya mencari pekerjaan, sudah nyerocos sendiri. Jadilah aku tahu banyak mengenai kehidupannya dan menjadikanku makin penasaran untuk mengorek lebih jauh tentang kehidupan pribadinya, mulai dari; berapa jumlah saudaranya, siapa bapaknya, sekolah di mana, suka mata pelajaran apa, sampai sudahkah dia punya pacar.
Si Bujang sebenarnya anak tunggal. Bapaknya telah lama meninggal, lalu mamaknya menikah lagi dan punya dua anak yang masih kecil-kecil. Mirisnya, ayah dari dua saudara tirinya ini sekarang tak tahu kabar rimbanya. Jadilah, mamaknya kepayahan mengurusi nafkah tiga orang anak seorang diri.
Atas alasan itulah, mamaknya sering marah-marah kalau si Bujang jarang di rumah. “Main aja, bisamu!” kata si bujang, menirukan muntahan emosi mamaknya.
Jadi, aku anjurkan dia untuk membawakan buah tangan kalau pulang, apalagi dia pulangnya malam—selepas salat Isya. Kadang-kadang, dia dibekali Ibu buah tangan dari rumah. Selebihnya, dia akan membelikan telur, atau sarden, atau sesekali nasi goreng buat dimakan keesokan pagi.
***
“Bang, uangku aman, ’kan? Gak kamu selipin, ’kan? Sudah berapa?”
Ini bocah, kenapa, sih? Aku mengernyit, tak menjawabnya.
Si Bujang berkata lagi, “Bang, kapan bisa temani aku? Sehari aja kita jalan malam izin sama Ibu, temani aku bisakah? Nanti aku traktir.”
“Wani piro?” Aku melipat tangan di depan dada.
“Makanya, hitungkan dulu, itu berapa sudah totalnya,” desaknya.
“Coba kamu hitung sendiri,” jawabku, “Kamu sudah dua belas hari, ’kan, ya? Nah, dikalikan 25 ribu. Berapa, coba?” Aku sengaja hendak mengetes kemampuan matematikanya.
Si Bujang tampak berpikir keras. Namun, tak terlalu lama dia sudah memberikan jawaban yang tepat. Hebat juga bocah ini.
“Heran aku. Kamu kalo kusuruh baca koran, masih terbata-bata. Kalo kusuruh nyebutkan angka pake bahasa Inggris, masih salah-salah. Kenapa kalo ngitung duit cepat?”
“Urusan hidup dan mati itu, bah, Bang. Makanya aku pintar ngitung,” selorohnya sambil tertawa-tawa.
Aku geleng-geleng kepala mendengar jawabannya. “Memang, mau dibelikan apa, sih, uangnya? Kamu mau belikan kado pacarmu, ya?” gurauku.
Si Bujang mencebik. “Aku mau menjaga surga, Bang,” jawabnya sambil membusungkan dada.
Aku keheranan. Aku menaikkan alis satu kali, menuntut penjelasan.
Si Bujang berkata, “Mau belikan sandal mamakku, Bang. Sama carikan itu, nah, yang buat supaya kaki mulus. Kasian kaki mamakku pecah-pecah. Mana sering ngeluh perih, gara-gara kutu air. Kasian aku, Bang. Masa surgaku begitu bentuknya.”
Apa-apaan si Bujang ini? Kenapa dia berhasil membuatku seolah-olah menjadi anak yang tak berguna seperti ini?
“Oya, Bang. Kenapa uangnya masih utuh 25 ribu dikalikan dua belas itu tadi? Kan, aku sudah ambil beberapa kali? Eh, bukannya dikalikan empat belas, ya? Kan, Ibu bayar duluan untuk minggu ini.”
“Kamu cerewet betul, eh! Sudah, jangan khawatir. Kamu nyimpan uang ke orang yang tepat. Uangmu berbunga di tanganku,” selorohku. Padahal aku tak pernah menghitung berapa jumlah uang dari balik amplop yang dititipkannya itu.
Si Bujang tampak keheranan. “Bunga itu, bukannya kalo kita ngutang aja, ya? Kok—”
“Nah, ketauan suka ngutang anak ini! Kukasih tau mamakmu nanti.” Aku senang sekali menggoda si Bujang.[*]
Balikpapan, 14 Juni 2021.
Ray Eurus, adalah nama pena dari seorang penulis yang lahir di Kota Tepian dan tengah menyelesaikan novel solo ketiganya tentang si bujang yang ada di dalam cerpen kali ini dengan latar tempat tinggalnya tersebut. Silakan sapa penulis pada akun Instagram: Ray Eurus.