Menjadi Perempuan Tak Selamanya Benar
Oleh: Reza Agustin
Perempuan tetaplah perempuan. Dipaksa lekat dengan sifat lemah lembut dan patuh kepada lelaki. Pramita pun sama. Masa kecilnya dihabiskan dengan banyak mendapat wejangan tentang menjadi istri dan ibu baik, tetapi tak pernah sekalipun mendapatkan perhatian tentang pendidikan dan keinginan pribadinya. Berkebalikan sekali dengan dua adik lelakinya yang selalu mendapatkan fasilitas terbaik dan dibebaskan dengan segala pilihan mereka.
Lelah dengan keluarganya, Pramita memutuskan keluar dari rumah ketika lulus sekolah menengah atas. Bekerja bak orang gila sembari melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Ia terlalu lugu karena meyakini pendidikan tinggi dan kerja keras, hidupnya terlepas dari doktrin perempuan patuh dan ibu yang baik.
Lupakan tentang menjadi ibu, biarpun bagian itu dihilangkan, ia tetap dituntut patuh pada lelaki. Ia sudah menjadi karyawati sebuah bank swasta, yang mana orang tuanya menentang pekerjaan tersebut. Menjadi karyawan bank selalu diidentikkan dengan memakan uang haram. Ah, itukah alasannya? Lantas, mengapa orang tuanya tetap saja memakan uang haram itu setiap kali Pramita memberikan kiriman pada orang tuanya?
Oh, mungkin saja mereka terpaksa. Dengan pendapatan bapaknya sebagai pedagang yang tak menentu dan ibunya tak berpenghasilan, membiayai kedua adiknya akan menjadi lebih ringan dengan bantuan kiriman Pramita tiap bulannya. Terlebih lagi adik-adiknya memiliki kegemaran yang sama atas mengoprek sepeda motor. Butuh banyak uang untuk memenuhi hobi mereka. Tak jarang mereka berdua meminta langsung kepada Pramita melalui panggilan telepon atau pesan singkat. Jika ia tak bisa menyanggupi, maka orang tuanya yang akan membujuk atau memaksa Pramita memberikan uang kepada mereka. Pantaskah ia mengasihani diri sendiri?
“Pramita, hari ini kamu ada kerjaan ke lapangan, ‘kan? Sekalian kamu mampir ke rumah debitur yang ini, gimana? Dia udah telat bayar iuran tiga bulan.” Pak Widodo tak pernah mengenal kata “tidak” dan Pramita telah memahaminya. Sebagaimana ia menurut ketika Pak Widodo melucuti pakaiannya dan memerintahkan Pramita melakukan hal sama. Menolak perintahnya sama saja dengan menambah masalah. Walaupun bukan bagian dari job desk-nya, Pramita tetap harus patuh. Tepat seperti didikan sejak kecil yang sebenarnya ia benci.
Tibalah Pramita di sebuah perumahan kumuh. Sebuah rumah paling buruk di antara deretan hunian lain. Seorang perempuan paruh baya berwajah sayu keluar ketika Pramita berniat bertanya kepada tetangga. Kedatangan Pramita seolah mendatangkan bencana bagi perempuan paruh baya tersebut. Ia buru-buru mengusir Pramita dengan beribu kata kasar dan barang-barang yang dilempar sembarang. Keributan itu menarik perhatian warga sekitar yang segera memisahkan Pramita dan amukan perempuan paruh baya tersebut.
“Mbak sebaiknya pergi kalau enggak mau habis babak belur. Ibu itu stres habis semua barang sama rumahnya digadaikan suaminya buat bayar utang judi. Habis itu masih mau digugat cerai, mertuanya yang ngomporin. Katanya enggak becus ngurus suami.” Salah seorang warga mengajak Pramita duduk di teras. Disuguhkannya segelas teh manis sebagai teman ngobrol.
Dari satu informasi tersebut, bergulirlah banyak cerita lain tentang seorang suami yang sering berjudi dan banyak meminjam uang di banyak bank, termasuk pula rentenir. Suami itulah debitur nakal yang harusnya Pramita temui. Namun, dengan hilangnya si pria ini, maka pekerjaan Pramita akan menjadi berkali-kali lipat lebih menyusahkan.
“Sebenarnya kasihan juga sama istrinya, Mbak. Dari dulu selalu dipukuli suami, dimarahin mertua, hartanya diporotin buat kepentingan mereka sendiri. Sekarang, pas hartanya abis semua, baru dia dibuang. Heran banget juga kenapa dia patuh banget sama suami dan mertua yang enggak guna. Harusnya perempuan itu harus punya harga diri buat melawan kalau kondisinya udah begitu.”
Pramita tersenyum kecut. Ia seperti memahami mengapa perempuan paruh baya itu berada di posisi demikian. Perempuan haruslah patuh pada orang tua dan suami. Mertua juga orang tua, bukan? Orang tua dari suami. Jadi kedudukan mertua berkuasa menjadi berganda.
Pramita meninggalkan perumahan kumuh tersebut dengan tangan kosong. Ketika perjalanan pulang dan ia melewati rumah istri sang debitur, ia mendapatkan tatapan paling sendu dan bercampur amarah dari perempuan paruh baya itu.
Pulang dengan tangan hampa sama artinya dengan mendapat omelan selama berjam-jam. Ya, meskipun kenyataan sesungguhnya tak sampai selama itu. Ruangan gelap Pak Widodo dan tangan-tangan kasarnya menggerayangi tubuh tanpa ampun. Pria itu tak akan berhenti sampai di sana saja, sentuhan-sentuhan itu hanyalah permulaan. Biarpun Pramita sudah dipaksa membiasakan diri dengan Pak Widodo sejak dulu, tetapi ia tak akan pernah terbiasa.
***
Itu adalah pagi yang berat. Momen ketika membuka mata menjadi mimpi buruk ketika seluruh dunia berputar dan mual hebat memaksa Pramita tertahan di kamar mandi indekos untuk waktu lama. Sepertinya, ia memahami asal-muasal sakit kala pagi ini datang. Mengingat siklus haidnya sudah tertahan selama satu bulan.
Sambil memandang langit-langit kamar mandi, Pramita lantas mendapati suara-suara siaran radio berdengung dari kamar sebelah.
Seorang wanita paruh baya ditemukan meninggal membusuk di rumahnya setelah satu minggu bersembunyi dari kejaran debt collector. Diduga karena tak kuasa menanggung utang dan ditinggalkan oleh suaminya, wanita ini menenggak racun tikus untuk bunuh diri. Para tetangga menemukan jasadnya setelah mencium aroma busuk yang menguar dari rumahnya.
Wanita paruh baya dalam berita itu tentu tak asing lagi. Pramita sendiri sudah menduga akhir tidak bahagia bagi perempuan itu. Pun dengan dirinya sendiri. Semenjak sebelum membuka mata, ponselnya terus menerus berkedip. Pertanda bahwa puluhan, mungkin ratusan pesan dan panggilan masuk memberondong seperti dengungan lebah. Dengan tanda-tanda mual, mengantuk, dan pingsan yang ia tunjukkan selama dua hari ini di kantor, gosip bahwa ia mengandung tanpa menikah berembus kencang. Tanpa menunggu aba-aba dari Pak Widodo, Pramita segera membolos kerja dan tidak menampakkan diri selama tiga hari.
Sebuah panggilan dari ibunya mendadak masuk. Tujuan ibunya menelepon sudah bisa diduga.
“Mit, tolong kamu transfer sejuta aja ke rekening adikmu ini. Dia habis nyerempet mobil orang, masih baik orang yang diserempet mobilnya mau kasih harga segitu.”
Ya, lagi-lagi menyelesaikan masalah adiknya dengan uang yang susah payah dikumpulkan untuk meninggalkan rumah keluarganya.
“Bu, Mita mau berhenti kerja aja. Ibu sama Bapak juga enggak mau Mita kerja di bank, ‘kan? Mita mau di rumah aja bantu-bantu Ibu sama bikin warung kecil-kecilan.”
“Ealah, kalau kamu enggak kerja, nanti Bapak sama Ibu yang repot juga. Adik-adik kamu tuh masih sekolah, butuh banyak biaya. Mbok kamu pikirin masa depan mereka. Jangan egois!”
Egois katanya? Ah, sudahlah. Tidak mungkin jika ia menyuruh ibunya berkaca. Selagi Pramita berusaha menjaga kesadaran, gedoran kencang di pintu kamar indekosnya dan umpatan-umpatan kencang saling beradu.
“Dasar perempuan sundal! Tukang godain suami orang! Sekarang dibuntingin suami orang! Jadi perempuan, kok, gatel banget!”
Pramita begitu lelah. Menjadi perempuan tidak memberikan banyak keuntungan sebagaimana kata orang perempuan selalu benar. Ia menoleh ke sudut lain kamar mandi. Cairan pembersih lantai itu mengapa terlihat lebih bersinar daripada yang lain? Kalau reinkarnasi itu sungguhan ada, ia ingin terlahir menjadi laki-laki saja di kehidupan yang nanti.(*)
Reza Agustin. Perempuan perpaduan Leo dan INFP.