Menghadang Mati
Oleh: Ika Mulyani
Ranin tertegun saat bapak penjual mi Aceh langganan itu menghidangkan pesanannya.
“Eh, sudah jadi?” Perempuan itu bertanya dengan nada bingung.
“Silakan, Mbak Nin. Minumnya apa? Biasa?”
Ranin menjawab dengan anggukan. Perlahan ia mulai menyendok santapan mie favoritnya itu, membawanya ke depan hidung, dan mengendusnya. Wajah Ranin lalu memucat, dan air matanya mulai merebak sesaat setelah ia memasukkan sesendok mie tadi ke dalam mulutnya, dan mulai mengunyah.
Perempuan itu tidak bisa merasai lezatnya makanan itu! Padahal, mi Aceh termasuk masakan kaya rempah yang membuatnya memiliki aroma dan rasa khas yang kuat. Rupanya, indra penciuman dan pencecap milik Ranin sudah benar-benar lumpuh sekarang, setelah beberapa hari sebelumnya mengalami penurunan, tanpa ia sadari.
Pantas saja ia tadi tidak mencium aroma makanan favoritnya itu, saat bapak penjual mi memasak. Biasanya, sejak bumbu mulai ditumis, Ranin sudah merasa tergiur dan hampir meneteskan air liur. Aroma masakan itu selalu berhasil membuatnya tergoda. Rasanya? Seringkali ia sampai ‘merem melek’, mencecap lezatnya makanan itu.
“Aku belum mau mati!” desisnya pelan sambil mengunyah dan menelan dengan cepat. “Aku harus mencari penjual hidung dan lidah secepatnya!”
Tanpa menghiraukan pertanyaan bapak penjual mi, Ranin bergegas pergi setelah meneguk minuman–yang terasa hambar di lidahnya–dan menyerahkan selembar uang.
Bapak penjual mi menatap kepergian Ranin dengan sedih. Kesedihan lelaki itu makin menjadi saat pandangannya tertumbuk pada hasil masakannya yang masih utuh. Ia kebingungan, ada apa dengan mi ini? Rasanya ia sudah membuatnya dengan benar, tidak melenceng sedikit pun dari resep warisan yang sudah dihapalnya selama belasan tahun.
Penasaran, ia lalu memanggil anak lelaki yatim yang biasa membantunya di kedai. Ia meminta bocah itu memakannya, sambil berulang kali bertanya, “Enak?”
Anak lelaki itu pula berulang kali mengangguk sambil ber-huhhah kepedasan.
“Terima kasih, Pak. Boleh saya bungkus sisanya untuk ibu dan adik saya di rumah?” tanya bocah itu saat mi tersisa sedikit di piring.
Rasa mi yang lezat membuatnya terlupa untuk berbagi dengan ibu dan adiknya yang pasti belum makan malam.
Bapak penjual mi menggeleng. “Habiskan saja!” katanya. “Akan kubuat yang baru untuk ibu dan adikmu.”
Ia senang, mi buatannya masih terlihat begitu dinikmati oleh penyantapnya.
***
Malam beranjak tua, tetapi Ranin belum juga berhasil menemukan agen penjual hidung dan lidah yang dapat segera menyediakan kebutuhannya yang mendesak ini.
“Stok kami tinggal ukuran balita, Mbak. Itu pun tinggal sepasang saja. Kalaupun mau dipaksakan, warnanya sawo matang, tidak akan cocok dengan warna kulit Mbak. Ukuran dewasa sedang kosong. Sudah hampir sebulan ini tidak ada yang datang untuk menjual hidung dan lidahnya.”
Itu jawaban agen kelima yang Ranin datangi. Ranin benar-benar menyesali keputusannya tujuh bulan lalu, menjual hidung dan lidahnya, karena ingin segera mati. Dengan air mata berlinang, ia mengusap perutnya seraya berkata sambil terisak, “Maafkan Ibu, ya, Nak.”
Tujuh bulan lalu itu, Ranin mendapatkan janin di dalam perutnya ini dari sebuah peristiwa yang mengerikan. Ia diperkosa secara bergiliran oleh tiga orang lelaki beringas yang merampok rumah ibunya. Ketika itu, Ranin kebetulan sedang menghabiskan libur panjang akhir tahun di sana.
Seharusnya, hari itu Ranin sudah dalam perjalanan kembali ke kamar kosnya di kota provinsi. Hari Senin pagi ia harus kembali bekerja. Akan tetapi, entah mengapa, perempuan itu menunda kepulangannya semalam lagi.
Sang ibu mati terbunuh. Dua orang sepupu yang menemani keseharian perempuan paruh baya itu, terluka parah. Semangat hidup Ranin kandas, hanya kematian yang ia harapkan. Apalagi kemudian ia terbukti hamil. Perempuan itu lantas memutuskan untuk melepas hidung dan lidahnya pada sebuah agen, tanpa imbalan. Ranin ingin hidupnya segera berakhir.
Tentu saja agen penjual hidung dan lidah menyambut gembira keinginan Ranin untuk melepas kedua alat indera itu tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Apalagi bentuk hidung perempuan berkulit kuning langsat itu bagus sekali, jenis hidung favorit yang banyak diminati. Lidahnya juga merah cerah, pertanda lidah muda yang sehat.
Belum jauh Ranin beranjak dari tempat itu seusai operasi pelepasan, sudah ada seorang nenek lima cucu dengan kulit wajah masih terlihat kencang tanpa kerut yang bersedia membeli hidung dan lidah Ranin dengan harga tinggi.
Ranin menunggu kematian itu datang, sementara janin di dalam perutnya terus tumbuh tanpa bisa dicegah.
Sampai saat ini, belum ada ahli yang bisa memastikan, berapa lama waktu yang diperlukan hingga ajal datang menjemput, sejak seseorang kehilangan kemampuan mencium bau dan mencecap rasa, atau sejak saat ia melepas hidung dan lidahnya. Kadang sehari dua, di lain kasus sepekan, bahkan hingga beberapa bulan.
Saat seseorang sudah mulai mengalami penurunan fungsi kedua alat indra itu, maka jumlah makanan dan minuman yang bisa masuk ke dalam tubuhnya akan terus berkurang hingga akhirnya sama sekali tidak ada, dan tibalah ajalnya, nyawa pun lepas.
Sehari, dua hari, sepekan, hingga genap sebulan, Ranin masih belum juga mati.
Di hari ketigapuluh, tanpa sengaja Ranin melihat berita di televisi, tentang ditemukannya sesosok bayi dengan tali pusar belum terpotong, di tempat penampungan sampah. Hati Ranin bergetar, saat televisi menampilkan gambar si bayi yang kotor dengan bibir membiru dengan tubuh menggigil kedinginan.
Tanpa sadar, Ranin mengelus perutnya dan satu kesadaran hadir di benak perempuan itu. Bayi di dalam kandungannya tidak bersalah sama sekali. Mahluk kecil itu berhak untuk hidup dan tumbuh sehat, dan mendapatkan kasih sayang seorang ibu.
Ranin segera menghubungi agen tempatnya melepas hidung dan lidah sebulan lalu. Ia ingin mengambil kembali dua alat indra miliknya itu. Tentu saja perempuan itu harus kecewa. Beruntung, ia bisa mendapatkan hidung dan lidah yang lain, meski warna hidungnya kurang pas dengan warna kulit wajahnya.
“Saya beri potongan harga lima puluh persen,” ucap pemilik agen berlagak berbaik hati, dan berlagak lupa bahwa dulu ia mendapat keuntungan penuh dari penjualan hidung dan lidah Ranin.
Ranin tidak peduli harus membayar berapa pun. Semangat perempuan itu untuk tetap hidup sudah menggebu. Ia bertekad untuk melahirkan bayinya dengan selamat dan membesarkannya
“Ingat, ya, Mbak. Hidung dan lidah pengganti begini tidak bisa dipastikan bisa tahan berapa lama. Jika dirasa ada penurunan fungsinya, segera ganti lagi dengan yang baru.”
Ranin mengangguk.
Dan ternyata, hanya enam bulan berselang, hidung dan lidah tempelan itu sudah mulai kehilangan kemampuannya. Padahal, masih sekitar dua bulan lagi Ranin baru akan melahirkan.
Dan keberuntungan seolah menjauh dari Ranin. Tidak ada hidung dan lidah yang bisa ia dapatkan.
Di zaman resesi seperti sekarang ini, biasanya banyak orang yang putus asa akan hidupnya–seperti Ranin dulu–lalu mendatangi agen penyedia hidung dan lidah. Mereka yang sudah tidak memiliki semangat hidup itu, menukar dua alat indranya dengan sejumlah uang, yang bisa diwariskan kepada para ahli waris, atau dihabiskan sendiri hingga saat ajal mereka tiba. Beberapa yang benar-benar putus asa–seperti Ranin dulu–malah melepas dengan sukarela.
Namun, entah mengapa sekarang ini, pada saat Ranin benar-benar membutuhkan, ia tidak bisa menemukan kedua alat indra itu. Apakah kalahnya pemimpin yang terkenal korup pada pemilu beberapa bulan lalu–dan kemudian digantikan oleh sosok baru yang tampaknya lebih menjanjikan–telah berhasil meningkatkan semangat hidup banyak orang? Ranin hanya bisa menduga.
Ranin menangis tergugu di kursi halte bis yang sudah lengang, seraya berulang-kali mengusap perutnya.
“Ranin, apa yang kamu lakukan di sini?”
Suara itu membuat Ranin berhenti terisak. Ia mendongak, pandangannya bertemu dengan tatapan penuh iba sekaligus kasih dari … Yuga. Lelaki yang sejak kejadian nahas tujuh bulan lalu itu, terus Ranin hindari.
“Ini sudah malam. Ayo kuantar pulang!” ucap Yuga sambil berusaha meraih jemari Ranin.
Tanpa Yuga menduga sama sekali, Ranin malah bangkit dan memeluk lelaki itu, lalu kembali menumpahkan air mata dan sedu-sedannya. Terkejut, Yuga mengusap punggung Ranin dengan ragu-ragu. Ditunggunya perempuan yang dikasihinya itu menuntaskan isak tangis.
Ranin kemudian menceritakan semua kesedihannya. Yuga tercenung, lalu ia memutuskan untuk menolong Ranin dan bayinya.
***
Ranin tersenyum dan menatap penuh sayang pada Yuga yang tengah terbaring. “Terima kasih,” ucap perempuan itu lirih, seraya mengangsurkan seorang bayi laki-laki berusia satu pekan, ke hadapan Yuga. Kedua mata Ranin berkaca. “Aku beri nama dia Yuga.”
Yuga tersenyum dan mengangguk. “Berbahagialah. Aku mencintai kalian berdua.”
Perlahan, lelaki yang sudah tidak memiliki hidung dan lidah itu menutup matanya. Ajalnya telah tiba, setelah dua bulan tujuh belas hari menunggu. (*)
Ciawi, 27 Desember 2020
Ika Mulyani, emak-emak yang sejak Tantangan Lokit ke-17, mendadak menyukai menulis realisme magis.
Editor: Respati
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata