Meninggalkan Batas
Oleh : MsLoonyanna
Terbaik ke-18 TL16
Aku tak pernah benar-benar serius memikirkan apa yang salah dengan hidupku … sampai suatu hari, sesuatu terjadi padaku. Sesuatu yang benar-benar buruk. Teramat buruk. Sangat, sangat, sangat buruk.
Jelasnya, ingatan di saat aku tergelincir dan nyaris lesap terisap pusaran gelombang nan keruh akan terus menjadi reminisensi kelam yang selamanya pasti bersarang di belakang kepalaku. Terkungkung di sudut terjauh dalam batas pikir tergelapku.
Ya, kini aku sudah menciptakan batas. Kuharap, “ia” tetap di sana dan tak pernah merangkak keluar. Lagi ….
- ●●
Aku selalu melihat segala hal yang tersuguh di depan mata sebagai loyang superbesar dengan banyak sekat menjadi pembatas antara satu ruang dengan ruang lainnya. Rasanya benar-benar sulit menentukan langkah. Maksudku, harus lewat mana agar segera sampai di tempat yang hendak kutuju tanpa tergores apa pun? Ah, seperti labirin saja! Memusingkan! Dan keramaian ini amatlah menyiksa. Bagiku, melintasi ruang-ruang itu seperti melintasi neraka kecil dengan kadar api yang panasnya cukup untuk melelehkan kulit hingga melepuh lalu bernanah.
Sekat-sekat itu sama sekali tak berguna. Setiap ruangnya justru menciptakan atmosfer suram yang membuatku takut setengah mati. Entah sejak kapan aku mulai seperti ini. Mungkin sejak … hari “itu”? Ah, padahal sudah lama sekali, tetapi rasanya seperti baru kemarin. Lukanya pun masih menganga, bahkan terkadang teramat perih jika harus kembali diingat-ingat.
Langkahku terhenti tepat di hadapan seorang wanita tua penjual buah. Ia menatapku lekat-lekat sebelum menyeringai lebar. Wajah keriputnya bergerak mengikuti bibirnya yang perlahan mengeluarkan asap kehitaman. Aku berlari secepat yang kubisa, tetapi mereka sangat banyak. Orang-orang itu, maksudku. Orang-orang serupa. Mereka mengeluarkan gumpalan aswad dari mulut mereka, seolah ingin mencekikku dengan asap menjijikkan itu. Tak henti membicarakan sesuatu yang entah apa. Namun, aku sangat yakin bahwa pastilah sesuatu yang buruk. Sesuatu yang hanya akan membuat pikiranku semakin karut.
Jantungku berdetak sangat keras tatkala berhasil menyembunyikan diri di balik tembok bata tinggi yang letaknya tak jauh dari sekolah. Di satu sisi, aku merasa lega dan sangat bersyukur. Namun, di sisi lain, tembakan renyang seolah kembali membombardir pikiran serta hatiku. Setiap hari begitu. Seperti keluar dari kandang macan hanya untuk masuk ke dalam kandang buaya.
Di koridor, aku berusaha keras menundukkan kepala. Tak ingin berserobok dengan pasang mata lainnya. Aku tak suka. Mereka tak lebih baik dari orang-orang yang kutemui di jalan. Bahkan untuk beberapa anak di kelasku, mereka mengeluarkan lebih banyak asap pekat menjijikkan. Tak hanya dari mulut, tetapi hidung, telinga, dan bahkan kepala!
Hal itu berlaku untuk semua—ah, tidak, kecuali ….
“Hey! Kau sedang apa? Orang-orang menunggu di belakangmu.” Tepukan di bahu membuatku terlonjak dan refleks bergeser ke samping, membiarkan beberapa anak berjalan mendahuluiku masuk ke dalam kelas. Bahkan ada yang tak mau repot-repot menyembunyikan gerutuan dan tatapan sinis dariku.
“Lagi-lagi kau tampak larut dalam duniamu sendiri. Ada apa?”
“Ah, anu … err, maksudku, tidak ada. Bukan urusanmu!” jawabku ketus. Sempat lupa bahwa aku tak seharusnya bertukar suara dengannya.
Sosok itu menggelengkan kepala. Asap hitam yang menguar dari tubuhnya tampak jauh lebih sedikit dari kali pertama aku melihatnya. Dulu, ia tak ada beda dengan orang-orang yang kutemui di jalan atau orang-orang yang kutemui di sekolah ini. Namun, lambat laun ia sedikit berubah. Maksudku, kepulan asapnya tak sebanyak kala itu. Pun tak lagi begitu hitam dan pekat. Terkadang aku bertanya-tanya apa sebabnya, tetapi segera kutepis rasa penasaran tersebut dengan meyakinkan diri bahwa sama sekali tak ada faedahnya memikirkan hal yang bukan urusanku.
Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan keras lantas menyeret tumit untuk segera masuk ke dalam kelas, bergabung dengan lainnya. Kuharap, asap-asap pekat itu tak sampai membunuhku, dan yang terpenting, semoga saja tak ada lagi yang akan menyapa karena … aku benci. Sangat benci.
Sayang sekali, harapan hanyalah harapan. Hari-hari berikutnya kembali terulang. Asap hitam di mana-mana, terserak dari tubuh-tubuh yang kulalui. Rasanya sungguh tak tahan. Rasanya ingin kabur. Akan tetapi, ke mana? Bukankah percuma? Karena ke mana pun aku pergi, semuanya sama saja. Semuanya memasang taring di balik wajah manis mereka.
Ah, setidaknya, aku harus cepat-cepat berjalan. Sampai ke sekolah, belajar, lalu pulang. Rutinitas membosankan yang entah sampai kapan harus menyiksa batin seperti ini. Bukan berarti aku senang berada di rumah, hanya saja … ah, entahlah. Kepalaku pening memikirkannya, ditambah kaki yang rasa-rasanya tak lagi kuat memijak trotoar di bawahku. Penglihatanku bahkan sedikit berkunang. Juga diperparah dengan separuh wajah yang kini terasa berdenyut menyakitkan. Ugh, hari ini aku punya banyak keluhan, ya? Tetapi mau bagaimana lagi?
“Hey! Melamun lagi?”
Aku tergemap bukan main ketika telapak tangan besar tiba-tiba menutup vista di hadapanku. Menoleh, kudapati wajah semringah yang beberapa minggu ini kuanggap sangat menyebalkan.
“Masih tak mau bicara, huh? Tak lelah mengabaikanku?” Ia berujar santai, senyum miring menghiasi wajahnya, sementara langkahnya mundur teratur di depanku. Oh, sangat bagus jika ia tersandung lalu jatuh. Pasti sangat menyenangkan melihatnya.
“Aku hanya ingin berteman, kau tahu. Kupikir, kau juga memang butuh teman. Tak bermaksud untuk membuat risi, tetapi aku memang suka memperhatikanmu belakangan ini. Dan coba tebak? Aku tertarik menjadi temanmu. Jadi, bagaimana? Apa jawabanmu?”
Mengangkat sebelah alis, aku lantas menatapnya beberapa detik sebelum berjalan melewatinya dengan langkah terseok. Teman, katanya? Ah, jangan bercanda. Aku tak ingin membuang waktu.
“He-hey, tunggu! Kenapa hari ini jalanmu pincang? Wajahmu juga … apa yang sebenarnya terjadi?!”
Huh? Apa pedulinya? Serius, aku tak tahu mengapa lelaki ini masih saja berusaha untuk berbicara denganku di saat aku bahkan tak menunjukkan ketertarikan untuk melakukan hal yang sama sedikit pun. Lagi pula, apa motifnya? Karena sejujurnya, aku tak mau percaya jika alasannya hanya ingin berteman. Maksudku, tak ada yang pernah benar-benar menyandang titel “teman” dalam hidupku karena sebelum semuanya terlambat, sebelum aku menaruh harapan dan menanamkan rasa percaya pada mereka, aku telah lebih dulu menancapkan batas tak kasatmata di antara kami. Dengan begitu, rasa sakit yang selama ini kupunya tak perlu bertambah.
Aku terus mengabaikannya hingga tiba di sekolah. Bahkan ketika jam pelajaran berganti jam istirahat, aku berusaha cepat-cepat keluar demi menghindari lelaki itu. Ampun! Dia benar-benar seperti anak ayam yang menganggapku induknya! Dengan kondisiku sekarang, kehadiran dan keingintahuannya jelas bukan hal yang baik untukku. Kepalaku sudah dipenuhi ratusan kenur kusut. Lebih baik jika tak ditambah apa pun lagi.
Terlalu sibuk memikirkan Julian—ya, kukira itu namanya—membuatku tak sadar bahwa kini aku sedang berdiri di tengah kafetaria dan entah bagaimana menjadi pusat perhatian semua orang. Ti-tidak, ini sama sekali tak bagus. Jangar di kepalaku semakin menjadi seiring dengan membesarnya aura suram di sekitarku. Mengapa mereka melihat ke arahku? Ada apa dengan senyuman aneh itu? Tak sadarkah bahwa mulut mereka sudah tampak akan sobek dalam beberapa detik lagi? Kumohon, hentikan. Jangan lakukan. Kalian membuatku takut!
Aku bahkan tak tahu bahwa mataku mulai memproduksi cairan hangat jika saja tak kurasakan tetesannya di pipi. Jantungku berdegap, seolah akan keluar dari rongga dada. To-tolong, berhenti menatapku! Asap-asap kalian membuatku sesak!
Tak tahan, aku memutar tumit dan berlari keluar. Tak peduli ke mana kaki yang setengah pincang ini akan membawaku. Aku hanya ingin menjauh. Hilang dari keramaian memengapkan ini.
“Dia kenapa?”
“Entahlah. Dia memang aneh.”
“Ya, selalu aneh.”
“Dia gila, ya? Setiap kali aku hendak mengajaknya mengobrol, dia pasti akan melotot takut lalu pergi begitu saja.”
“Ada apa dengannya, sih?”
“Ck, pasti ada sesuatu yang salah dengan kepalanya.”
Samar-samar aku mendengar beberapa komentar tentangku sebelum pintu kafetaria benar-benar menutup akses di antara kami. Oh, aku memang aneh. Tak perlu heran berlebihan begitu bisa, ‘kan? Lalu sekarang, apa yang harus kulakukan? Bolos kelas selanjutnya? Ti-tidak, aku tak mau membayangkan hal mengerikan apa yang akan dilakukan Ayah padaku jika sampai tahu. A-akan tetapi, aku sungguh sudah tak tahan! Di mana pun terasa neraka bagiku! Apakah hidup bahkan sesuatu yang patut kusyukuri? Bukankah manusia hidup untuk bahagia? Jika aku tak bisa bahagia, lantas untuk apa hidup? Membuang-buang oksigen saja!
Ah, aku tahu apa yang harus kulakukan! Semuanya akan berakhir. Sebentar lagi. Bertahanlah sebentar lagi, Mali. Kau akan segera bebas dari neraka ini.
- ●●
Sesak. Sangat sesak. Separuh tubuhku seolah mati rasa. Aku melihat air di mana-mana. Keruh, amatlah kotor. Aku mencoba untuk melarikan diri, tetapi sebelah kakiku tersandung sesuatu dan membuatku jatuh terjerembap. Oh, tidak. Aku hanya ingin pergi lalu terbebas dari neraka, bukannya justru terjebak dengan neraka yang lain. A-apa keputusanku salah? Sungguh, aku tak lagi dapat berpikir jernih. Leherku sakit. Kepalaku sakit. Semuanya sakit. Mungkin memang seperti inilah akhirnya?
Aku tak lagi mencoba melawan, melainkan pasrah pada keadaan. Membiarkan pusaran gelombang menelan tubuhku dan—
“Astaga, Mali! Apa yang kau lakukan?! Tu-tunggu sebentar, aku akan melepas talinya dan menurunkanmu. Ku-kumohon, bertahanlah!”
Di saat kukira pusaran gelombang benar-benar akan melenyapkanku dan mengirimku ke neraka yang sesungguhnya, tanpa disangka sebuah uluran tangan justru datang menyelamatkanku.
“Mali, kau mendengarku? Tolong, bertahanlah. Mali … kau baik-baik saja, ‘kan?”
Tepukan bertubi-tubi di pipi itu membuatku mengantuk. Aku lelah. Sangat lelah.
- ●●
Mali, kau baik-baik saja, ‘kan?
Tidak. Hidupku tak baik-baik saja. Ibu meninggal di hari yang sama aku terlahir ke dunia. Dapat kupastikan itu alasan utama Ayah mengasuhku separuh hati. Rasa benci di sanubarinya pastilah telah mengakar hebat, berpikir bahwa aku adalah penyebab wanita yang teramat ia cintai pergi meninggalkannya untuk selamanya. Meski begitu, aku tetap menyayangi Ayah. Setidaknya, aku harus bersyukur ia masih mau merawat dan membesarkanku hingga sekarang.
Hanya saja … untuk bertahan hidup bersama Ayah, aku perlu menguatkan mental karena terkadang ia bisa sangat kejam dan kasar. Terlebih di waktu-waktu tertentu ketika ingatan perihal Ibu datang memasuki kepalanya. Tiba-tiba saja aku akan berubah menjadi samsak kemarahannya. Namun, tak banyak yang dapat kulakukan lantaran aku sadar betul bahwa semuanya adalah kesalahanku. Ibu telah menukarkan nyawanya yang berharga demi memberiku kesempatan untuk melihat dunia. Entah harus bersyukur atau marah kepada Tuhan. Mungkin keduanya?
Pernah suatu hari Ayah bersikap sangat baik, memperlakukanku seperti selayaknya seorang putri. Senang? Oh, tentu saja! Sayang, aku terlalu naif kala itu. Kupikir, kami akan hidup bahagia tanpa amarah selamanya. Kenyataannya … tidak. Tak berselang lama, perlakuannya kembali seperti dulu. Senyuman mengirap dari wajahnya, tergantikan sorot geram yang sungguh membuat tulangku lemas hingga ke bagian terdalam. Padahal, aku sudah percaya betul bahwa Ayah akan berubah. Segala harapan yang awalnya bergumul untuk ditenun menjadi sebuah realitas indah tiba-tiba harus buyar menjadi keping-keping mimpi buruk di pelupuk mata. Apa boleh buat?
Sejak saat itu, aku menjadi takut menaruh harapan pada siapa pun. Takut menanamkan ekspektasi berlebihan bahwa mereka kemungkinan menyukaiku, bahwa mereka mungkin menghargai keberadaanku, bahwa mereka menganggapku sebagai manusia yang setara. Ya, terlalu banyak pikiran negatif yang merayau di kepalaku dan itu semua karena seluruh kepercayaanku telah patah bersama asa yang melebur menjadi luka batin seumur hidup.
Aku takut berinteraksi dengan siapa pun. Aku takut kembali terjebak dalam perasaan gelisah yang sama. Aku takut mereka hanya akan memberi punggung di saat aku mulai memberi seluruh hati. Aku tak menginginkan ini. Namun, tanpa kusadari aku justru telah menciptakan batasku sendiri. Batas yang kubuat agar tak seorang pun dapat melangkah masuk dan menyakitiku seperti Ayah. Biarlah ia menjadi satu-satunya yang melewati batas. Toh, aku berutang seluruh hidup padanya—meskipun ia jelas melakukannya hanya karena mendiang Ibu. Bukan karena benar-benar sayang padaku.
Ah, berkhayal tentangnya yang suatu hari akan sungguh-sungguh sayang padaku tiba-tiba saja menumbuhkan jalaran hangat di dada. Apa mungkin hari itu akan tiba? Hari di mana aku tak akan lagi melihat kepulan asap hitam dari tubuh orang-orang? Hari di mana aku tak akan lagi tenggelam dalam pusaran gelombang keruh? Hari di mana aku mungkin akhirnya … dapat berkawan dengan Julian tanpa menebar rasa curiga?
- ●●
“Mali, kumohon, berhenti menciptakan batas. Semua itu hanya terjadi dalam kepalamu. Kau terlalu berprasangka terhadap orang-orang di sekitarmu tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka pikirkan. Semua hal negatif itu, dirimulah yang menafsirkannya karena trauma hebat yang kau alami. Aku mengerti, tetapi kau harus bangkit, Mali. Lepas dari segala batas mengekang itu.”
“Julian … ma-maaf. Dulu aku ….”
“Tak perlu mengingat yang dulu. Mari fokus ke masa sekarang dan masa yang akan datang.”
“A-aku … baiklah, aku akan mencoba. Terima kasih.”
Segurat senyuman kontan terbit di wajah Julian. Ah, sudah berapa lama sebenarnya waktu berlalu sejak hari itu? Hari di mana aku nyaris lesap ditelan gelombang keputusasaan? Aku bahkan tak tahu. Jelasnya, Julian yang kini duduk berdampingan denganku di kursi taman yang disirami cahaya senja tak lagi menguarkan asap hitam ataupun aura suram.
Semuanya tampak baik-baik saja. Ya, hampir semuanya. Terkecuali mungkin Ayah. Aku masih harus berusaha lebih keras. Namun, aku yakin bahwa kali ini semuanya akan jauh lebih baik dari sebelumnya karena aku … telah meninggalkan batas dan sekaligus menciptakan batas yang baru untuk mengunci segala pikiran negatif di dalamnya. Untuk itu, kuharap ia tetap di sana dan tak pernah merangkak keluar lagi. (*)
Mks, 21 Agustus 2020
Anna Darling (MsLoonyanna), seorang gadis Akuarius berdarah AB, penggemar hampir semua genre tulisan. Kisah terfavorit adalah Harry Potter dan Peter Pan sehingga sering kali mengakui diri sebagai Penyihir Neverland.
[Wattpad, Storial, IG: @MsLoonyanna]
PS.:
In many cases, depression can be caused by negative thinking itself. Our feelings follow what we are thinking, and dwelling upon negative thoughts can send us spiraling down into depression. This concept is the guiding principle behind Cognitive Behavior Therapy (CBT) developed in the 1960s by dr. Aaron T. Beck at the University of Pennsylvania.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata