Menjadi Nenek-nenek
Oleh: Fitri Fatimah
Sini, dengarkan, aku mau bilang. Selagi kau muda, punya anaklah yang banyak. Kalau suamimu meninggal sebelum kau punya anak, menikahlah lagi. Kalau suami barumu impoten, ceraikan lalu pilihlah yang sungguh-sungguh jantan kali ini. Punya anaklah, yang banyak.
Karena lihat, di usiaku yang lebih separuh dan seperempat abad ini, tanpa anak dan cucu, aku sebatang kara. Ah, bahkan kedengarannya saja tak enak. Sebatang kara itu kata yang hanya cocok untuk anak yang ditinggal mati orangtuanya saat masih menggunakan popok. Aku, meskipun terkadang juga butuh menggunakan popok, telah bukan lagi anak-anak. Aku telah menjadi nenek. Dan tak ada yang lebih tak mengenakkan dari menjadi nenek bukan lantaran kau memiliki cucu, melainkan karena kau sudah peot. Nenek-nenek.
Sering aku merasa iri pada Maemunah, tetanggaku yang juga sama uzurnya, yang meski separuh tubuhnya telah jadi lumpuh dan dia tak bisa ke mana-mana selain berbaring dan duduk di atas ranjangnya—tempo hari ketika aku mengunjunginya, dia mengeluh bokongnya dipenuhi bisul—tapi setidaknya dia memiliki anak dan cucu, bahkan mantu untuk mengurusnya.
Ini jadi membuatku berpikir, aku rela menukarkan bokong sehat—tapi tak lagi sekal—ku, dengan bokong bisulannya, asal memperoleh sepaket lengkap anak-cucu-mantu itu.
Kalian tak akan tahu bahwa pada malam-malam sepiku, ketika satu-satunya lampu yang ada di ruang tengah telah kumatikan, berselimutkan kain sampir dan dingin yang dengan keras kepala tetap menyelinap, aku sering berpikir, betapa menyedihkannya hidup sendirian. Tahu begini waktu muda dulu aku tak akan begitu setia pada jenazah suamiku, dan langsung menikah lagi saja selepas idah. Dengan demikian, setidaknya, pada malam hari ketika aku terbangun kehausan, aku bisa meneriaki seseorang untuk mengambilkanku air. Atau kalau punggungku gatal, aku bisa meminjam tangan suami baruku, dan bukannya menggesek-gesekkan sendiri punggungku pada lekuk pilar. Atau kalau sedang sakit, aku tak perlu merasa “lebih baik mati” hanya karena tak ada orang yang dapat membantu memapahku ke kamar mandi. Hidup sendirian benar-benar menyedihkan, kalian tahu? Aku hanya bisa menghitung bunyi tokek sebagai hiburan.
Pernah suatu hari di bulan Ramadan, Maemunah—sebelum dia lumpuh—datang ke rumahku. Dia mengomeliku waktu itu. Aku bisa saja balas mengomelinya—satu hal tentang menjadi nenek-nenek, selain punggungmu jadi makin bungkuk, kau juga makin pandai mengomel—tapi aku sedang sangat tak bertenaga, jadi kudengarkan saja cerocosnya. Sudut mulutnya yang kempot sampai berbuih. Dia berkata bahwa dari seberang dia dapat melihat lampu rumahku yang tetap tak dinyalakan, padahal telah jam enam, azan Magrib telah berkumandang setengah jam yang lalu. Dia khawatir aku mungkin saja terpeleset di kamar mandi, patah tulang, dan karenanya tak bisa bangun.
Aku buru-buru mengibaskan tangan di udara. “Aku ketiduran,” kekehku. Maaf ceritanya rupanya tak seseru bayanganmu.
Lalu Maemunah melirik meja makan, di sana hanya ada kurma dan cerek air.
Aku kembali mengekeh, kubilang karena aku ketiduran, makanya aku tak sempat masak.
Ketahuilah, meskipun usiaku semakin tua, aku tak jadi pikun—atau paling tidak, mauku begitu—sebab jelas-jelas aku tahu tak ada yang bisa dimasak hari ini. Itulah sebabnya aku tak perlu repot-repot bergegas ke dapur saat sore, dan memilih tidur saja.
Maemunah tak menyoal lagi alasanku. Mungkin dia memang gampang dibodohi, atau sudah tahu dan memilih pura-pura tidak tahu. Dia kemudian hanya menyerahiku rantang yang berisi nasi dan beberapa lauk. Dia bilang tadi anak-cucu dan mantunya berkunjung. Bawaan mereka berlebih. Pamer, decapku. Tapi aku segera mengambil rantang itu tanpa sungkan dan sudah hendak menyalin isinya, tapi Maemunah melarang. Dia bilang aku boleh mengantarkannya besok saja kalau sudah selesai. Aku tak keberatan. Meski langkah kakiku tak lagi cekatan, dan tangga di rumah Maemunah bisa membuat encokku kambuh, aku senang kalau pergi ke sana. Maemunah selalu punya banyak barang yang disebut “siapa yang mau memakannya di sini, kau bawa saja”. Dan aku bakal pulang dengan tangan penuh. Mana mungkin aku tak senang.
Hanya saja kalau kalian kembali menanyaiku, apakah aku sudah puas dengan memiliki tetangga sekaligus kawan yang baik hati itu, jawabnya tidak. Aku masih lebih menginginkan anak dan cucu, juga mantu.
Seandainya aku memiliki mereka, aku tak perlu mengalami semua gulana ini di hari tuaku.
Seandainya aku memiliki mereka, dapat kubayangkan, ketika Lebaran nanti mereka akan datang mengunjungiku, keluar dari mobil mengilap yang mereka parkir di depan pagar halamanku yang reyot. Aku mungkin bakal merasa kecil hati, atau kecewa karena ternyata mereka lebih memilih membayar cicilan mobil daripada memberiku uang untuk membenarkan rumah. Tapi aku tak akan menuntut macam-macam—atau setidaknya tak akan kuucapkan keluhanku keras-keras. Mataku akan basah hanya dengan melihat mereka menghampiriku dan mencium tanganku satu-satu.
Lalu mantuku—yang sudah agak gembrot sehabis melahirkan—bakal tergopoh membawa stoples-stoples berisi kue kering, menggantikan stoplesku yang berisi rengginang dan jagung goreng. Ya, ya, Mantu, kau bahkan boleh menyingkirkannya. Jagung goreng itu tak cocok dengan gigiku yang punah, dan rengginang hanya seringnya meninggalkan remah-remah yang mengotori lantai. Kau sangat perhatian, Mantu. Tak salah dulu aku merestuimu bersama anakku.
Lalu kami menghabiskan hari kemenangan itu dengan menyantap opor ayam, juga obrolan. Aku mungkin bakal tak sepenuhnya mengerti apa yang anak dan mantuku bicarakan. Misalnya mungkin mereka akan berunding soal lebih baik memasukkan anak mereka ke Sekolah A daripada Sekolah B, karena Sekolah A punya fasilitas—entah apalah itu. Aku mungkin hanya akan duduk dengan masam di sana, sambil mengomel dalam hati: Apa bedanya. Sekolah ya sekolah, asal ada bangku, papan, dan guru. Itu sudah sekolah. Tapi lagi-lagi, aku mana mengerti. Jadi aku tak mau ikut campur dan kemudian lebih memilih membawa cucuku main di halaman belakang. Aku bahkan akan membiarkannya makan kue-kue yang tadi dibawa ibunya—padahal ibunya sudah mewanti-wanti bahwa kue-kue manis itu tak sehat untuk gigi. Ah, apa masalahnya. Toh kalau giginya berlubang, pada umur sebegini masih bisa tanggal dan tumbuh yang baru. Tak usah khawatir, Cucu, makanlah sepuasmu. Aku akan jadi nenek paling pengertian. Dan cucuku akan menyayangiku. Lalu dia akan sering mengangeniku, lalu sering merengek pada orangtuanya untuk minta diantar mengunjungiku. Lalu hari-hariku tak akan lagi sepi. Lalu … ah, sungguh bayangan yang indah. Benar-benar indah.
Tapi untuk sementara, aku hanya boleh puas dengan menghitung bunyi tokek sebagai hiburan.
Lagi-lagi masih malam panjang sendiri, sepi. (*)
Sumenep, 29 Mei 2019
Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. Suka warna hijau dan kopi. FB: Fitri Pei.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata